jpnn.com - Penerapan teknologi untuk budidaya udang sudah ada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
---
BACA JUGA: Duet Manis Uci Sucita Bareng Bos JPNN
ROMBONGAN Pemkot Balikpapan melihat langsung puluhan kolam beton di Jalan Sambelia, Lombok Timur, Jumat (18/1). Lokasinya masih satu kompleks dengan PLTU IPP Lombok Timur 2 x 25 Megawatt. Dua unit usaha itu milik Jawa Pos Group.
Rombongan dari Balikpapan yang dipimpin Wali Kota Rizal Effendi didampingi Chairman Kaltim Post Group Zainal Muttaqin.
BACA JUGA: Inilah Pesan Jokowi saat Bertemu Pimpinan Jawa Pos Group
Mayoritas kolam itu kosong. Baru saja panen. Ada dua yang masih terisi. Lokasinya paling ujung, dekat laut. Tampak sejumlah kincir dirangkai dengan pipa yang terapung. Berputar terus sehingga membuat air kolam tak pernah tenang.
Selain berguna untuk menciptakan arus buatan, di tempat kincir itu juga “disuntikkan” udara. Agar kandungan oksigen di dalam air tetap terjaga.
BACA JUGA: Penghasilan Petambak di Lombok Tengah Bisa 20 Juta per Bulan
Rizal yang didampingi sejumlah kepala organisasi perangkat daerah (OPD) serta direksi PDAM dan Perusda Balikpapan tampak antusias. Wakil Ketua DPRD Balikpapan Sabaruddin Panrecalle juga tak mau kalah. “Berapa tingkat kematiannya? Tidak sampai 10 persen ya,” kata Sabaruddin.
Politisi Partai Gerindra itu antusias. Kedua orangtuanya juga punya tambak udang. Tapi masih konvensional. Banyak konstituennya di Balikpapan Timur juga seorang petambak udang. Tapi belum ada yang seperti di Lombok Timur.
Seorang pekerja, Ilham menjelaskan, tambak udang itu mulai ada sejak 2017. Saat ini sudah empat siklus alias empat kali panen. Ada 30 kolam dengan ukuran 1.600 meter persegi dan dua kolam masing-masing berukuran setengah hektare (5.000 meter persegi).
Hitungannya, per meter persegi bisa diisi 250 bibit udang. Satu kolam ukuran 1.600 meter persegi bisa diisi sampai 400 ribu udang. “Itu nett ya. Biasanya ada tambahan 10-15 persen,” ujarnya.
Total 32 kolam berada di atas lahan 5,6 hektare. Setiap dua kolam ukuran 1.600 meter ditempatkan seorang pekerja. Kemudian satu pekerja untuk kolam yang berukuran setengah hektare.
Tugasnya memberi pakan enam kali sehari, melakukan pergantian air secara rutin pagi dan sore, dan memastikan kincir bekerja secara normal. Ada 12 kincir pada petak kolam yang kecil dan 22 kincir untuk petak yang besar.
“Karena air terus berputar, kotoran akan kumpul di tengah. Di tengah itu ada pipa untuk keluarnya kotoran itu. Pagi dibuka supaya kotoran keluar. Lalu diganti dengan air baru. Jadi setiap hari ada pergantian air 5-20 persen,” tambahnya. Air diambil dari laut. Tapi ditampung dulu di bak penampungan dan dinetralisasi menggunakan kaporit.
Idealnya, selama 60 hari pemeliharaan, udang sudah bisa dipanen bertahap. Diambil oleh pengepul dari Surabaya, Sidoarjo maupun Banyuwangi. Kemudian dipasarkan ke seluruh Nusantara, maupun ekspor ke luar negeri. Dengan perawatan sedemikian rupa, tingkat kematian disebut selalu di bawah 10 persen.
Setelah melihat langsung dan mendengar penjelasan para pekerja, Sabaruddin menyebut, hal serupa bisa diterapkan di Balikpapan.
“Sebetulnya ilmu nya sudah kita tahu. Dan ini bukan hal baru. Hari ini kita bisa lihat langsung. Memang yang jadi masalah kalau mau diterapkan di Balikpapan bukan lagi ke pemahaman, tapi lebih pada pendanaan,” ujarnya.
Di Balikpapan, banyak sekali pengusaha tambak udang. Tapi masih konvensional. Belum mengarah ke konsep modern, pakai kolam dicor, pakai kincir. Namun lagi-lagi masalahnya pada kapital.
Sehingga hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi OPD terkait, bagaimana agar perbankan masuk dan mendukung. Tak hanya itu, ini juga jadi peluang yang bisa diseriusi oleh Perusda Balikpapan.
“Apalagi tambak udang ini cash flow-nya sangat cepat. Hanya 60-90 hari sudah panen. Tinggal meyakinkan perbankan atau pihak ketiga bahwa dengan konsep yang lebih modern, bisa memberikan hasil yang lebih baik dari pada yang lain,” tambahnya.
Sebagai anak dari petambak udang, dia tahu betul, perawatan tambak udang konvensional tak semudah yang dibayangkan. Karena langsung bersentuhan dengan tanah, maka PH air akan sangat bergantung pada kondisi tanah itu.
Kadar oksigen air juga tak bisa dikontrol. Residu pakan yang terkumpul selama beberapa hari bahkan beberapa bulan lama-kelamaan menjadi racun. Sehingga menambah tingkat kematian.
“Pasar udang masih sangat luar biasa. Ini jadi peluang Perusda. Bisa mereka turun langsung menjadi pemodal, atau mereka mengumpulkan sejumlah petambak yang punya lahan. Kemudian mencarikan pihak ketiga. Tinggal diatur bagaimana sistem bagi hasilnya. Saya pikir langkah konkretnya seperti itu,” pungkasnya. (rsh2/k18)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 36 Pelajar Krayan Siap Kuliah di Tiongkok
Redaktur & Reporter : Soetomo