Buffalo Boys Pionir Gado-Gado Western

Jumat, 20 Juli 2018 – 16:21 WIB
Buffalo Boys. Foto: Ist for Jawa Pos

jpnn.com - Buffalo Boys membawa penonton menjelajah waktu, masuk ke 1860-an ketika masa pendudukan Belanda di Indonesia. Film itu menuai review positif saat global premiere di Fantasia International Film Festival, Kanada, serta New York Asian Film Festival.

Sang sutradara, Mike Wiluan, merupakan pencinta genre western. Sejak kecil, pria Indonesia yang tumbuh besar di Inggris itu sering menonton film-film koboi bersama ayahnya.

BACA JUGA: Mawar de Jongh, dari FTV ke Bumi Manusia

Dia pun akrab dengan jalan cerita, setting, kostum, aksi, dan karakter dari sebuah film western. Cerita Buffalo Boys ini ada dalam benak Mike sekitar empat tahun lalu.

Agar berbeda, sutradara 42 tahun tersebut memasukkan unsur Indonesia. Film western atau koboi umumnya ber-setting waktu pada abad ke-19 atau periode 1800-an.

BACA JUGA: Rilis Film Saat Lebaran, Pede Bersaing dengan Hollywood

Pada masa itu, Indonesia berada di bawah jajahan Belanda. ’’Saya mau memasukkan unsur western tanpa terkesan dibuat-buat,’’ ujar Mike ditemui setelah gala premiere di CGV Grand Indonesia, Jakarta, Rabu malam (18/7).

Mike meramu film dengan meleburkan unsur western dan eastern, yakni kondisi yang terjadi di Nusantara ketika itu. Suasana mencekam, perbudakan, dan perjuangan melawan tirani yang erat dengan sejarah Nusantara dikemas dengan aksi, style, dan teknik produksi ala Hollywood. Hingga akhirnya, muncul sebutan film ’’gado-gado Western’’.

BACA JUGA: Ramai-Ramai Rilis Film di Hari Kemenangan

Buffalo Boys bercerita tentang kakak beradik, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso), serta paman mereka, Arana (Tio Pakusadewo), yang kembali ke Nusantara setelah melarikan diri ke wild west (Amerika).

Kembalinya mereka membawa misi balas dendam kepada Kapten Van Trach (Reinout Bussemaker) yang membantai Sultan Hamza, ayah Jamar dan Suwo.

Sejak awal, penonton disuguhi fighting scene yang intens, melibatkan Conan Stevens, aktor ’’raksasa’’ yang bermain dalam The Hobbit dan Game of Thrones.

Penonton dibawa menuju petualangan yang makin dalam bersama Jamar, Suwo, dan Arana. Aroma balas dendam dan perjuangan melawan penguasa kental mewarnai film.

’’Premis dan jalan ceritanya menarik. Koboi melawan kompeni,’’ ungkap sutradara Anggy Umbara yang menonton saat gala premiere.

Adegan aksi yang ditampilkan lebih dari mengesankan. Memadukan senjata mekanis dan seni bela diri dengan tangan maupun parang dan panahan.

Bisa dibilang, koreografi aksi merupakan salah satu aspek terbaik dari film tersebut. Brutally artistic. Ssttt... jangan lewatkan sekuen perkelahian di bar dan adegan klimaks yang bikin mata tidak berkedip. ’’Bener-bener seru dan intens. Kick-as* banget!’’ ucap Anggy.

Menurut dia, Mike berhasil menggabungkan elemen sejarah, fantasi, Western, dan action secara pas.

Buffalo Boys adalah film adventure yang tidak hanya menyajikan aksi, tetapi juga drama. Visual yang disuguhkan, suasana pedesaan dan pusat kota, kostum, serta detailnya memanjakan mata.

John Radel sebagai director of photography sukses memotret aksi dan rangkaian dramatis secara artistik dengan memanfaatkan lanskap Indonesia yang tampaknya cocok untuk film bergaya Western.

Para cast pun apik memerankan karakter mereka. Aktor yang terlibat dalam adegan perkelahian menjalani workshop sebulan sebelum syuting.

Selain itu, beberapa cast sudah berpengalaman dalam bidang bela diri, stuntman, atau adegan action. Yoshi, misalnya, yang pernah berperan sebagai Ranger Biru dalam Power Rangers: Dino Charge.

’’Akting setiap tokoh di sini saling mendukung dan membangun cerita sehingga aksi dan dramanya dapat banget,’’ kata aktor Oka Antara. Salah satu karakter yang disukai Oka adalah Seruni (Happy Salma). Meski perannya tidak besar, Seruni berhasil membuat cerita lebih menyentuh dengan aktingnya.

Bukan hanya duo Jamar dan Suwo, aksi Kiona (Pevita Pearce) sebagai female lead dengan panahnya mencuri perhatian. Jangan lewatkan pula karakter Fakar (Alex Abbad), Adrie (Hannah Al Rashid), Koen (Zack Lee), dan Drost (Daniel Adnan).

Kalau ada yang terasa agak kurang, ketika masuk ke drama, phase film melambat. Serta, dialog yang menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris. Di satu adegan, kita mendengar kalimat berbahasa Indonesia. Di adegan lain, kita mendengar bahasa Inggris yang diucapkan karakter yang sama. ’’Ada baiknya mungkin konsisten satu bahasa saja,’’ tutur Oka.

Sineas Riri Riza memuji desain produksi dari Buffalo Boys. Setting cerita melibatkan lokasi-lokasi keren seperti Candi Prambanan, hutan pinus, dan air terjun di Jogjakarta.

Juga, kostum penduduk lokal, kompeni, dan para koboi yang artistik dan sesuai dengan konteks setting zaman. ’’Terasa banget Indonesianya walaupun ada sentuhan Western,’’ jelas sutradara 47 tahun tersebut.

Menurut dia, film dengan bujet produksi USD 2 juta (atau sekitar Rp 29 miliar) itu memberikan angin segar pada perfilman Indonesia. Genre Western yang sangat Amerika bisa diberi sentuhan Indonesia lewat cerita, tokoh, dan setting. ’’Ini membuktikan bahwa film Indonesia bisa di-explore dan berkembang. Buffalo Boys akan menjadi film besar,’’ tandas Riri optimistis. (len/nor/c14/jan)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 61 Film Bersaing di IMA Award 2018


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler