Buffer Stock Kedelai Harus Transparan

Selasa, 31 Juli 2012 – 02:20 WIB

JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai problematika peningkatan harga kedelai harus segera diantisipasi Pemerintah. Tak hanya solusi dalam jangka pendek, permasalahan dalam ketahanan pangan tersebut juga harus memiliki jalan keluar untuk jangka waktu yang panjang, salah satunya melalui penguatan sistem buffer stock.

KPPU berharap Pemerintah segera menunjuk BUMN, Lembaga, atau Badan di pemerintahan sebagai penyangga kedelai. Ketua KPPU Tadjuddin Noer Said mengatakan, solusi yang diterapkan Pemerintah untuk mengendalikan harga kedelai, melalui pembebasan bea masuk importasi menjadi nol persen, serta membuka akses seluas-luasnya bagi koperasi untuk mengimpor kedelai secara langsung, dengan bekerjasama dengan Badan Urusan Logistik (Bulog), dinilai sebagai solusi jangka pendek.

"Langkah untuk memperbanyak pemain pasar justru akan memicu turunnya harga kedelai impor, karena suplai meningkat, yang tentu saja membuat anjloknya harga kedelai lokal," ungkap Tadjuddin di kantor KPPU, Senin (30/7).

Lantaran itu pula, lanjut Tadjuddin, diperlukan  badan penyangga komoditas kedelai supaya ketika harganya naik, Pemerintah mampu melakukan operasi pasar guna meredam gejolak harga kedelai. Pasalnya, dalam situasi krisis komoditas kedelai seperti yang terjadi sekarang ini, dikhawatirkan terjadi praktek kartel yang dilakukan oleh importer besar kedelai, yang memicu krisis pasokan dan tingginya harga komoditas. 

Sayangnya, Tadjuddin menambahkan, saat ini masih belum ada regulasi yang mengatur tentang lembaga buffer stock tersebut. Karena itu, pada situasi mendesak seperti saat ini, Pemerintah diharapkan segera membentuk regulasi yang berisi penguasaan terhadap hajat hidup orang banyak.

"Namun UU harus transparan menjelaskan mekanisme pendanaan dan juga volume stoknya. Karena sistem buffer stock pasti ada kaitannya dengan dana non-budgeter," ungkap Tadjuddin.

Menurut Tadjuddin, jangan sampai korporasi Pemerintah yang nantinya memiliki kewenangan sebagai penyangga, mengulang kembali kesalahan Bulog 12 tahun silam yang mana menyalahgunakan dana non-budgeter senilai Rp 4,6 miliar. Dalam hal ini dana non-budgeter dikumpulkan dan atau digunakan pemerintah untuk keperluan keadaan mendesak (force majeur), lantaran APBN tidak dapat memenuhi kebutuhan departemen.

Anggaran ini pun tidak masuk dalam rancangan APBN yang diajukan Pemerintah ke DPR. "Jadi untuk mengantisipasi, lembaga penyangga yang ditunjuk bisa macam-macam, tidak hanya Bulog saja," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan bahwa pihaknya tak bisa lagi menjadi penyangga kedelai sejak dikeluarkannya Keppres nomor 19 tahun 1998. Dalam regulasi tersebut, Bulog hanya menangani komoditas beras saja.

"Kalaupun sekarang kita diversifikasi, itu masih untuk komoditas minyak dan gula saja. Kalau kedelai bisa, namun masih jauh," ungkap Sutarto. (gal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hanya 1 Persen Produk Olahan Bersertifikat Halal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler