JAKARTA – Para konsumen, khususnya yang beragama Islam, harus lebih berhati-hati dalam memilih produk makanan olahan yang beredar di pasaran. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencatat, hingga saat ini baru 1 persen produk di pasaran yang sudah bersertifikat halal.
’’Jadi, masih ada sekitar 99 persen produk di pasaran yang statusnya tidak jelas, baik di daerah maupun pusat,” jelas Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim di acara Milad Ke-37 MUI kemarin (28/7).
Lukmanul memaparkan, berdasar data 2010–2011, ada sekitar enam juta produk, baik ilegal maupun legal, yang tersebar di seluruh Indonesia. Di antara jumlah tersebut, baru 81.233 produk yang sudah memiliki sertifikasi halal dari MUI. Bentuk produk-produk yang belum tersertifikasi tersebut bermacam-macam. ’’Mulai produk olahan seperti snack, es krim, cokelat, kosmetik, hingga kue-kue kering maupun kue basah yang beredar di pasaran,” urai Lukmanul.
Memang, lanjut dia, dalam data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ada 35 persen produk di pasaran yang sudah tersertifikasi halal. Namun, data milik BPOM tersebut tidak mencantumkan produk-produk ilegal yang belum tercatat. ’’Sementara itu, data yang kita miliki sudah mencakup produk-produk resmi maupun tidak resmi,” ujar dia.
Untuk itu, lanjut dia, banyaknya produk di pasaran yang belum bersertifikat halal menjadi tantangan bagi MUI. MUI terus melakukan sosialisasi serta imbauan produk halal kepada dua pihak, yakni produsen dan konsumen. Upaya tersebut makin getol dilakukan, khususnya dalam momen Ramadan. Sebab, MUI tidak memiliki kewenangan menyita seperti BPOM.
’’Kami minta produsen untuk tidak memperdagangkan produk-produk yang belum memiliki sertifikat halal. Terutama bagi para pengusaha parsel. Kemudian konsumen yang beragama Islam harus lebih berhati-hati dalam memilih produk. Tolong dilihat apakah ada tanda halal atau tidak,” papar Lukmanul.
Terkait dengan rancangan undang-undang jaminan produk halal (RUU JPH) yang belum juga disahkan, Lukmanul menyatakan, pihaknya akan tetap berupaya dilibatkan dalam proses sertifikasi halal untuk segala jenis produk yang beredar di pasaran. Dengan demikian, MUI nanti tetap mendapat hak penuh dalam penetapan sertifikasi halal di dalam RUU JPH. Seperti diketahui, MUI memegang hak tersebut sejak 1989.
’’Proses sertifikasi halal itu cuma tiga, yakni pemeriksaan, fatwa, dan sertifikat. Otoritas ulama ini adalah fatwa tertulis sehingga menjadi kewenangan ulama,” jelasnya.
Lukmanul menuturkan, dahulu hanya MUI yang memegang kewenangan penetapan sertifikasi halal. Namun, saat ini kewenangan tersebut mulai diperebutkan. ’’LPPOM MUI ini sekarang malah jadi rebutan. Artinya, kami mendapat kepercayaan dari produsen dan konsumen. Karena itu, kami berharap, RUU JPH ini tidak memotong kewenangan MUI,” jelas dia.
Sebagai informasi, dalam draf terakhir RUU JPH versi pemerintah, fungsi MUI hanyalah dalam sidang isbat untuk menetapkan fatwa halal. Sedangkan penetapan standar halal, penentuan auditor untuk mengkaji produk, dan penerbitan sertifikasi halal diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah. (ken/c7/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jatim Baru Terima 1.000 Stiker
Redaktur : Tim Redaksi