Sarasehan ke-3 Satupena: Dari Halaman ke Layar

Buku dan Film Saling Membutuhkan di Era Digital

Selasa, 20 Juli 2021 – 12:30 WIB
Flyer Sarasehan ketiga Perhimpunan Penulis Satupena bertema “Dari Halaman ke Layar” yang diselenggarakan via zoom, Minggu (18/7/2021) petang. Foto: Satupena

jpnn.com, JAKARTA - Berkembangnya platform media hiburan, membuka pintu yang sangat lebar bagi karya-karya berkualitas dari media tulisan, baik novel, cerpen, puisi, bahkan biografi.

Oleh karena itu, kondisi yang memberi ruang terbuka bagi proses kreatif menulis itu harus dimanfaatkan. Namun yang penting, penulis harus cermat membaca kontrak perjanjian ketika karyanya dialihkan ke dalam film maupun bentuk hiburan lain di platform beragam, seperti film untuk bioskop, film untuk Youtube maupun media sosial lainnya.

BACA JUGA: Penulis Satupena Kompak Usung Kemerdekaan Literasi di Kongres II

Demikian rangkuman menarik dari acara Sarasehan ketiga Perhimpunan Penulis Satupena bertema “Dari Halaman ke Layar” yang diselenggarakan via zoom, Minggu (18/7/2021) petang.

Acara yang dipandu kritikus dan anggota Komite Film DKJ Hikmat Darmawan ini menghadirkan sutradara Garin Nugroho, novelis dan penulis Sekar Ayu, dan novelis produktif Asma Nadia.

BACA JUGA: Ketum Jalasenastri Minta Anggotanya Menjaga Keharmonisan Keluarga di Era Digital

Garin mengatakan alih wahana atau adaptasi bisa berasal dari macam-macam karya. “Sebanyak 90 persen karya film saya dari adaptasi yang berasal dari novel, cerpen, musik, dan juga puisi. Misalnya film A Perfect Fit yang baru dirilis di Netflix,” kata Garin yang baru kembali dari Eropa mementaskan karya musikalnya.

Menurut Garin, ada karya tulis baik novel maupun cerpen yang mudah dan sebaliknya sulit diadaptasi ke film. Yang mudah seperti novel “Boemi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer. Sebaliknya yang sulit seperti karya-karya Iwan Simatupang.

BACA JUGA: Jenderal Listyo Meluncurkan Buku Digital Terkait Manajemen Kontingensi Klaster Covid-19

Garin juga mengingatkan adaptasi dari karya tulisan ke film harus diperhatikan peruntukkannya. Sebab jika untuk film bioskop, amat berbeda dengan film untuk platform  Youtube.

“Karakter media dan penonton harus diperhatikan untuk keberhasilan adaptasi sebab beda antara penonton bioskop dan penonton Youtube,” kata Garin.

Untuk adaptasi dari novel, Garin mengungkapkan tiga dimensi. Pertama, punya penonton sendiri (pembaca novel). Kedua, penonton akan membandingkan karya film dan novel aslinya, dan ketika, penonton bebas menilai bagus atau jeleknya film.

Bahasa Visual dan Tulisan Berbeda

Sementara itu, novelis Sekar Ayu yang sejumlah karyanya difilmkan mengaku jika dirinya melepaskan hak atas karyanya itu ke produser atau mereka yang akan mengadaptasi karyanya ke film.

Tujuannya, kata dia, agar mereka bebas membuat visual dari karya tulis yang telah dibuatnya. Apapun hasil filnya, itu karya mereka, meski basisnya dari bukunya.

“Bahasa film dan bahasa tulis itu berbeda,” katanya.

Seperti diketahui, beberapa film yang diadaptasi dari karya Sekar antara lain “Daun di Atas Bantal” yang meraih sejumlah penghargaan.

“Dalam pembuatan film itu, saya tak ikut campur, itu hak mereka,” ujar Sekar.

Dalam sarasehan ini, Sekar kembali mengungkapkan keinginannya untuk membuat film tentang tokoh musisi Betawi yang amat terkenal Ismail Marzuki yang diinspirasi dari karya berjudul “Pasar Gambir”.

“Rencana membuat film tentang Ismail Marzuki ini sudah lama sekali dan kemarin sebelum pandemi sudah akan shooting tetapi terkendala lagi. Jika film yang ada unsur love story ini terwujud, saya tidak akan membuat film lain. Hanya satu film itu,” tegas Sekar.

Sebaliknya, novelis Asma Nadia yang banyak novelnya difilmkan, bahkan berseri, mengaku tetap ingin terlibat dalam pembuatan film, tujuannya agar film yang diangkat dari novelnya sesuai dengan karakter cerita dan penonton puas. Bahkan, dia kerap diminta produser untuk mengusulkan siapa pemain yang pas dengan karakter cerita.

Dalam proses adaptasi novel ke film lanjut Asma Nadia, dirinya selalu mengingatkan agar unsur SARA jangan digambarkan dalam film, sebab akan menimbulkan gelombang protes.

“Jadi, sutradara, produser, penulis skenario selalu diskusi sebelum pembuatan film,” kata dia.

Asma juga selalu berusaha untuk membantu bagaimana film yang diadaptasi dari karyanya ditonton.

“Saya sering lho bareng suami dan anak-anak promosi film dari karya saya. Ini bagian dari komitmen kita agar adaptasi juga menguntungkan semua,” kata Asma Nadia.

Sarasehan ketiga Satupena ini diikuti hampir 100 peserta. Forum ini dimaksudkan untuk meramaikan ajang pertemuan akbar para anggota Satupena untuk memilih pengurus baru.(fri/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Satupena   buku   film   era digital   biografi  

Terpopuler