Bulan Bahasa Sastra 2021: Limola dan Rampi Menuju Kepunahan

Rabu, 13 Oktober 2021 – 23:35 WIB
Upaya Kemendikbudristek lewat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk melestarikan bahasa, sastra lokal. Foto Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan.

jpnn.com, JAKARTA - Balai Bahasa Sulawesi Selatan melaksanakan berbagai upaya pelindungan untuk mencegah punahnya bahasa lokal karena menurunnya jumlah para penutur.

Salah satunya dengan melibatkan anak didik di usia dini dan remaja agar mengenal budaya dan bahasa para leluhurnya.

BACA JUGA: OIC Youth Tak Terima Bahasa Arab Disebut Ciri Teroris

"Kami juga lakukan pengkajian dan konservasi terutama atas bahasa lokal di Sulawesi Selatan, yang  sudah terancam punah karena sudah minimnya penutur," kata Zainab, kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan dalam paparannya memperingati Bulan Bahasa dan Sastra 2021, Rabu (13/10). 

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari pemetaan dan vitalitas terhadap bahasa daerah yang dinilai terancam keberadaannya.

BACA JUGA: Generasi Muda Didorong Ikut Melestarikan Bahasa Daerah

Terdapat beberapa bahasa dan budaya lokal yang statusnya kritis, yaitu bahasa Limola dan Rampi.

Keduanya memiliki indeks vitalitas hampir punah dan menuju kepunahan.

BACA JUGA: Amanda Manopo Ajak Masyarakat Belajar Bahasa Asing Lewat U-Dictionary

Juga bahasa Wotu, Laiyolo, dan sastra lisan Sinrilik.

Zainab mengungkapkan pihaknya melakukan kajian konservasi sebagai langkah awal penyelamatan bahasa Limola dan Rampi.

Melalui konservasi penyusunan sistem morfologi, sintaksis, dan ortografi untuk selanjutnya diupayakan revitalisasi.

Revitalisasi bahasa dan sastra daerah, khususnya pada bahasa-bahasa yang akan punah tersebut sebagai wujud pewarisan atau regenerasi sehingga, generasi muda bisa mewarisi bahasa dan sastra daerahnya dengan baik.

Selain itu juga dilakukan pendokumentasian bahasa dan pelestariannya dengan menggelar kegiatan yang melibatkan anak-anak muda.

Zainab melanjutkan, revitalisasi bahasa Limola, Wotu, Laiyolo, dan sastra lisan Sinrilik digelar melalui tiga tahapan, yaitu survei dan koordinasi, pembinaan/pelatihan, dan pementasan.

"Bahasa Limola dianggap sebagai bahasa tertua di Luwu yang masyarakatnya hidup dan berdiam di titik pusat di Desa Sassa, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara," tuturnya.

Banyak hambatan yang dialami, seperti medan yang berat karena Dusun Sassa dan Dusun Makumpa terlalu sulit dan jauh dari ibu kota.

Juga kesulitan mendapatkan penutur bahasa Limola yang benar-benar asli.  

"Banyak penduduknya sudah tua dan memiliki alat ucap yang sudah tidak lengkap lagi. Di sisi lain, kondisi pandemi Covid-19 membuat tim kesulitan mendatangkan informan," terangnya.

Begitu juga dalam upaya revitalisasi bahasa Rampi, Wotu, dan Laiyolo.

Masyarakat cenderung ragu menerima tim karena kondisi pandemi.

Selain itu komunikasi juga susah karena sinyal seluler tidak sampai di lokasi yang terpencil.

Dikatakannya, kondisi bahasa daerah itu saat ini tidak stabil dan termasuk kategori bahasa yang terancam punah.

Selain itu, kemunduran disebabkan oleh anak-anak sudah sangat jarang menggunakan dan menguasai bahasa ini walaupun kaum tua masih menggunakannya, tetapi jarang digunakan dalam ranah umum atau publik. 

"Anak-anak sebagai usia produktif dan sebagai generasi penerus seharusnya menggunakan bahasa Rampi secara aktif baik di dalam ranah keluarga maupun di ranah publik. Mereka hanya menggunakan bahasanya dalam ranah keluarga," tutur Zainab.

Kegiatan revitalisasi bahasa ini diupayakan dengan membuat generasi muda mau menggunakan bahasa daerahnya.

Misalnya melalui lagu daerah, permainan rakyat, dan pantun. 

"Namun, setiap kegiatan selalu ada kendala dan tantangannya. Pelatihan ini tidak bisa dilaksanakan setiap minggu karena PPKM," pungkasnya. (esy/jpnn)


Redaktur : Adil
Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler