Bulan Bung Karno

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 26 Juni 2023 – 18:45 WIB
Logo Bulan Bung Karno (BBK). Foto: DPP PDIP

jpnn.com - Stadion Gelora Bung Karno (GBK) d/h Stadion Senayan, penuh sesak oleh lautan manusia berkostum merah.

Kapasitas stadion yang menampung 70 ribu orang membeludak sampai 100 ribu orang.

BACA JUGA: Hadiri Puncak Peringatan Bulan Bung Karno, Gus Jazil: Alhamdulillah

Mereka bukan sedang menyaksikan pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Argentina.

Mereka ialah audiens yang didatangkan untuk memeriahkan puncak acara Bulan Bung Karno, Minggu (24/6).

BACA JUGA: Membumikan Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa

Semua petinggi PDIP sebagai si empunya acara berkumpul.

Ada Megawati, ada Puan Maharani, dan tak lupa ada Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah yang sudah mendapat tugas untuk menjadi calon presiden dari PDIP.

BACA JUGA: Pidato Lengkap Presiden Jokowi di Puncak Peringatan Bulan Bung Karno

Hadir pula Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, presiden dan wakil presiden RI.

Bulan Bung Karno berlangsung sepanjang Juni.

Dimulai dengan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, dilanjut dengan peringatan kelahiran Bung Karno pada 6 Juni, dan puncaknya peringatan besar-besaran pada 24 Juni.

PDIP sebagai the ruling party memanfaatkan momentum untuk menghidupkan kembali legasi Soekarno yang pernah dihapus oleh Soeharto sepanjang pemerintahan Orde Baru.

Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari semua pihak.

Penetapan itu merujuk pada pidato Bung Karno sidang BPUPKI 1 Juni 1945.

Saat itu, Bung Karno untuk kali pertama menyebutkan lima sila sebagai dasar negara.

Dalam pidato itu Bung Karno sudah menyebutkan lima sila sebagai Pancasila yang diusulkannya menjadi dasar negara.

Sebelum Bung Karno memberikan pidato, sudah ada banyak tokoh yang memberikan pidato di depan sidang BPUPKI dan sudah berbicara mengenai dasar negara.

Salah satunya adalah Mohamad Yamin yang juga berpidato pada sidang yang berlangsung 29 Mei sampai 1 Juni itu.

Mohamad Yamin berpendapat bahwa negara merdeka harus memiliki nasionalisme atau kebangsaan yang harus sesuai dengan peradaban Indonesia. Yamin berpendapat Indonesia tidak boleh meniru dasar kebangsaan bangsa atau negara lain.

Yamin sudah menyebut mengenai lima sila.

Konsep Pancasila dalam pemikiran Yamin dibagi ke dalam lima hal pokok yaitu peri kebangsaan, perikemanusiaan, periketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat.

Itulah sebabnya, sepanjang masa kekuasaan Orde Baru muncul upaya untuk menggeser pengaruh Bung Karno yang disebut sebagai penggali Pancasila, dan menggantikannya dengan Mohamad Yamin.

Sejarawan Orde Baru Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa Mohamad Yamin adalah penggali Pancasila, bukan Soekarno.

Sebab, Yamin sudah mengajukan konsep lima sila sebelum Sukarno.

Anakronisme sejarah oleh rezim Orde Baru dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan pengaruh Soekarno yang masih sangat kuat.

Ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1967, upaya desoekarnoisasi dilakukan dengan sistematis.

Ketika Bung Karno meninggal dunia pada 1970, pemerintahan Soeharto tidak menguburkannya di Istana Batu Tulis Bogor, tetapi di Blitar yang jauh dari Jakarta.

Pemunculan Mohamad Yamin sebagai penggali Pancasila juga menjadi bagian dari proyek ‘desoekarnoisasi”.

Setelah rezim Soeharto berakhir dan Megawati membawa PDIP menjadi partai pemenang maka proyek resoekarnoisasi dimulai dengan berbagai program. Patung-patung Bung Karno dibangun di banyak tempat, dan bulan Juni ditetapkan sebagai Bulan Bung Karno.

Puncak acara di Stadion Bung Karno menjadi statemen politik PDIP untuk menunjukkan kebesarannya.

Megawati Soekarnoputri juga menunjukkan semangat yang menggebu-gebu untuk menegakkan kembali legasi Bung Karno.

Kontroversi tanggal lahir Pancasila masih tetap menjadi isu politik yang hangat sampai sekarang.

Kalangan Islam politik masih tetap percaya bahwa Hari Lahir Pancasila adalah 22 Juni. 

Ketika itu, tim sembilan yang dipimpin Sukarno menyepakati susunan final Pancasila yang disebut sebagai Piagam Jakarta.

Dalam versi 1 Juni Sukarno menempatkan sila ketuhanan pada urutan kelima.

Pada susunan versi Piagam Jakarta sila ketuhanan dinaikkan ke posisi pertama dan menambahi 7 kata ‘’disertai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’’.

Rumusan ini ditandatangani oleh anggota tim sembilan, termasuk A.A Maramis sebagai perwakilan masyarakat Kristen.

Akan tetapi, pada rapat 18 Agustus 1945, tujuh kata itu dihapus dan diganti dengan ‘’Yang Maha Esa’’.

Mohamad Hatta adalah pemrakarsa penghapusan 7 kata itu, karena pada malam harinya ia didatangi tiga orang yang memberi informasi intelijen bahwa wilayah Indonesia bagian timur akan memisahkan diri jika 7 kata itu tetap dicantumkan.

Ki Bagus Hadikusumo, pimpinan Muhammadiyah yang menjadi wakil Islam di BPUPKI, paling gigih menolak penghapusan itu.

Dia luluh setelah dibujuk oleh Kasman Singodimejo yang sama-sama berasal dari Muhammadiyah.

Dengan berat hati Ki Bagus Hadikusumo menyepakati penghapusan itu.

Sampai sekarang Piagam Jakarta masih tetap diakui absah oleh kalangan Islam politik.

Mereka percaya bahwa versi final Pancasila adalah versi Piagam Jakarta, bukan vers lainnya.

Perdebatan tajam masih tetap berlangsung sampai sekarang.

Megawati mengecam mereka yang tidak sepakat dengan versi 1 Juni, dan mengatakan agar mereka yang tidak sepakat tidak usah tinggal di Indonesia.

Megawati menyindir mereka yang mempertanyakan penetapan Hari Lahir Pancasila yang disebut dilakukan secara sepihak tanpa berembuk terlebih dahulu.

Megawati kemudian memperbandingkan Pancasila dengan The Declaration of Independence di Amerika yang disepakati dan disetujui oleh semua komponen bangsa Amerika tanpa kontroversi.

Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat disusun oleh Komite Lima, terdiri dari John Adams, Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, Roger Sherman, dan Robert Livingston, yang kemudian mempersembahkannya kepada Kongres Kontinental 4 Juli 1776 yang kemudian ditetapkan sebagai hari kemerdekaan Amerika Serikat.

Deklarasi Kemerdekaan Amerika lebih tepat diperbandingkan dengan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.

Pada pertemuan malam hari sebelum proklamasi, ada usul supaya semua peserta rapat menandatangani naskah proklamasi sebagaimana yang dilakukan oleh founding fathers Amerika. Akan tetapi, peserta rapat sepakat untuk mewakilkannya kepada Soekarno dan Hatta, yang kemudian secara aklamasi diangkat sebagai presiden dan wakilnya.

Sejarah menunjukkan bahwa Pancasila dan Naskah Proklamasi adalah hasil kesepakatan bersama yang dicapai melalui proses perdebatan yang panjang dan sering kali panas. Pada akhirnya jiwa kenegarawanan para founding fathers itu lebih menonjol ketimbang kepentingan pribadi.

Spirit kenegarawanan itu yang sekarang terasa tergerus. Terasa sekali ada upaya untuk mempertahankan satu pendapat secara eksklusif, dengan menegasikan eksistensi kelompok lain yang dianggap sebagai ‘’liyan’’. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler