BUMN Harus Bereskan Kredit Bermasalah

Piutang Bukan Lagi Milik Negara

Jumat, 14 Desember 2012 – 07:17 WIB
JAKARTA  –  Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan piutang BUMN bukan lagi kewenangan negara. Dengan begitu, maka BUMN harus menyelesaikan sendiri kredit bermasalah sesuai kebijakan di perusahaan masing-masing. Agar tidak kontra produktif, perlu diperlukan mekanisme hapus tagih tersebut.’’Kami mendorong adanya prosedur operasi standar yang terukur dan fokus pada penyelesaian kredit bermasalah,’’ ujar anggota BPK Bahrullah Akbar di Jakarta, Kamis (13/12).

Dengan adanya standard operating procedure (SOP), BPK bisa memeriksa kinerja bank yang melaksanakan putusan tersebut. Sehingga per tiga bulan bisa dilakukan pemeriksaan kinerja penyelesaian piutang bank BUMN berdasarkan SOP yang telah disusun.

Selain itu, perlu penyusunan mekanisme yang transparan dan jelas sehingga tidak ada interpretasi berbeda. Fungsi akuntabilitas juga harus ditegakkan, di mana perbaikan atas kelemahan aturan yang telah dibuat Bank Indonesia bisa segera diperbaiki.

Penting juga dilakukan pengawasan intensif dari pihak terkait seperti Kementerian BUMN hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan mulai resmi beroperasi 2014 mendatang.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas menyatakan, putusan MK tanggal 25 September bernomor 77/PUU-X/2012 dalam perkara Pengujian UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) ini, setidaknya telah menimbulkan dua isu utama, yaitu ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para debitor bank-bank BUMN. ’’Ini setelah kami mencermati putusan itu,’’ ucapnya.

Bank BUMN mempertanyakan definisi kekayaan negara sesungguhnya dan kebenaran bank-bank tersebut merupakan aset negara sebagaimana diatur dalam UU No 49/1960 tentang PUPN. Akibatnya, mereka kesulitan menangani kredit bermasalah melalui restrukturisasi piutang.

Ketidakadilan ini menjadi ancaman bagi para debitor bank BUMN dan selain bank BUMN. Bagi debitor yang tidak kooperatif, mereka dapat menikmati hair cut (hapus tagih) hingga 50 persen dari utang pokoknya. Sebaliknya, para debitor yang kooperatif dan utangnya direstrukturisasi PUPN, malah mendapat utang pokok yang makin besar.

Untuk itu, perlu dibuat pedoman tertulis sebagai pegangan dalam pengambilan keputusan guna merestrukturisasi piutang. ’’Pedoman ini menjadi penting dalam menghadapi implikasi hukum yang mungkin terjadi, sehingga memberikan rasa aman bagi manajemen bank dalam mengambil keputusan,’’ jelasnya.

Ronald juga mendorong pihak pemangku kebijakan seperti Kementerian BUMN, Himpunan Bank Negara (Himbara) dan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), serta BPK untuk turut berperan aktif berkolaborasi dalam penyusunan pedoman standar itu.’’Karena kita semua memiliki kepentingan yang sama, yaitu tercapainya industri perbankan yang sehat dan berkontribusi bagi perekonomian bangsa,’’ tuturnya. (lum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... JK Dukung Kenaikan BBM

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler