Bung Karno dan Pancasila

Oleh Dr. H Ahmad Basarah M.H*

Jumat, 29 Mei 2020 – 22:58 WIB
Presiden Pertama RI Ir Soekarno. Foto: Geheugen van Nederland/ANP

jpnn.com - Sejak negara Indonesia didirikan pada tahun 1945, telah ditetapkan bahwa dasar negaranya adalah Pancasila.

Namun, memahami eksistensi Negara Pancasila dan kedudukan hukum Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak dapat dilakukan jika kita tidak mengetahui dan memahami dengan benar sejarah pembahasan, perumusan dan pembentukannya oleh para pendiri negara.

BACA JUGA: Mustahil Memisahkan Bung Karno dari Sejarah Pancasila

Kita juga tidak akan memahami proses sejarah pembentukan Pancasila sebagai dasar negara tanpa memahami dengan utuh dan objektif atas sejarah dan perkembangan pemikiran Bung Karno yang dalam fakta sejarahnya telah melakukan peranan penting sebagai asbabunnuzul, asbabulwurud, dan causa prima atau penyebab utama lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Bung Karno berhasil menyintesiskan berbagai pandangan yang telah muncul dan menjadi orang pertama yang melakukan konseptualisasi dasar negara itu ke dalam pengertian “dasar falsafah” (philosofische grondslag) dan “pandangan komprehensif dunia” (weltanschauung) secara sistematik, solid dan koheren. Istilah Pancasila itu sendiri berasal dari Bung Karno setelah meminta pendapat seorang ahli bahasa.

BACA JUGA: Ahmad Basarah: Sejak Lahir, Pancasila tak Pernah Bermusuhan dengan Agama

Dengan demikian menjelaskan sejarah pembentukan Pancasila sebagai dasar negara tanpa mengikutsertakan Bung Karno sama saja dengan memutus rantai sejarah bangsa Indonesia.

Pengakuan yuridis oleh negara bahwa Pancasila lahir tanggal 1 Juni 1945 dan bersumber dari Pidato Bung Karno telah dinyatakan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Keppres Nomor 24 Tahun 2016 pada pokoknya berisikan penetapan, yaitu: menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila, tanggal 1 Juni merupakan hari libur nasional, serta pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia memperingati hari lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni.

BACA JUGA: Ahmad Basarah: Bung Karno Menolak Ateisme dalam Pancasila

Konsiderans Huruf d Keppres Nomor 24 Tahun 2016 menyatakan bahwa Pancasila sejak kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945 telah mengalami perkembangan hingga menghasilkan naskah Piagam Jakarta yang dirumuskan Panitia Smebilan pada 22 Juni 1945. Naskah itu kemudian disepakati menjadi rumusan final pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebagai satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara.

Keppres Hari Lahir Pancasila tersebut telah melengkapi dokumen kenegaraan Keppres Nomor 18 Tahun 2008 tentang penetapan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konstitusi.

Keberadaan bagian konsiderans itu sesungguhnya merupakan upaya pemimpin negara untuk mengakhiri polemik dan dikotomi sejarah kelahiran Pancasila yang rawan memecah belah persatuan bangsa. Pandangan dan sikap yang sama sebelumnya juga telah disepakati dan dirumuskan oleh seluruh Fraksi dan Kelompok DPD RI di MPR RI dalam dokumen resmi yang menjadi bahan baku Sosialisasi Empat Pilar MPR RI terbitan 2012.

Dengan demikian, secara historis terdapat tiga rumusan Pancasila, yaitu rumusan Bung Karno yang disampaikan pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK); rumusan oleh Panitia Sembilan yang diketuai oleh Bung Karno dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945; dan rumusan final pada Pembukaan UUD 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga diketuai oleh Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dari ketiga dokumen otentik rumusan Pancasila tersebut terlihat sangat jelas bahwa Bung Karno memiliki peran yang amat strategis dalam proses pembahasan dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara bersama para pemimpin bangsa Indonesia yang lainnya, baik dari tokoh-tokoh golongan Islam maupun golongan Kebangsaan.

Menurut Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, penerimaan atas Pidato 1 Juni 1945 secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPK pada waktu itu sangat mudah dimengerti. Hal itu bukan saja karena intisari dari substansi yang dirumuskan Bung Karno memiliki akar kuat dalam sejarah panjang Indonesia, tetapi nilai-nilai yang melekat di dalamnya melewati sekat-sekat subjektivitas dari sebuah peradaban dan waktu.

Dalam pidatonya di depan sidang PBB pada 30 September 1960, Bung Karno menyangkal pendapat Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris yang membagi dunia hanya ke dalam dua poros ideologi, yaitu liberalisme/kapitalisme dan komunisme. Bung Karno mengatakan, Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu.

Bung Karno dengan lantang mengucapkan, “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.”

Dari penegasan Bung Karno di forum dunia tersebut, sangat jelas perbedaan Pancasila dengan ideologi liberalisme ataupun kapitalisme dan komunisme. Pancasila adalah suatu pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi, suatu hogere optrekking dari  Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.

Dengan demikian, Pancasila adalah ideologi yang lebih sesuai dan lebih cocok dengan falsafah hidup dan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila lebih sesuai dan cocok bagi bangsa Indonesia daripada komunisme yang menganut falsafah ateisme karena Pancasila punya sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pancasila lebih sesuai dan cocok bagi bangsa Indonesia karena punya sila tentang keadilan sosial, ketimbang liberalisme ataupun kapitalisme yang ekonominya dikuasai kaum pemilik modal. Saat ini juga dapat kita tegaskan kembali bahwa Pancasila juga lebih cocok dan sesuai bagi bangsa Indonesia dari paham negara Khilafah ala ISIS yang tidak mengakui nasionalisme dan teritorial suatu negara bangsa karena dalam Pancasila memiliki sila Persatuan Indonesia.(***)

*Penulis adalah Wakil Ketua MPR RI 2019-2024 dan Ketua DPP PDI Perjuangan


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler