jpnn.com - Isu Bung Karno dan PKI biasanya ramai dibicarakan sekitar 30 September, karena Bung Karno selalu dikaitkan dengan gerakan percobaan kudeta PKI.
Akan tetapi, kali ini isu itu muncul lagi menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November.
BACA JUGA: Ganjar Temui Jokowi di Istana, Hadir Elite PDIP dan Keluarga Bung Karno, Ada Apa?
Pemicunya adalah munculnya penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk Bung Karno.
Oleh keluarga Bung Karno, momen ini sekaligus dipakai untuk menegaskan bahwa Bung Karno tidak punya keterkaitan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).
BACA JUGA: Kuburan Massal Hutan Plumbon, Saksi Bisu Tempat Mengeksekusi Mereka yang Dianggap PKI
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan kembali sejarah kepahlawanan Proklamator Kemerdekaan Soekarno.
Dia mengatakan, gelar pahlawan proklamasi dan gelar pahlawan nasional yang diberi negara kepada Soekarno membuktikan bahwa presiden pertama RI itu setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara.
BACA JUGA: Pemerintah Pastikan Bung Karno Tak Pernah Berkhianat, Gelar Kepahlawanan Kembali Dipertegas
Merespons Jokowi, putra Bung Karno, Guntur Soekarnoputra mengatakan, ayahnya bukan PKI.
Menurut Guntur, ayahnya bukan PKI, bukan komunis, dia adalah nasionalis dan patriot sejati.
Guntur melihat pernyataan Jokowi yang disampaikan dalam momentum peringatan hari pahlawan telah menegaskan kepahlawanan Soekarno.
Pada 1986, pemerintah telah menganugerahkan gelar pahlawan proklamator kepada Bung Karno.
Pada 2012, pemerintah juga telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional. Lewat gelar pahlawan tersebut, Bung Karno telah dinyatakan memenuhi syarat setia dan tidak mengkhianati bangsa negara.
Salah satu peristiwa sejarah yang paling kontroversial di Indonesia yang terus dipertanyakan kebenarannya adalah upaya makar 30 September 1965.
Dalam narasi sejarah versi Orde Baru, PKI adalah dalang dari pemberontakan tersebut. Setelah upaya pemberontakan itu gagal maka Jenderal Soeharto melakukan pembubaran PKI dan memburu anggota-anggotanya.
Dalam sejarah versi Orde Baru gerakan itu disebut sebagai G30 S-PKI.
Sementara itu, narasi lain yang dikeluarkan oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey dalam Cornell Paper menyatakan bahwa gerakan 30 September merupakan puncak dari konflik yang terjadi dalam internal Angkatan Darat.
Dalam versi ini disebutkan kaitan penculikan 7 jenderal Angkatan Darat dengan ‘’power play’’ perebutan kekuasaan di tubuh TNI Angkatan Darat.
Versi Cornell Paper ini juga diragukan akurasi dan objektivitasnya karena beredar sangat cepat dan dekat dengan peristiwa penculikan itu.
Kecenderungan Ben Anderson yang bersimpati terhadap gerakan kiri di Indonesia juga menjadi faktor yang membuat analisis itu kemungkinan bias dan tidak objektif.
Peristiwa Gerakan 30 September selalu berputar pada tiga aktor, yakni PKI, Angkatan Darat (AD), dan Bung Karno. Dalam persaingan segi tiga ini selalu disebutkan bahwa Bung Karno lebih dekat dengan PKI.
Para pimpinan AD, terutama Jenderal Nasution, yang sangat anti-PKI, demikian juga jenderal yang lebih junior seperti Ahmad Yani dan Soeharto.
Kedekatan Soekarno dengan PKI tidak serta-merta membuatnya dekat dengan Ketua PKI, DN Aidit.
Sejarawan Belanda, Antonie C.A. Dake menyatakan bahwa Bung Karno membenci Aidit karena menurutnya Aidit terlalu ambisius.
Soekarno lebih dekat dengan Wakil Ketua PKI, Njoto, dibanding dengan Aidit.
Bung Karno pantas tidak suka kepada Aidit karena Aidit punya ambisi besar untuk melakukan ‘’kudeta konstitusional’’, yaitu merebut kekuasaan melalui jalur resmi pemilihan umum.
Aidit bekerja keras tidak kenal lelah mendidik kader-kader PKI supaya menjadi kader militan sekaligus cerdas dalam berpolitik.
Aidit, antara lain, menggalakkan pendidikan politik para kader PKI dengan cara mendorong mereka aktif membaca untuk menambah pengetahun dan mengadakan forum-forum diskusi.
Aidit juga mendorong kader PKI untuk menulis buku maupun artikel.
Target Aidit adalah PKI menang dalam pemilu.
Dengan demikian PKI akan menjadi partai komunis pertama di dunia yang berhasil merebut kekuasaan tidak melalui revolusi, tetapi melalui pemilu.
Kalau PKI menang pemilu maka terbuka jalan bagi Aidit untuk menjadi presiden.
Tentu Bung Karno tidak mau ada matahari kembar.
Indonesianis asal Australia, Harold Crouch, berpendapat bahwa Soekarno mendekati PKI dalam rangka menandingi dan menyeimbangkan kekuatan AD yang secara politis tumbuh makin kuat dan mengancam posisi Bung Karno.
Hanya PKI yang oleh Bung Karno dianggap punya kemampuan politik menyaingi AD. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno tidak punya basis massa karena merupakan partai para priyayi yang tidak memiliki akar kuat di masyarakat.
Ketika Bung Karno mulai sakit-sakitan, maka TNI AD dan PKI saling intip untuk merebut kekuasaan jika setiap saat Bung Karno meninggal dunia.
Letkol Untung Samsuri komandan Paspampres Tjakra Bhirawa kemudian melakukan penculikan 7 jenderal, yang disebut sebagai anggota ‘’Dewan Jenderal’’ yang hendak mengudeta Bung Karno.
Sampai sekarang masih menjadi kontroversi apa motivasi Untung menculik para jenderal, dan siapa yang berada di balik Untung. Ada analisis yang menyatakan Bung Karno tahu ada rencana penculikan tetapi mendiamkannya.
Ada juga analisis yang menyatakan bahwa Soeharto yang menjadi komandan Kostrad juga tahu rencana penculikan tetapi membiarkannya.
Misteri itu tetap menjadi misteri dan selalu menjadi perdebatan setiap kali muncul pembahasan mengenai penculikan oleh Untung itu.
Penganugerahan gelar pahlawan kepada Bung Karno oleh Jokowi tidak serta-merta akan membersihkan Bung Karno dari stigma PKI.
Demikian pula, lawan-lawan politik Presiden Soeharto akan tetap menuduhnya sebagai orang yang memanfaatkan kasus Untung untuk menjalankan agenda politiknya memburu dan menghancurkan PKI.
Hal itu bisa dimaklumi. Bung Karno adalah pejuang kemerdekaan yang sangat antiterhadap kolonialisme dan imperialisme.
Selain aktivis pergerakan, Bung Karno juga seorang intelektual par excellent.
Dia sangat memahami filosofi gerakan-gerakan besar dunia, mulai dari kapitalisme-liberalisme, kolonialisme-imperialisme, komunisme-sosialisme, termasuk juga Islam dan agama-agama lain.
Dari penguasaan khazanah yang luas itulah Bung Karno melihat bahwa penjajahan merupakan kejahatan kemanusiaan internasional yang harus dilawan dan dihapuskan. Ketika itu lawan utama kolonialisme adalah gerakan komunisme yang muncul di Rusia dan kemudian berkembang di China.
Bung Karno melihat ajaran Karl Marx sebagai spirit yang paling tepat untuk melawan penjajahan. Karena itu Bung Karno sangat mengagumi Marx dan sangat banyak mengadopsi teori dan ajaran Marx.
Akan tetapi, harus diingat pula bahwa Bung Karno juga mempelajari Islam dengan serius, dan melihat Islam sebagai agama yang punya potensi kekuatan untuk melawan imperialisme.
Karena itu, Bung Karno ingin memadukan komunisme dan agama dengan gerakan nasionalisme yang muncul di banyak negara jajahan yang ingin merdeka.
Maka lahirlah konsep Nasakom, nasionalis-agama-komunis. Tiga kekuatan ini harus bersatu untuk mengantam kolonialisme.
Eksperimen politik Bung Karno ini gagal karena unsur agama di Indonesia mayoritasnya adalah Islam, yang tidak bisa bertemu dengan komunisme.
Bung Karno dengan sekuat tenaga meyakinkan rakyat bahwa Nasakom akan menjadi kekuatan khas Indonesia untuk menghadapi kolonialisme Eropa.
Eksperimen ini gagal setelah terjadi kudeta oleh Letkol Untung. Bung Karno kemudian menjadi korban atas eksperimen politik yang gagal itu.
Pertanyaan apakah Bung Karno PKI atau bukan tidak akan mudah hilang. Menuduh Bung Karno sebagai PKI juga tidak mudah, karena tidak ada bukti-bukti yang konkret.
Akan tetapi, menyatakan bahwa Bung Karno benar-benar bersih dari komunisme juga meragukan, karena dalam perjalanannya Bung Karno menunjukkan sikap yang sangat bersimpati terhadap komunisme.
Sejarah ditulis oleh para pemenang. Dan sejarah pemberontakan PKI akan tetap menjadi kontroversi sampai kapan pun. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror