Kuburan Massal Hutan Plumbon, Saksi Bisu Tempat Mengeksekusi Mereka yang Dianggap PKI

Senin, 03 Oktober 2022 – 22:00 WIB
Prasasti kuburan massal di tengah Hutan Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Foto: Dokumentasi warga Wonosari untuk JPNN.com

jpnn.com - Operasi pembersihan terhadap pihak-pihak yang dianggap kaki tangan Partai Komunis Indonesia (PKI) meninggalkan jejak di sebuah hutan jati di Semarang. Di tengah hutan itulah terdapat kuburan massal untuk orang-orang yang dicap komunis oleh penguasa Orde Baru.

Laporan Wisnu Indra Kusuma, Semarang

BACA JUGA: Kisah RPKAD Merebut RRI dari G30S PKI, Ada Brigjen Takut Masuk Studio Siaran

HUTAN Plumbon. Begitulah orang-orang Semarang menyebutnya.

Lokasi hutan itu di Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Jaraknya dari Tol Transjawa ruas Semarang-Batang sekitar 2 kilometer.

BACA JUGA: Ketidaksukaan Soeharto pada Keputusan Bung Karno soal Pranoto Pascaperistiwa G30S

Di tengah hutan itu ada sebuah prasasti bertarikh 2015 sebagai penanda. Itulah kuburan sekaligus lokasi eksekusi terhadap warga yang dilabeli sebagai kaki tangan PKI pascaperistiwa G30S pada 1965. 

Sepintas akses menuju ke kuburan itu tidak begitu kentara. Hal itu disebabkan semak belukar menutupi jalan masuk ke lokasi makam.

BACA JUGA: PKI dan Baladewa

Untuk sampai ke kuburan itu juga harus melalui lahan pertanian warga. Pengunjung yang mau mengunjungi makam tersebut juga mesti meniti jembatan tua dari kayu. 

Memang orang awam sulit menemukan kuburan yang jauh dari permukiman itu. Walakin, warga Kota Semarang, khususnya Kelurahan Wonosari, mengetahui lokasi tersebut.

Pada 1 Juni 2015, lokasi itu dipasangi prasasti. Delapan nama tertulis di prasasti tersebut.

Pegiat hak asasi manusia (HAM) Yunantyo Adi menuturkan ada saksi yang menyatakan 24 orang dikubur di lokasi itu. Versi lain menyebutkan ada 12 jenazah yang dikuburkan di Hutan Plumbon.

Namun, Adi mengatakan jenazah yang terdata di lokasi itu hanya delapan orang. Dia memerinci dari delapan jenazah itu terdapat dua tokoh komunis, yakni Moetiah dan Soesetyo. 

Aktivis kemanusian itu menjelaskan Moetiah merupakan guru yang menjadi anggota Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. 

"Bu Moetiah adalah guru TK Melati di Kendal," tutur Adi. 

Menurut Adi, organisasi onderbouw PKI itu mengusung misi pendidikan. Keberadaan TK Melati merupakan salah satu hasil kiprah Gerwani.

Ibu Moetiah, kata Adi, dari keluarga ningrat. "Cukup berada karena memiliki kalung dan gelang.” 

Meskipun ikut Gerwani, Moetiah memiliki latar belakang santri. Adi mengungkapkan perempuan asal Kendal itu minta dibacakan Alquran sebelum dieksekusi mati.

"Waktu eksekusi ada perangkat desa (menjadi saksi), Ibu Moetiah minta qiraah, tetapi (bacaan Al-Qur’an) belum selesai, beliau dibedil," kata Adi.

Adapun Soesatyo juga tokoh penting. Sebelum dieksekusi, Soesatyo merupakan pejabat teras Kabupaten Kendal. 

"Pak Soesetyo adalah wakil bupati Kendal,” kata Adi.

Sebagian besar jenazah di kuburan itu merupakan warga Kabupaten Kendal. Hal itu disebabkan sebelum wilayah Kota Semarang diperluas, dahulu lokasi Hutan Plumbon masuk Kabupaten Kendal.

“Dua itu (Moetiah dan Soesatyo, red) yang cukup populer. Lainnya pengurus ranting PKI maupun Pemuda Rakyat," ujar Adi.

Menurut Adi, ada saksi yang mengetahui eksekusi itu dilaksanakan sekitar akhir 1965 atau awal 1966. Namun, momennya berdekatan dengan Idulfitri.

“Jika dilihat itu akhir 1965, mungkin Januari 1966 setelah Lebaran," ujarnya.

Sejarawan Universitas Negeri Semarang (Unnes) Tsabit Azinar Ahmad mengatakan masyarakat umum ikut terlibat dalam pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap terlibat PKI. 

"Dalam hal ini diberikan motivasi oleh militer yang kemudian mendorong mereka mengeksekusi," kata Tsabit kepada JPNN.com.

Tsabit mengendus peran rival politik PKI di balik pembantaian itu. Seteru PKI itulah yang menggerakkan warga sipil untuk menghabisi kaum komunis.

"Algojo itu bukan militer aktif saja, tetapi memang digerakkan. Eksekutor juga dari masyarakat sipil," tuturnya.

Memang tidak ada data pasti soal jumlah orang yang dicap PKI lalu dieksekusi di Hutan Plumbon. 

Menurut Tsabit, keturunan orang-orang yang dieksekusi itu juga tidak mau terseret-seret persoalan. Di antara anak cucu mereka tentu ada yang ingin menjadi abdi negara. 

Namun, penguasa Orde Baru menerapkan penelitian khusus (litsus) dan syarat bersih lingkungan bagi warga yang mau menjadi PNS. 

“Anak-anak kecil yang tak tahu masalah terkena imbas tidak bersih lingkungan," ujarnya.

Perlahan, para keturunan PKI mulai membuka diri saat pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagao Organisasi Terlarang di Seluruh Indonesia, dan Larangan Menyebarkan atau Mengembangkan Komunisme/Marxisme-Leninisme.

"Baru ada keberanian sejak 2000 hingga sekarang. Ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," tuturnya

Memang Semarang dan sekitarnya pernah menjadi basis suara PKI. Pada Pemilu 1955, partai berlambang palu arit itu meraih suara mayoritas di ibu kota Jawa Tengah tersebut.

Artikel dari hasil penelitian mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) yang dipublikasikan dengan judul "Aktivitas Gerwani di Kota Semarang Tahun 1950-1965” mencatat PKI pada waktu itu memiliki 14 kursi di DPRD Semarang. (mcr5/jpnn)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler