jpnn.com, JAKARTA - Belakangan ramai tagar BlackLiveMatter yang dikaitkan dengan situasi dan kasus rasial yang dialami sebagian masyarakat Papua, hingga muncul tagar PapuaLiveMatter.
Padahal ada kondisi sosial politik berbeda. Apalagi secara kontekstual isu rasisme di AS dan Indonesia berbeda.
BACA JUGA: Tidak Ada Ruang Bagi Rasisme Tumbuh di Indonesia
Di mana Indonesia dibangun berdasarkan nilai Bhinneka Tunggal Ika.
Karena itu semua pihak didorong agar tak terpancing. Juga, tidak memanfaatkan situasi saat ini dengan mengalihkan isu ke arah mendukung separatisme di tanah air. Khususnya gerakan dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
BACA JUGA: WNI di Amerika Serikat: Rasisme Makin Terasa Sejak Trump Berkuasa
Herry Ario Naap, Bupati Biak Numfor, mengimbau agar perasaan merasa terdistriminasi dihilangkan.
Ditegaskan bahwa menjadi kewajiban bersama untuk membangun masyarakat Papua melalui berbagai hal, terutama peningkatan sumber daya manusia.
BACA JUGA: KPK Telisik Hubungan Istri Nurhadi dengan Pria PNS di MA, Oh Ternyata
“Jika ada peningkatan dalam hal pendidikan maka diskriminasi akan berkurang untuk Papua, hal ini diharapkan adanya gerakan dari pemerintah pusat,” ujar Herry, dalam siaran pers, Selasa (16/6).
Di sisi lain, dia mengajak para mahasiswa Papua untuk aktif dalam pendidikan sehingga mampu berprestasi. Ketika berprestasi, tidak akan pernah ada yang meremehkan.
Kemudian meningkatkan kompetensi dan aktif dalam berbagai bidang kegiatan baik organisasi maupun kelembagaan.
“Mahasiswa harus aktif organisasi dengan demikian bisa merangkul dihargai toleransi terbangun, saya sebagai Bupati ketika terjadi kasus di Surabaya meminta tetap di sana dan tidak pulang,” ujar Herry.
Dia mendorong mahasiswa Papua menunjukkan prestasi agar tidak dipandang remeh oleh pihak lain.
Dia juga mengimbau mahasiswa Papua bisa hidup bersosialisasi agar tidak hanya hidup dan mengenal dari satu suku saja. Mahasiswa Papua harus aktif dalam setiap organisasi.
Thomas Eppe Safanpo, Wakil Bupati Asmat juga mengingatkan, persoalan rasisme bukan persoalan Papua. Namun, persoalan Indonesia keseluruhan.
Karena itu, semua kalangan harus diedukasi hidup dalam keberagaman, jangan mengejar persatuan lalu keberagaman dinafikan.
Thomas mengemukakan, sebagai mantan mahasiswa Papua yang pernah kuliah di Solo, ia merasa masyarakat sangat terbuka dan tidak pernah ada perlakukan rasis yang terbuka.
Hanya, harus diakui seringkali ada ekspresi dan pernyataan konyol, maupun mimik bahasa.
Bagi dia, ekspresi seperti itu tidak bisa dihindari, karena terkait penafsiran orang yang berbeda. Asal dijelaskan dijawab maka persepsi orang akan lebih baik lagi ke warga Papua.
Dia menyatakan bahwa rasisme timbul karena ada tingkat superioritas berdasarkan warna kulit.
Namun indonesia menurutnya adalah negara Bhinneka Tunggal Ika dengan berbagai macam warna kulit. Karena itu cara menyikapi rasisme tidak harus dengan kerusuhan.
“Keseluruhan warga Indonesia harus diedukasi agar tetap bisa menghargai hidup dalam keberagaman. Tidak usah diadakan asrama, agar mahasiswa Papua dapat berbaur dan menyatu dengan semua pihak dan bisa berbaur dengan suku manapun, sama seperti kondisi mahasiswa Papua dulu,” ujar Thomas.
Wakol Yelipele, Ketua PMKRI Papua, menambahkan, rasisme bukan hanya terjadi kepada orang Papua. Rasisme ada di mana-mana di segala golongan.
Dia meminta agar tidak memisahkan antara Papua dan Indonesia, tetapi bersama menyatukan. Karena itu, organisasi mahasiswa gencar bekerja sama memerangi rasisme lintas golongan organisasi.
Juga, rutin berkeliling Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan dan untuk menyatukan Indonesia.
Mahasiswa Papua berada di posisi tengah yang tidak memihak siapapun dan mengutamakan untuk keadilan, kesejahteraan antar wilayah se-Indonesia.
Wakol mengaskan tagar PapuaLivesMatter juga sejatinya tidak relevan karena faktanya, warga Papua sangat terbuka, mau bekerja sama.
Misal di tempat lahirnya, ada banyak warga suku bangsa, agama, membaur, ketika hari besar bersama saling membantu, saling merayakan. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad