JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 7 ayat (6) huruf a UU No. 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang mengatur kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM. Uji materi tersebut diajukan Ketua Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) M Komarudin dan Presiden Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Ahmad Daryoko.
Pemohon menilai, aturan kewenangan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi tanpa persetujuan DPR sebagaimana dalam pasal tersebut sangat merugikan buruh karena harus terbebani atas segala kenaikan biaya sandang, pangan, papan, dan transportasi.
’’Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBNP 2012 sangat berpotensial menimbulkan kerugian konstitusional bagi pemohon secara langsung,’’ kata kuasa hukum FISBI, Andi M Asrun, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, di ruang sidang MK, kemarin (28/5).
Pasal 7 ayat (6) huruf a berbunyi, ’’Dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dari ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan 2012, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian harga BBM bersudsidi dan kebijakan pendukungnya.’’
Menurutnya, besaran kenaikan BBM haruslah tetap melalui kontrol DPR tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar bebas. ’’Penentuan harga minyak digantungkan secara spekulatif pada harga minyak 6 bulan ke depan. Tidak saja harga BBM yang tidak pasti, pengaruh ketidakpastian harga BBM juga berimbas pada harga kebutuhan pokok yang sangat memberatkan para butuh dan masyarakat,’’ tegasnya.
Karena itu, secara materil Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBN-P 2012 telah disharmonisasi dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (3), (4) UUD 1945. ’’Pasal 7 ayat (6) huruf a bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,’’ tuntutnya.
Selain itu, proses pembentukan Pasal 7 ayat (6a) UU APBNP 2012 bertentangan dengan pembentukan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan seperti diatur UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Khususnya, dianggap tidak memenuhi aspek filosofis dan sosiologis.
’’Dari aspek filosofis, pasal 7 ayat (6) huruf a itu tidak dapat dipandang sebagai peraturan yang membawa kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Aspek sosiologis pasal itu tidak diterima masyarakat, justru banyak tentangan dari kelompok masyarakat,’’ kata Asrun.
Dari aspek pengujian formil lainnya, lanjut Asrun, Pasal 7 ayat (6) huruf a juga telah melanggar putusan MK Nomor 02/PUU-I/2003 yang telah membatalkan pasal 28 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi akibat menyerahkan harga minyak ditentukan mekanisme pasar bebas.
Pemohon lainnya, Ahmad Daryoko menegaskan, Pasal 7 ayat (6) huruf a UU APBNP 2012 itu mengakibatkan pemerintah leluasa untuk menaikkan harga BBM yang berdampak buruk bagi pemohon sebagai buruh yang berpenghasilan rendah (upah minimum).
’’Meski kita baru saja menikmati kenaikan upah minimum, adanya pasal itu tidak berarti apa-apa. Pasal 7 ayat (6) huruf a seharusnya dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28H UUD 1945,’’ pintanya dalam sidang yang diketuai, Hakim Konstitusi, M. Akil Mohtar itu. (ris)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Separoh Jumlah Pekerja Tidak Lulus SD
Redaktur : Tim Redaksi