Oleh para aktivis buruh, angka itu dianggap tidak layak dan hanya permainan DPKo bersama joki.
Demikian disampaikan aktivis buruh, M Fahrozi kepada Radar Cirebon (Grup JPNN), Rabu (7/11). Mengetahui hasil UMK yang telah ditetapkan, para buruh dan aktivis buruh merasa miris dan kecewa. Bahkan, Fahrozi menyebut proses penentuan survei kebutuhan hidup layak (KHL) penuh rekayasa. Sebab, dari 60 item komponen yang harus disurvei, semua dilakukan oleh Apindo bersama SPSI dan pemerintah.
Sementara, Fahrozi dan para buruh lainnya tidak menganggap Apindo dan SPSI yang penuh rekayasa serta joki. “KHL Rp1,1 juta itu minimum. Itu saja tidak tercapai, berarti upah buruh tidak layak,” tegasnya.
Dia menilai perjalanan survei KHL dilakukan sembarangan. Fahrozi meyakini, survei 60 item itu tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan. Menurutnya, angka realistis KHL untuk Kota Cirebon adalah Rp1,5 juta. Bahkan, idealnya KHL mencapai Rp2 juta. Fahrurozi tidak yakin dan tidak percaya akan hasil survei KHL.
Jika ingin transparan, survei dilakukan dengan anggota dewan dan aktivis buruh. “Hitungan makan Rp900 ribu. Transport Rp125 ribu, itu sudah berapa? Belum 58 item lainnya,” beber Fahrozi.
Ia menganggap survei dilakukan secara amburadul. Bahkan KHL yang rendah itu harus disunat lagi hingga muncul angka Rp1.082.500. “Upah buruh di kota tidak layak,” ujarnya.
Saat ini, sudah waktunya buruh hidup layak dengan upah yang layak. Fahrurozi menuding dalam tubuh DPKo ada joki. Terlihat dari anggotanya yang tidak bisa disebut mewakili pengusaha dan buruh. “Atik Sunanto (Ketua SPSI, red) sudah bukan buruh lagi. Syarat wajib Ketua SPSI harus buruh yang aktif,” bebernya.
Fahrurozi berharap, survei KHL dilakukan secara transparan dan disampaikan hasil per item kepada publik melalui media massa. Ini bertujuan menjaga independensi dan transparansi. “Ini pasti ada settingan. Sanksi pidana tidak mungkin dilakukan. Sudah puluhan tahun ada perusahaan yang memberi upah di bawah UMK, tapi tetap saja tidak kena sanksi pidana,” terangnya.
Terpisah, Kepala Bidang Hubungan industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Dinsosnakertrans, Harry Rahardjo SH MH menyatakan, tim monitoring UMK yang diusulkan Apindo dan SPSI bisa saja dilaksanakan. Meskipun sebelumnya tidak pernah ada tim monitoring. Namun, usulan tersebut bisa ditindaklanjuti. “Unsur tim monitoring UMK dari Apindo, SPSI, pemerintah, dan kepolisian,” katanya.
Pengawas Ketenagakerjaan Dinsosnakertrans, Rahmiyati SE menegaskan, jika dibentuk tim monitoring dipersilakan. Namun, tim monitoring tidak bisa melakukan pengawasan. Sebab dalam pasal 176 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, disebutkan pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi, dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
“Kami yang bisa menjadi pengawas dan memberikan pembinaan. Dari sanksi ringan sampai pidana,” tegasnya.
Berdasarkan data pengawas lapangan, ujar Rahmiyati, perusahaan yang mempekerjakan karyawan di atas 100 orang, nilai prosentase yang telah menjalankan sesuai UMK sebesar 80 persen. Sementara, untuk yang mempekerjakan 50-100 karyawan, tingkat ketaatannya mencapai 90 persen. Sedangkan perusahaan yang mempekerjakan di bawah 10 orang, tingkat pelaksanaan UMK hanya 38 persen. (ysf/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lindungi Kasus Tender, Jaksa Kejati Sulsel Diperiksa
Redaktur : Tim Redaksi