Burung Pelanduk Kalimantan Kembali Ditemukan di Kalsel Setelah 172 Tahun Hilang

Rabu, 03 Maret 2021 – 06:29 WIB
Burung Pelanduk Kalimantan. Foto: dok KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Satwa endemik berupa Burung Pelanduk Kalimantan (Malacocincla perspicillata) yang diduga mengalami kepunahan sejak tahun 1848 atau 172 tahun yang lalu, kini kembali ditemukan. Burung ini kembali dijumpai di Pulau Kalimantan tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Wiratno mengapresiasi dan terima kasih kepada para citizen science yaitu masyarakat yang bukan peneliti tetapi sukarela mengumpulkan dan menganalisa data ilmiah.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Gibran dan Menantu Jokowi Mulai Beraksi, Rocky Gerung Bereaksi Keras, Ada yang Datangi Paspampres

Wiratno menyebutkan bahwa satwa liar akan sejahtera sepenuhnya apabila hidup di alam habitatnya.

"Kami sangat memerangi perburuan ilegal satwa liar yang dilindungi," tegas Wiratno saat Media Briefing melalui telekonferensi (02/03).

BACA JUGA: KLHK Melepasliarkan Harimau Sumatera Ciuniang Nurantih

Senada dengan Wiratno, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, pada Direktorat Jenderal KSDAE, Indra Eksploitasia menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat di lapangan yang telah menemukan Burung Pelanduk Kalimantan dan telah memasukkannya ke jurnal ilmiah dan mengharumkan nama Bangsa Indonesia.

Indra melanjutkan, sesuai arah kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Kebijakan Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang menyebutkan apabila ingin memasukkan spesies ini ke dalam spesies yang ingin dilindungi adalah jika telah memenuhi kriteria antara lain mempunyai populasi yang kecil, dan ada penurunan dalam jumlah yang tajam pada jumlah individu di alam, serta memiliki daerah penyebaran yang terbatas.

BACA JUGA: KLHK Memfasilitasi Pendirian Bank Sampah di Daerah

Seperti diketahui, Burung Pelanduk Kalimantan tersebar di daerah hutan tropis dataran rendah daerah wilayah Kalimantan. Terhadap jenis tumbuhan dan satwa ini yang memenuhi kriteria wajib melakukan upaya pengawetan, dalam hal ini melakukan kebijakan konservasi dalam hal untuk melakukan "full protection" atau dilindungi.

"Masih banyak hal yang dapat kita temukan dan kita gali informasinya terkait dengan Burung Pelanduk Kalimantan, beberapa informasi dapat kita jadikan dasar rujukan dengan bantuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk memberikan rekomendasi sebagai scientific authority kepada management authority untuk memasukkan burung Pelanduk Kalimantan sebagai spesies yang dilindungi," terang Indra.
 
Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama, Balai Taman Nasional (TN) Sebangau, Teguh Willy Nugroho, pada saat yang sama menjelaskan, burung Pelanduk Kalimantan yang ditemukan sesuai dengan yang digambarkan oleh ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte pada tahun 1850.

Ini berdasarkan spesimen yang dikumpulkan pada tahun 1840-an oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner selama ekspedisinya ke Kalimantan.

Sejak saat itu, tidak ada spesimen atau penampakan lain yang dilaporkan. Selain itu, asal muasal spesimen juga masih menjadi misteri, bahkan pulau di mana spesimen tersebut diambil juga tidak jelas.
 
Asumsi awal bahwa spesimen tersebut diambil di Pulau Jawa, pada tahun 1895 bahwa ahli ornitologi Swiss Johann Büttikofer menunjukkan bahwa waktu itu Schwaner berada di Pulau Kalimantan. Spesimen inilah kemudian menjadi spesimen satu-satunya di dunia sehingga semua rujukan dan deskripsi morfologi burung mengacu kepada satu spesimen ini.
 
Burung penyanyi yang tergolong dalam keluarga Pellorneidae ini sebelumnya diklasifikasikan Rentan oleh IUCN. Pada tahun 2008, status burung ini berubah menjadi “Kurang Data” berdasarkan penelitian terbaru yang menunjukkan kurangnya informasi yang dapat dipercaya. Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 tahun 2018, burung ini belum masuk ke dalam satwa yang dilindungi. 
 
Awal mula burung ini ditemukan merupakan ketidaksengajaan oleh dua orang penduduk lokal di salah satu wilayah di Kalimantan Selatan.

Salah satu dari mereka merupakan anggota dari sebuah grup sosial media bernama Galeatus yang merupakan grup komunitas dan komunikasi mengenai seluk beluk burung. Setelah berdiskusi dan ditelaah oleh tim admin, mereka kemudian menghubungi ahli burung dari Birdpacker untuk mencari informasi lebih lanjut terkait temuan tersebut. 
 
"Terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada saat ini diantaranya pada warna iris mata, paruh dan warna kaki. Itulah yang membuat identifikasi mengalami kesulitan saat pertama kali melihat morfologi burung ini," ujar Teguh yang juga salah satu penulis makalah mengenai burung ini.
 
Teguh menegaskan, temuan ini juga membuktikan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan.

Menurutnya, pada kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, sangat penting membangun jaringan antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, terutama spesies penting yang memiliki sedikit data.

“Jejaring ini dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia,” ungkap Teguh.
 
Sementara itu, Peneliti Muda pada pusat Penelitian Bologi LIPI, Tri Haryoko juga pada saat Media Briefing menyebutkan hal yang perlu ditindaklanjuti adalah peranan citizen science yaitu masyarakat luas ikut terlibat dalam pengumpulan, pengarsip, analisis, dan berbagi data keanekaragaman hayati untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

"Meningkatkan kesadaran konservasi, kemudahan akses informasi, dan membangun basis data keanekaragaman hayati. Untuk tindakan selanjutnya perlindungan atau penelitian lebih lanjut," ungkap Tri.(jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler