jpnn.com - JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, pilkada langsung berpeluang untuk dihentikan. Artinya, pemilihan kepala daerah melalui perwakilan di DPRD masih bisa kembali diterapkan. Meskipun, menurutnya, untuk merealisasikan hal itu perlu kesiapan yang matang.
“Saya pikir butuh persiapan yang matang, dan ini untuk masa yang akan datang, bisa jadi masih harus menunggu 10 tahun ke depan jika ingin pilkada perwakilan atau dipilih langsung DPRD diterapkan lagi,” tegas Arif di Gedung DPR, Senayan, Rabu (4/9).
Menurutnya pilkada langsung dan melalui perwakilan mempunyai derajat legitimasi yang sama dengan sistem perwakilan. Pilkada juga diterapkan untuk menguji kredibilitas calon kepala daerah. Apalagi kaderisasi partai politik (parpol) dalam menentukan pemimpin daerah tidak berjalan optimal.
“Pemilihan kepala daerah melalui DPRD atau perwakilan kerap tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Bahkan, perintah partai dicurangi oleh anggota DPRD. Pilkada lewat DPRD, transaksional sifatnya. Itulah yang hendak dikoreksi. Meskipun faktanya, dalam pilkada langsung, transaksional masih tetap berjalan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Arif juga mengakui bahwa kasus kerusuhan pasca pilkada, memang dampak dari berlakunya pilkada langsung. Dikatakan, sejumlah calon kepala daerah mempunyai kedekatan emosional dengan masyarakat. Sehingga, massa mudah dimobilisasi untuk menimbulkan kerusuhan. Akan tetapi, menurutnya, kerusuhan itu tidak merepresentasikan kegagalan pilkada langsung.
“Kalau kerusuhan yang terjadi hampir 300 kasus, barulah dikatakan pilkada langsung tidak layak. Ini kan hanya di beberapa daerah saja terjadi. Justru kerusuhan terjadi juga dikarenakan kandidat maupun partai politik menganggap pilkada hanya semata-mata ajang perebutan kekuasaan. Sebab, bagaimanapun, perebutan kekuasaan tanpa visi yang jelas menciptakan politik kekerasan,” tandasnya.
Wacana pemilihan kepala daerah sendiri sudah diusulkan oleh Kementerian Dalam Negeri dalam pengajuan RUU Pilkada kepada DPR. Dimana, saat ini RUU sedang dibahas antara pemerintah dan legislator di Senayan. Ditargetkan akhir tahun 2013 ini, RUU Pilkada itu sudah berhasil disahkan menjadi UU.
“Kami mengusulkan itu untuk efektivitas dan efisiensi biaya pilkada. Selain itu, untuk mencegah konflik horizontal dengan memberikan jarak ikatan emosional antara calon dan pendukungnya dalam lingkup kabupaten atau kota yang tidak terlalu luas,” kata Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) Djohermansyah Johan di Gedung DPR, Senayan, kemarin.
Dikatakan, mahalnya demokrasi melalui pilkada langsung perlu ditata ulang. Tujuannya agar pelaksanaan lebih berkualitas dan bermanfaat bagi perbaikan tata kelola pemerintahan. “Mekanisme pertanggung-jawaban akan diatur sedemikian rupa supaya tidak berimplikasi langsung pada pemberhentian bupati dan walikota sehingga situasinya tetap kondusif,” tuturnya.
Jika bupati dan walikota dipilih DPRD, untuk gubenur, pemerintah mengusulkan dipilih langsung seperti sekarang ini. Alasannya, untuk penguatan kedudukan gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Selain itu, juga bisa menunjang sinergitas dan dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan karena posisi gubernur lebih legitimated daripada bupati dan walikota yang dipilih DPRD.
Alasan lainnya adalah, efisiensi biaya pilkada karena yang melakukan pilkada langsung hanya 34 daerah. “Relevansi dan signifikasi pemilihan gubernur oleh rakyat dan kabupaten/kota oleh DPRD mempertimbangkan pengalaman empirik dan implikasi negatif selama ini. Pilkada langsung belum berkorelasi positif terhadap terwujudnya desentralisasi daerah,” pungkasnya. (dms)
BACA JUGA: Protes Pembatasan Alat Peraga Kampanye
BACA ARTIKEL LAINNYA... Miris Lihat Walikota Pasang Sepatu Dibantu Staf
Redaktur : Tim Redaksi