jpnn.com - Camar Bulan pernah menjadi “buah bibir” media massa dua tahun silam. Ketika itu, sebagian kecil wilayah Indonesia di perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak itu diisukan telah dicaplok oleh negeri tetangga, Malaysia. Patok lintas batas dikabarkan bergeser sehingga Indonesia kehilangan lahan seluas 1.449 hektare. Bagaimana wajah Camar Bulan?
Ruslan Ramli, Camar Bulan
BACA JUGA: Siapkan Stok Pantun, Ingin Kunjungi Istana Siak
Dua pekan lalu penulis berkunjung ke Camar Bulan, sebuah dusun yang terletak di Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Angin pantai yang berhembus dari Laut China Selatan menyambut dingin setelah penulis menempuh perjalanan darat sekitar empat-lima jam naik motor dari pusat Sambas. Saat itu penulis berangkat ditemani Robby alias Obay, PNS Kabupaten Sambas menuju dusun terluar Indonesia di sempadan Kalbar-Serawak.
Tidak terbayangkan penulis bisa berada di ujung barat Pulau Kalimantan itu mengingat medan lokasinya yang sangat terisolasi. Meskipun jaraknya sekitar 50 km dari ibu kota kecamatan di Paloh, namun untuk menjangkau Camar Bulan butuh perjuangan ekstra keras. Infrastrukturnya sangat tertinggal dibanding daerah tetangga. Jalannya rusak parah di tengah hamparan ilalang dan perkebunan.
BACA JUGA: Paling Enak Menginap di Camping Ground
Camar Bulan adalah sebuah dusun yang kondang di media massa pada edisi Oktober 2011. Saat itu tiba-tiba kampung ini bersama Tanjung Datu jadi trending topic di surat kabar, radio, dan televisi nasional. Media jejaring sosial ikut meramaikan informasi dugaan pencaplokan lahan di ekor barat perbatasan Indonesia-Malaysia itu. Hubungan kedua negeri jiran ini pun memanas karena menyangkut persoalan kedaulatan negara.
Adalah Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin yang pertama kali mempermasalahkan Camar Bulan dan Tanjung Datu. Politikus PDI Perjuangan tersebut melontarkan pernyataan bahwa Indonesia “menyerahkan” wilayahnya di sempadan Kalbar-Serawak. Dia menengarai patok lintas batas di Camar Bulan dan Tanjung Datu telah bergeser dan tidak sesuai lagi dengan nota kesepahaman antara tim Joint Committee Boundary.
BACA JUGA: Tak Kenal Garis Batas, Mi Instan Papua Ditukar Cokelat PNG
Sontak petinggi negara di Jakarta maupun Kuala Lumpur segera merespons. Pemerintah Indonesia menurunkan tim khusus yang terbang ke lokasi perbatasan guna memastikan keberadaan patok lintas batas. Perwakilan negara serumpun ini bertemu untuk menyelesaikan persoalan Camar Bulan dan Tanjung Datu agar tidak meluas dan berimbas pada memburuknya hubungan Indonesia-Malaysia.
Kasus dua tahun silam itulah yang kemudian menjadikan Camar Bulan dan Tanjung Datu sebagai isu sensitif bagi Indonesia-Malaysia. Apalagi selama ini keduanya masih berstatus OBP (outstanding boundary problems) atau daerah perbatasan yang bermasalah. Sehingga, kasus ini menambah daftar panjang perseteruan Indonesia-Malaysia di perbatasan.
Medan berat adalah kata yang paling tepat untuk melukiskan perjalanan menuju Camar Bulan. Saking terluarnya pedalaman itu, maka hanya ada dua rute yang boleh dipakai untuk menjangkaunya, jalur laut dan darat. Pertama, jalur laut melewati pesisir barat pantai Kalbar yang beririsan Laut Natuna dan Laut China Selatan. Jalur ini jarang dilewati karena menghindari ganasnya ombak laut. Lalu, jalur darat melalui Paloh seperti yang penulis tempuh.
Khusus darat, dahulunya jalan menuju Camar Bulan selepas Desa Cermai mesti melewati bibir pantai. Jaraknya sekitar 30 km. Untuk tiba di sana, sangat tergantung kondisi air laut, apakah pasang atau surut. Bila surut, pengendara boleh menembusnya dengan ojek. Itu pun dengan kecepatan tinggi. Biasanya air laut surut pada pagi hingga siang hari atau pukul 09.00-13.00.
Sebaliknya, bila sedang pasang, jangan pernah memaksakan kendaraan menembus Camar Bulan. Soalnya, air laut secara tiba-tiba merembes ke darat hingga mata kaki orang dewasa. Bila itu terjadi, sangat berisiko bagi pengendara.
Penulis yang memakai motor RX King sebenarnya mencoba melalui jalur ini saat balik ke Sambas. Semula air laut terlihat surut. Namun hanya 5-10 menit kemudian, secara tidak terduga air laut sudah mengibas terali bawah ban motor penulis. Akhirnya penulis pun urung melanjutkan perjalanan di pesisir pantai dan memilih jalur lainnya.
Sejak kasus Camar Bulan meledak, warga Desa Temajuk mulai merasakan perbaikan infrastruktur. Pemerintah pusat membuka jalur darat sebagai moda transportasi warga setempat. Salah satunya adalah mengubah lahan perkebunan menjadi jalan umum. Kawasan perkebunan tertutup dibuka dan diratakan dari Cermai hingga Dusun Maludin yang berbatasan langsung dengan Malaysia di Kampung Teluk Melano.
“Ada dua kebutuhan utama kami di sini, infrastruktur dan menara telekomunikasi. Butuh waktu lama untuk tiba di desa ini. Jalannya sangat rusak. Kita juga tidak bisa berbuat apa-apa di sini kalau sesuatu terjadi karena tidak ada telepon. Makanya kalau ini (jalan dan tower) sudah terpenuhi, kami sangat mensyukurinya,” kata Mulyadi, Kepala Desa Temajuk.
Tantangan untuk tiba di Camar Bulan memang cukup tinggi, bahkan memacu adrenalin. Setelah melewati Paloh, kondisi jalannya rusak berat. Di Desa Sebubus, di mana-mana ada lubang. Sesekali jalannya juga berpasir halus. Lain lagi di Cermai, kontur tanahnya berbatu keras. Belum lagi cuaca langit Paloh yang sulit diprediksi. Hujan dan terik datang bergantian. Iring-iringan gumpalan awan tebal bisa berubah drastis langit biru.
Sepuluh kilometer sebelum sampai di pusat desa, kami diadang medan tanah merah yang sudah dipadatkan. Sekilas jalannya terlihat rata, padahal ruas tanah tersebut sebenarnya bergelombang. Kalau basah licin, kalau kering berdebu. Sedikitnya empat-lima jembatan beralaskan kayu dan pohon dilewati. Hanya titik tertentu dijumpai rumah penduduk. Itu pun satu-dua rumah. Sisanya lahan kosong.
Di medan terbuka ini, nasib saya bergantung pada kelihaian Obay mengendarai motornya. Berulang kali saya harus turun dari motor kalau tidak ingin jatuh terjengkang. Lajang kelahiran Pontianak ini harus menjaga keseimbangan. Obay menarik gas lebih kencang agar ban motornya tidak selip di tanah merah dan kepungan pasir halus.
Kalimat hati-hati dan pelan-pelan berkali-kali mengucur dari mulut saya untuk mengingatkan Obay. “Yang penting abang tenang di atas motor, kita tidak akan jatuh. Supaya tidak kemalaman, memang laju motor mesti dipercepat,” balas alumni IPDN ini.
Sulit membayangkan sekiranya motor kami rusak atau bannya gembos. Di pedalaman terluar, orang yang lalu lalang hanya bisa dihitung jari. Sehingga bagaimana mungkin ada bengkel? Rumah tinggal saja jarang, apalagi berharap tukang tambal ban.
Di antara medan darat parah itu, kami juga harus menyusuri dua sungai besar. Salah satunya adalah Sungai Sambas yang masuk wilayah Teluk Keramat. Dengan membayar Rp10.000, kami menyeberang dengan perahu kecil. Cukup menciutkan nyali karena ukurannya hanya 1,5x3 meter. Perahu ini bisa mengangkut 10 penumpang bersama motornya. Tidak ada pengaman!
Siang itu, Sungai Sambas padat aktivitas. Selain dekat pasar, waktu pulang sekolah membuat tukang perahu panen penumpang. Belasan remaja berseragam bergantian naik ke perahu. Dengan waktu tempuh 10-15 menit, berkali-kali perahu mengantar penumpang menyeberang ke dan dari Teluk Keramat.
“Jam segini memang ramai karena anak-anak pulang sekolah. Pergi-pulang naik perahu. Sekolahnya di seberang. Belum lagi mereka yang punya urusan ke Sambas, mau tak mau harus menyeberang sungai,” kata salah satu tukang perahu sambil menujuk daratan di seberang.
Berikutnya Sungai Sumpit. Dibanding Sambas, sungai ini jauh lebih lebar. Lebih menciutkan lagi karena suasananya sepi penduduk. Tak ada rumah, kecuali warung belaka. Semacam tepat rehat sebelum naik ke perahu. Bakau tumbuh liar di sisi sungai. “Ya beginilah pemandangannya. Walaupun sunyi, penyeberangannya sampai malam hari. Bisa ke seberang 24 jam, asalkan harganya sepakat,” kata Sutinah, penjaga warung.
Melihat moda transportasi di dua sungai itu, penulis menganggap bahwa angkutan perahu kecil tersebut sungguh tidak aman. Perahu tersebut sangat mudah terbalik. Salah satu penumpang berpindah tempat saja, perahu bisa oleng. Apalagi kalau ada penumpang yang iseng bergerak tiba-tiba saat perahu berada di tengah sungai. Maut mengintai!
Minimnya infrastruktur di Camar Bulan itu mau tak mau harus diterima oleh warga lokal. Sebab untuk mobilitas di sana, tidak ada pilihan lain kecuali melewati medan jalan yang rusak parah serta menyeberangi Sungai Sambas dan Sungai Sumpit. Tanpa jembatan, warga Camar Bulan dan sekitarnya akan bercanda dengan maut bersama perahu kecilnya. Setiap saat begitu. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Catrice Sheyang, Dokter Teladan yang Betah di Pedalaman Kalimantan
Redaktur : Tim Redaksi