Catrice Sheyang, Dokter Teladan yang Betah di Pedalaman Kalimantan

Tiga Jam Naik dan Dorong Perahu untuk Temui Pasien

Senin, 18 November 2013 – 09:19 WIB
Catrice Sheyang. Foto: Edy Nugroho/Radar Tarakan/JPNN

jpnn.com - Sebagai gadis yang sejak lahir hingga lulus kuliah selalu hidup di kota besar, tinggal di pedalaman Kalimantan tentu tidak mudah bagi Catrice Sheyang. Toh, dokter lulusan Universitas Hang Tuah, Surabaya, itu justru dinilai berhasil membina warga daerah terpencil untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat.

EDY NUGROHO, Jakarta

BACA JUGA: Korban Tewas Berkurang Tiga Perempat dalam 12 Tahun

BERTUGAS di tempat terpencil tanpa fasilitas elektronik dan internet jauh dari bayangan Catrice Sheyang. Maklum, dokter muda itu sejak kecil tinggal di kota besar.

"Shock, pasti. Begitu lulus kuliah kedokteran, saya memang mendaftar dokter PTT di Bulungan. Sebab, ada saudara jauh di Tarakan. Tapi, saya pikir masih di perkotaan meski kota kecil," kata Catrice saat ditemui di Jakarta International Expo Kemayoran.

BACA JUGA: Booming, Bisnis Memperbaiki Frame Buatan Merek Lain

Karena itu, dia langsung shock saat kali pertama menginjakkan kaki di Desa Long Bang, Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara), pada 2010. Desa Long Bang berada di hulu Sungai Kayan. Untuk sampai di desa tersebut, perlu tiga jam perjalanan dari Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan, atau sekitar 4 jam dari Bandara Juwata, Tarakan.

Tiga atau empat jam perjalanan bisa jadi bukan persoalan di kota besar yang berjalan mulus. Masalahnya, perjalanan di Desa Long Bang dapat ditempuh lewat jalur sungai dengan perahu cepat dan perahu kecil milik warga.

BACA JUGA: Dulunya Pematung yang Tidak Pernah Lulus Kuliah

"Waktu awal bertugas, rasanya memang berat. Sejak lahir hingga lulus kuliah, saya tinggal di Surabaya. Kini tiba-tiba saya harus hidup di desa terpencil. Handphone tidak bisa digunakan, laptop tidak berfungsi. Listrik di sana hanya hidup tiga jam sehari, mulai pukul 18.00 hingga pukul 21.00 Wita. Setelah itu, saya harus menggunakan lampu teplok atau lilin untuk penerangan," ujar gadis kelahiran Surabaya, 22 September 1984, tersebut.

Toh, Catrice berusaha menikmati hari-harinya dengan penuh kesabaran. Hingga akhirnya dia mulai dekat dengan warga di Long Bang dan beberapa desa di sekitarnya yang mayoritas dihuni Suku Dayak.

"Saya akhirnya betah juga. Bahkan, rasanya berat meninggalkan desa itu. Warga di sana sudah menganggap saya seperti keluarga," tutur alumnus Universitas Hang Tuah, Surabaya tersebut.

Satu hal yang membuat Catrice betah, dirinya menganggap bertugas di pedalaman merupakan hal yang wajar bagi seorang dokter. "Selain itu, saya hobi traveling. Jadi, saya anggap ini jalan-jalan lama yang dibayar," jelasnya.

Tentu, banyak suka duka yang Catrice alami selama bertugas di pedalaman Kalimantan. Salah satu yang tidak terlupakan, saat tengah malam, rumahnya diketuk warga yang meminta tolong karena ada pasien yang pingsan.

"Begitu dapat kabar, saya langsung menyiapkan peralatan. Tak tahunya, pasien itu berada di desa lain. Saya harus menggunakan perahu kecil untuk sampai ke sana. Jadi, saya balik ke rumah ambil perlengkapan tambahan," ungkap Catrice.

Selama bertugas di Long Bang, tidak jarang Catrice dibayar sayuran atau ayam. "Mirip di sinetron ya. Tapi, saya benar-benar mengalami. Ternyata memang ada yang begitu," terangnya.

Menurut dia, 80 persen warga Desa Long Bang dan sekitarnya merupakan warga kurang mampu dan peserta Jamkesmas. "Jangan kaget, untuk bayar biaya berobat yang hanya Rp 3 ribu, mereka kadang tidak bisa, apalagi kalau belum panen. Karena itu, saat panen, kadang saya dikasih beras atau ayam. Sebab, waktu berobat, mereka tidak bisa bayar," paparnya.

Medan yang berat juga harus diatasi Catrice dalam bertugas. Puskesmas tempatnya bertugas membawahi enam desa di Kecamatan Peso. Hampir semua desa itu hanya bisa dilalui dengan perahu kecil atau ketinting. Tidak jarang, sungai yang dilaluinya berarus deras, bahkan ada jeram.

"Pernah saya mendapat laporan bahwa ada pasien persalinan di salah satu desa. Untuk ke sana, kami harus menyusuri sungai dengan ketinting selama tiga jam. Di kanan-kiri sungai itu terdapat hutan lebat. Perjalanan juga tidak muslus. Kadang saya harus turun dan berjalan di air karena perahu kandas. Saya harus membantu mendorong perahu," tuturnya.

Ditanya keinginan berpindah tempat tugas, Catrice menyatakan tidak berniat mengajukan pindah ke kota. "Saya merasa sudah nyaman. Memang, tidak munafik ya, kalau dipindahkan ke kota, saya mau. Tapi, untuk meminta pindah, tidak ada dalam benak saya," ujarnya.

Tentu, Catrice ingin melanjutkan kuliah untuk mengambil spesialisasi. Namun, dia terasa berat meninggalkan tempat bertugas sekarang. "Kalau diberi kesempatan ambil spesialis, saya masih ingin kembali ke Bulungan," kata dokter yang bercita-cita menjadi ahli bedah tersebut.

Karena kemampuannya bertahan, apalagi dianggap berhasil membina warga, Catrice mendapat penghargaan dari Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada puncak Hari Kesehatan Nasional (HKN) di JI Expo Kemayoran Jumat (15/11). Dia dinilai berhasil membina warga daerah terpencil untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat.

"Di sana kami bantu satu desa untuk menjadi percontohan Desa Sehat. Kami bersyukur desa itu menjadi juara di tingkat kabupaten dan provinsi," lanjutnya. (JPNN/c14/soe)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ratih Asmana Ningrum, Peneliti Protein Antikanker sehingga Murah dan Mudah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler