"Selain itu, tidak ada alasan materiil untuk mencabut grasi yang telah diberikan kepada Ola. Misalnya, terjadi kesalahan identitas penerima grasi," ungkap mantan Ketua MK itu.
Ia berpendapat, pencabutan grasi itu tidak perlu. Sebab, jika aturan harus dibikin dan ditaati secara konsekuen dan konsisten, maka grasi yang diberikan itu tidak bisa dicabut lagi. ’’Jika keputusan grasi dicabut, maka bisa menimbulkan ketidakpastian. Meski tidak dilarang untuk melakukan itu, pencabutan grasi bisa memunculkan pandangan pelanggaran konvensi,’’ jelasnya.
Menurutnya, upaya yang harus dilakukan pemerintah yaitu mengevaluasi peran Ola dalam mengendalikan bisnis narkoba di lembaga pemasyarakatan (LP) dan segera memproses hukum kasus itu. Bahkan, jika memang benar Ola terlibat lagi dalam peredaran narkoba, Ola diproses hukum dengan hukuman lebih berat.
’’Untuk itu, penegak hukum harus tegas, ancaman hukumannya harus dibikin berlipat. Dan itu sudah pantas diajukan hukuman mati. Dengan begitu, kita tidak merusak sistem, tapi ketegasan kita sebagai negara tecermin dalam sikap itu,’’ ujar Jimly.
Kejaksaan Agung juga menganggap pemberian grasi sudah sesuai Konstitusi dan aturan hukum. ’’Mengawali dari UUD’45, di dalam pasal 14 disebutkan bahwa Presiden memiliki hak dan kewenangan untuk memberikan grasi setelah mendapat pertimbangan oleh Mahkamah Agung (MA),’’ ujar Jaksa Agung, Basrief Arief, setelah menghadiri acara tatap muka bersama Forum Wartawan Kejaksaan Agung (Forwaka) di Gedung Kejaksaan Agung, Jumat (9/11).
Dalam aturan itu, ditegaskan Basrief, kewenangan Presiden tak hanya memberikan grasi melainkan dapat menolak grasi terhadap terpidana yang telah mendapat putusan hukum tetap di Mahkamah Agung.
Terkait penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap Ola yang terbukti kembali menjadi otak peredaran narkoba, Kejagung masih menunggu berkas yang akan dilimpahkan penyidik. (ydh/dni/ris)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan: Tujuan Saya Tercapai
Redaktur : Tim Redaksi