jpnn.com - JAKARTA - Kaburnya investor pasar uang dari pasar negara berkembang dengan membawa miliaran dolar AS membuat cadangan devisa negara-negara di kawasan Asia makin kering. Dari temuan yang dirilis situs berita bisnis Bloomberg kemarin (26/8) diketahui bank-bank sentral semakin kewalahan mempertahankan nilai mata uangnya agar tidak jatuh terhadap dolar AS.
Mengutip data Bloomberg, cadangan devisa enam di antara sepuluh negara di Asia dengan perekonomian terdepan telah terkuras. Penurunan nilai cadangan devisa terbesar dicatat oleh Indonesia yang mencapai 18 persen dan hampir menyentuh level tahun 2000. Per Juli 2013, cadangan devisa Bank Indonesia (BI) menyentuh level terendah dalam waktu sekitar 3 tahun, yaitu USD 92,7 miliar. Sementara itu, cadangan devisa India turun 4 persen sepanjang tahun ini di tengah terjadinya outflow dana asing.
BACA JUGA: Pupuk Produksi Dalam Negeri Mencukupi
Anjloknya cadangan devisa yang cukup drastis itu merupakan tren di berbagai negara berkembang. Sebab, dana dari negara maju kembali ke negaranya, terutama Amerika Serikat. Selain perekonomian yang mulai membaik, langkah the Fed mengurangi stimulusnya membuat para investor memilih memegang uang tunai untuk mengantisipasi ketatnya pasokan likuiditas.
Standard & Poor's pekan lalu merilis risiko yang dihadapi oleh pemerintah maupun swasta di negara-negara Asia yang memiliki utang valas, menyusul melemahnya nilai tukar. Sebab, nilai utang yang harus dibayar menjadi lebih besar, terutama di sejumlah negara yang mengalami defisit neraca pembayaran.
BACA JUGA: Pemerintah Didesak Tindak Perusahaan Migas Penunggak Pajak
"Berbagai negara di kawasan Asia akan mengalami pengurangan devisa untuk menstabilkan mata uangnya sepanjang periode di mana pasar sedang berfluktuasi," ujar Sacha Tihanyi, senior currency strategist Scotiabank, Hongkong.
Sementara itu, dari Jakarta dikabarkan bahwa pemerintah berupaya mendekati investor global setelah merilis paket kebijakan untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah pekan lalu. Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, dirinya mengadakan pembicaraan teleconference call dengan 540 investor dari seluruh dunia, untuk menjelaskan langkah-langkah perbaikan ekonomi Indonesia. "Mereka merespons positif," klaimnya kemarin (26/8).
BACA JUGA: Pengembangan Bandara Ngurah Rai Kelar September
Menurut Chatib, pemerintah berupaya meyakinkan investor global bahwa Indonesia bersungguh-sungguh untuk memperbaiki struktur ekonomi, terutama terkait dengan defisit pada transaksi berjalan (current account). "Mereka akan mencoba memahami kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia. Mereka juga melihat ada upaya itu," katanya.
Chatib mengakui, paket kebijakan yang dirilis pemerintah memang dimaksudkan untuk memperbaiki ekonomi Indonesia dan dampaknya baru akan terasa signifikan pada jangka menengah dan panjang. "Untuk jangka pendek, kebijakannya lebih pada sektor keuangan," ucapnya.
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto mengatakan, akar masalah gejolak nilai tukar rupiah saat ini memang defisit transaksi berjalan, terutama defisit pada neraca dagang. Menurutnya, kondisi eksternal di Amerika Serikat hanya menjadi salah satu pemicu saja.
Karena itu, Doddy mengatakan bahwa paket kebijakan pemerintah yang menyasar pada upaya perbaikan transaksi berjalan bisa menjadi sinyal positif bagi investor. "Dalam situasi perekonomian global seperti saat ini, trust (kepercayaan) investor merupakan salah satu elemen vital," ujarnya.
Sementara itu, Managing Director, Head of Asia-Pacific Economic and Market Analysis, Citigroup Global Markets Asia Johanna Chua dalam riset terbarunya menyarankan BI agar menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin dari posisi saat ini yang di level 6,50 persen. "BI harus lebih hawkish (bereaksi cepat dengan menaikkan suku bunga)," ujarnya.
Menurut ekonom yang beberapa kali terpilih sebagai ekonom terfavorit para investor di Asia ini, intervensi BI dengan menggerojok USD ke pasar keuangan tidak akan kredibel di mata investor.
Rencana perbaikan ekonomi yang dijalankan pemerintah, katanya, baru akan menunjukkan hasil pada jangka menengah dan panjang sehingga tidak akan berdampak signifikan pada rupiah. "Jadi, jalan yang efektif adalah menaikkan suku bunga sehingga investor tetap menempatkan dana di Indonesia," katanya.(owi/gal/c1/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Bawang Merah Mulai Turun
Redaktur : Tim Redaksi