Di tengah isu pemanasan global dan terbatasnya energi yang bersumber dari fosil, calon Presiden-Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Indonesia diharapkan segera memberi perhatian lebih terhadap energi terbarukan.
Ketergantungan Indonesia terhadap batubara sebagai sumber energi, utamanya listrik, dinilai masih tinggi.
BACA JUGA: Dianggap Kuno, Dakwah Masjid Mulai Ditinggalkan Milenial Indonesia
"Ada kebutuhan mendesak untuk menggunakan energi terbarukan," ujar Boy Situmorang, seorang mahasiswa yang tinggal di Medan, Sumatera Utara.
Boy memang bukan pakar energi maupun aktivis lingkungan yang vokal mengkritik Pemerintah Indonesia, tapi menurut pemuda milenial ini, persoalan energi dan dampaknya terhadap lingkungan harus diperhatikan secara lebih serius oleh Presiden terpilih, siapapun dia.
BACA JUGA: Debat Presiden Perlu Ubah Fokus Dari Swasembada ke Ketahanan Pangan
"Kondisi nyata penggunaan dan pengelolaan energi saat ini masih dalam kondisi yang kurang ramah lingkungan. Sehingga ini menganggu proses pembangunan berkelanjutan yang berdampak pada masyarakat yang juga merupakan pemilih itu sendiri."
"Bahkan faktanya di lapangan, banyak masyarakat yang menuntut pencemaran lingkungan yang merugikan mereka atas pengolahan energi," jelas Boy -tanpa merinci kasus yang dimaksud -kepada ABC.
BACA JUGA: Australia dan Indonesia Akan Tandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas Sebelum Pemilu
Photo: Investasi untuk energi terbarukan dianggap masih mahal, benarkah?. (ABC)
Menjelang debat Capres-Cawapres kedua (17/2/2019), ia sangat berharap pasangan calon (paslon) Presiden dan Wakil Presiden akan banyak menyinggung soal energi terbarukan dan rencana mereka untuk mengimplementasikannya.
Dari Semarang, Jawa Tengah, Faizzan Mangkoedipoero berpendapat energi terbarukan hukumnya wajib untuk mengganti energi yang bersumber dari fosil, yang jumlahnya sangat terbatas.
"Energi baru diperlukan buat meregenerasi energi sebelumnya yang mungkin sudah mulai habis menipis. Lagipula, energi dan lingkungan itu saling berkaitan, bersimbiosis mutualisme."
"Tidak bisa dilepaskan antara energi bersumber fosil yang diproduksi terus-terusan dengan dampak lingkungannya. Istilah saya, ini adalah dari lingkungan untuk lingkungan," ujar pemuda yang berprofesi sebagai karyawan swasta ini.
Kepada ABC, Siti Aisah Suharjo, asal Jakarta, bahkan tegas menyebut energi terbarukan harus digunakan secara besar-besaran demi pelestarian lingkungan.
"Energi solar (surya) contohnya. Memanfaatkan sinar matahari. Efektif, efisien dan ramah lingkungan," sebut perempuan yang tengah menempuh studi di Jerman ini.
Di sisi lain, warga Denpasar, Bali, Olivia Dianina memberi catatan bahwa apapun program energi terbarukan yang direncanakan, ada hal lain yang harus diutamakan.
"Yang penting adalah implementasinya khususnya untuk bisa membuat proyek-proyek energi terbaharukan lebih memberi keuntungan dengan tarif yang menarik, peraturan yang mempermudah dan kesiapan PLN." Photo: Boy Situmorang (kiri) dan Faizzan Mangkoedipoero. (Supplied)
Menurut Olivia yang bekerja di sektor lingkungan, Pemerintah bisa memulai dengan alokasi investasi energi geotermal yang walau biaya awalnya tinggi namun ia nilai kualitas energinya bersih. Dalam jangka panjang, energi ini juga bisa menguntungkan, kata Olivia.
"Sementara untuk energi skala kecil seperti mikrohidro, Pemerintah bisa mendedikasikan badan sendiri yang bisa mendukung implementasi di pelosok-pelosok Indonesia," sebutnya kepada ABC.
Harapan tentang pemanfaatan energi terbarukan juga didukung kalangan akademisi. Dari hasil studi, Indonesia disarankan untuk segera melakukan transisi ke energi ramah lingkungan dan meninggalkan sumber fosil.
"Sangat dominan biayanya kalau kita mempertahankan bahan bakar fosil ini," kata Alin Halimatussadiah, Kepala Kajian Lingkungan LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), dalam diskusi bertema batubara vs energi terbarukan dan kebijakan Presiden terpilih, di Jakarta awal Februari lalu.
Alin menjelaskan kerugian yang ditanggung Indonesia akan lebih besar jika tidak segera memulai transisi. Ia lalu mencontohkan komoditas batubara yang masih menjadi favorit, baik untuk sumber energi dalam negeri maupun ekspor.
"Batubara itu kan sebenarnya banyak biaya eksternalitasnya. Nah, tapi itu belum ada yang mengevaluasi di Indonesia. Berapa sih sebenarnya nilainya," kata Alin kepada ABC selepas diskusi tersebut. Photo: Diskusi Batubara vs Energi Terbarukan di Jakarta (7/2/2019). Kiri ke kanan: Ramson Siagian, Tata Mustasya, Arif Budimanta, Alin Halimatussadiah dan Peter Kiernan. (ABC; Nurina Savitri)
Ia memaparkan jika biaya eksternalitas, yang merupakan biaya yang harus ditanggung atau manfaat tidak langsung yang diberikan dari suatu pihak akibat aktivitas ekonomi, sudah diketahui maka biaya sesungguhnya dari batubara akan terlihat.
"Tapi sebenarnya secara ekonomi ada juga biaya lainnya. Ada biaya yang ditanggung perekonomian sebesar sekian. Jadi sebenarnya layak tidak untuk menggantungkan banyak pada batubara?," kata ekonom UI ini.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 yang disusun Pemerintah Indonesia, bahan bakar fosil masih menjadi sumber utama pembangkitan listrik di Indonesia. Batubara bahkan mencapai 58,3 persen dari total sumber energi yang direncanakan, jauh lebih tinggi dari energi terbarukan yang hanya dipatok 12,5 persen.Batubara dan keterkaitan politik
Masih dijadikannya batubara sebagai sumber utama pembangkit listrik dan komoditas energi favorit untuk diekspor diduga terkait dengan alasan politis di belakangnya.
Menurut catatan Greenpeace dalam laporan "Coalruption: Elite Politik Dalam Pusaran Batubara", dalam 20 tahun terakhir, sektor batu bara telah menjadi salah satu sumber utama pendanaan politik di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah.
"Pemain kunci di industri batu bara memainkan peranan penting dalam pemilihan Presiden 2019, baik di tim kampanye Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno."
"Para calon dan tim inti kampanye berbisnis dan terkait dengan sektor batu bara," sebut laporan yang dirilis Februari 2019 itu.
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, mengatakan kepada pers korupsi politik di sektor batubara telah menyebabkan pertumbuhan bisnis komoditas ini berkembang pesat, sehingga kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan pun kian besar dan diabaikan.
"Transisi dari energi batubara ke energi terbarukan harus berawal dari komitmen Presiden terpilih," utaranya.
Tata mengatakan, tahun ini adalah peluang Indonesia untuk mewujudkan arus balik dari energi batubara yang kotor, baik kotor secara kualitas udara maupun politik, menuju enenrgi bersih dan terbarukan.
"Apalagi energi terbarukan biaya pembangkitannya makin menurun, sudah makin menyamai energi fosil. Di sisi lain, energi terbarukan ini bisa membuka lapangan kerja," ungkapnya dalam forum diskusi yang sama dengan Alin di Jakarta. Photo: Target Produksi Batubara RPJMN 2015-2019 vs Realisasi Produksi. (Publish What You Pay (PWYP))
Menanggapi produksi batubara yang masih tinggi dan menjadi tumpuan pembangkitan listrik di Indonesia, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif Publish What You Pay (PWYP) -dalam laporannya di bulan Januari 2019 -menyebut, Pemerintah belum menjalankan wewenang pengendalian produksi batubara secara optimal. Bahkan bertolak belakang jika mengacu pada realisasi produksi batubara nasional yang selalu melebihi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
"Dalam praktek penetapan produksi batubara yang selama ini dilakukan, mekanismenya justru bersifat bottom-up, yakni berasal dari usulan masing-masing perusahaan (batubara) yang tercantum dalam dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB)."
"Bukan ditetapkan oleh Pemerintah lalu diturunkan atau dibagi dan ditetapkan per provinsi sebagaimana Rencana Strategis Kementerian ESDM 2015-2019," tulis PWYP dalam laporannya.
Akibatnya, sebut PWYP, pengendalian produksi batubara di Indonesia sulit dilakukan karena kebanyakan perusahaan batubara telah memiliki kontrak dengan pembeli dan permohonan produksi dilakukan sesuai dengan nilai kontrak yang telah disepakati atau dibuat oleh perusahaan dengan pihak pembeli.Isu lingkungan kurang jadi perhatian pemilih Photo: Bawono Kumoro. (Supplied)
Meski pemanfaatan sumber daya fosil secara maksimal di Indonesia banyak disorot, lantas apakah agenda paslon terkait energi dan lingkungan, yang disampaikan dalam debat Capres-Cawapres kedua pada 17 Februari 2019, bisa memengaruhi pilihan pemilih?
Pengamat politik dari The Habibie Center, Bawono Kumoro, mengatakan tema energi tidak terlalu dominan, jika dibanding dengan infrastruktur dan pangan, yang juga dibahas dalam debat kedua.
"Kalaupun ada isu energi dikemukakan oleh calon Presiden besar kemungkinan sekitar Freeport. Isu lingkungan masih dilihat sebelah mata oleh sebagian besar publik di Indonesia," tutur Bawono kepada ABC.
Jika menilik hasil-hasil survei mengenai Pilkada dan Pilpres, jelas Bawono, isu ekonomi seperti harga sembako dan lapangan kerja selalu menjadi isu prioritas publik dibandingkan isu-isu lain.
"Karena isu ekonomi langsung berkaitan terhadap isi perut," sebutnya.
Ia memprediksi apapun paparan pemanfaatan energi yang diberikan masing-masing paslon akan kurang memengaruhi animo pemilih.
"Pengalaman-pengalaman di Pilkada selama ini seperti di pilkada DKI Jakarta atau juga Pilkada di beberapa kabupaten dan kota, swing voters akan terpengaruh secara kuat bila ada kandidat terkenan kasus hukum. Jadi jarang sekali karena tawaran isu atau program tertentu," tandasnya.
Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pria Asal Pedalaman Australia Masuk Islam Demi Cintanya