Sejak debat calon presiden di tahun 2004 yang menjadi pertama kalinya dalam sejarah demokrasi Indonesia, isu swasembada pangan selalu dimunculkan sebagai materi perdebatan.
Alasan kuat mengapa topik tersebut selalu dibahas adalah karena menyangkut perut masyarakat, seperti yang dijelaskan Assyifa Szami Ilman, peneliti dari Centre for Indonesian Policy Studies.
BACA JUGA: Australia dan Indonesia Akan Tandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas Sebelum Pemilu
"Sudah ada stigma bahwa kita adalah negara agraris, sehingga dengan mengangkat topik swasembada bisa mendulang suara-suara khususnya di pedesaan," ujar Ilman.
Tetapi apakah sebenarnya Indonesia bisa mencapai swasembada pangan?
BACA JUGA: Pria Asal Pedalaman Australia Masuk Islam Demi Cintanya
Ilman menjelaskan ada tiga fokus produk pangan di Indonesia, yakni beras, jagung, dan kedelai. Photo: Assyifa Szami Ilman, peneliti dari Centre for Indonesian Policy Studies (Koleksi pribadi)
BACA JUGA: Enam Perusahaan China Dkeluarkan Dari Bursa Saham di Australia Di Tahun 2018
Untuk beras, ia mengatakan belum bisa dipastikan apakah sebenarnya produksi beras di Indonesia memang surplus atau tidak, karena angka terbaru bisa terlihat pada musim panen bulan Maret mendatang.
Pemerintah mengakui ada kesalahan metode dalam penghitungan data produksi beras, yang telah terjadi sejak tahun 1997, seperti yang diungkapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla bulan Oktober 2018 lalu.
Tak hanya itu, setelah melihat data konsumsi beras yang juga disesuaikan, maka surplus beras di tahun lalu sebesar 2,85 juta ton, sehingga tidak membutuhkan impor.
"Jadi untuk beras mungkin masih bisa swasembada karena masih surplus, berbeda untuk kedelai dan jagung yang angkanya masih di bawah itu," ujar Ilman.Perlu adanya perubahan paradigma Photo: Kedua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto berjabat tangan dengan kedua pendamping mereka Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno tersenyum setelah debat capres/cawapres di Jakarta. (Reuters: Willy Kurniawan)
Debat calon presiden putaran kedua yang akan digelar hari Minggu mendatang (17/02) akan membahas soal pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.
Menurut Ilman seharusnya ada perubahan paradigma dalam diskusi antara calon presiden, yakni dari swasembada pangan menjadi ketahanan pangan.
Dalam bahasa sederhana ia menjelaskan swasembada pangan adalah "tersedianya makanan dari petani atau produsen dari dalam negeri."
Sementara ketahanan pangan "yang penting ada makanan, terserah siapa pun yang menghasilkan, bisa dari Indonesia atau negara lain asalkan sumber makanan aman."
Jika swasembada pangan yang dimaksud mencakup beras, jagung, dan kedelai maka akan sulit bagi Indonesia mencapainya.
"Sungai di indonesia tak ada yang terlalu besar, seperti di Vietnam dengan sungai Mekong, yang kemudian mendukung skala perekomomian produksi beras," kata Ilman
"Karenanya harga beras Vietnam bisa sangat murah dan saat masuk ke Indonesia juga menjadi murah."
Tak hanya itu, lahan pertanian di Indonesia pun lebih sedikit dibandingkan jumlah petaninya, sehingga biaya produksi beras yang tinggi disebabkan mahalnya harga sewa lahan.
"Harusnya yang menjadi fokus adalah bagaimana kita bisa mandiri dan kompetitif,
Dari pengamatannya selama ini, baik kebijakan yang dibuat oleh Joko Widodo sebagai pertahana dan Prabowo Subianto sebagai oposisi, masih sama-sama mengemas isu pangan seolah-olah untuk melindungi rakyat.
Padahal, jika swasembada pangan pun tercapai, harganya akan tetap mahal karena biaya produksi yang terlanjur tidak kompetitif dan dengan mendatangkan produk impor maka harganya lebih terjangkau, tambahnya.
"Topik ini akan terus menerus dibahas karena memang dari 2004 sampai sekarang kita tidak pernah tidak impor, bahkan untuk beras sekalipun."
"Tahun 2024 pun kalau kita masih juga impor pasti akan dijadikan materi debat lagi."
Ikuti berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Airbus Hentikan Produksi Pesawat Superjumbo A380