JAKARTA - Para tokoh yang berniat masuk dalam kontestasi 2014 sudah harus berbenah. Hasil survei Pusat Data Bersatu (PDB) yang dikomandani Didik J. Rachbini mengungkap bahwa sifat kepemimpinan ideal yang diharapkan mayoritas publik saat ini untuk capres bukan mereka yang sekadar pandai atau berwibawa.
"Masyarakat sudah tidak berpikir cari pemimpin yang pintar, gagah, berwibawa, atau ganteng lagi," kata Ketua PDB Didik J. Rachbini saat merilis hasil survei lembaganya di Jakarta, Rabu (6/3).
Dari hasil survei, kata Didik, mayoritas publik kini menginginkan sifat jujur agar dimiliki para capres. Yaitu, 46,9 persen. "Angka yang signifikan dibanding sifat atau kriteria lain," kata ekonom yang juga mantan wakil direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu.
Di bawah sifat jujur, berpihak pada rakyat menjadi pilihan terbesar kedua publik, yaitu 23,2 persen. Menyusul berturut-turut sifat tegas (8,2 persen), bersih dari KKN (7,6 persen), taat beragama (7,0 persen), berwibawa (3,5 persen), pandai (1,1 persen), dan sifat lain (1,6 persen). Adapun yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab hanya 1,0 persen.
Hasil survei juga mengungkap bahwa mayoritas publik tidak mempermasalahkan asal-usul kedaerahan untuk menjadi bahan pertimbangan memilih presiden dan wapres. Yaitu, 65 persen. "Tapi, yang menjadikan hal tersebut pertimbangan masih 28 persen. Ini realitas juga," tandas Didik lagi. Sisanya, 7 persen menyatakan tidak tahu/tidak menjawab.
Terkait dikotomi militer-sipil, survei PDB juga mengungkap bahwa publik tidak mempersoalkan hal itu. Saat ditanyakan bahwa jika ada dua tokoh yang kualitasnya sama mencalonkan diri menjadi presiden, satu dari militer dan yang lain warga sipil, presentase publik yang memilih masing-masing berbagi sama. Masing-masing dipilih 43 persen responden. Sisanya, 14 persen menyatakan tidak tahu/tidak menjawab.
Begitu pun dikotomi tokoh parpol dan nonparpol. Masing-masing persentase pilihannya juga tidak jauh berbeda. Publik yang memilih tokoh bukan parpol 32 persen, sedangkan yang memilih tokoh parpol 46 persen.
Lalu, yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab 22 persen. "Ini realitas politik pemilih bahwa parpol juga masih jadi pilihan masyarakat," kata Didik lagi.
Karena itu, lanjut dia, tantangan ke depan adalah bagaimana membereskan berbagai masalah di parpol sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. "Setidaknya, agar parpol jangan sampai menjadi ladang pembantaian," imbuh mantan cawagub DKI pendamping Hidayat Nur Wahid itu. (dyn/c2/agm)
"Masyarakat sudah tidak berpikir cari pemimpin yang pintar, gagah, berwibawa, atau ganteng lagi," kata Ketua PDB Didik J. Rachbini saat merilis hasil survei lembaganya di Jakarta, Rabu (6/3).
Dari hasil survei, kata Didik, mayoritas publik kini menginginkan sifat jujur agar dimiliki para capres. Yaitu, 46,9 persen. "Angka yang signifikan dibanding sifat atau kriteria lain," kata ekonom yang juga mantan wakil direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu.
Di bawah sifat jujur, berpihak pada rakyat menjadi pilihan terbesar kedua publik, yaitu 23,2 persen. Menyusul berturut-turut sifat tegas (8,2 persen), bersih dari KKN (7,6 persen), taat beragama (7,0 persen), berwibawa (3,5 persen), pandai (1,1 persen), dan sifat lain (1,6 persen). Adapun yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab hanya 1,0 persen.
Hasil survei juga mengungkap bahwa mayoritas publik tidak mempermasalahkan asal-usul kedaerahan untuk menjadi bahan pertimbangan memilih presiden dan wapres. Yaitu, 65 persen. "Tapi, yang menjadikan hal tersebut pertimbangan masih 28 persen. Ini realitas juga," tandas Didik lagi. Sisanya, 7 persen menyatakan tidak tahu/tidak menjawab.
Terkait dikotomi militer-sipil, survei PDB juga mengungkap bahwa publik tidak mempersoalkan hal itu. Saat ditanyakan bahwa jika ada dua tokoh yang kualitasnya sama mencalonkan diri menjadi presiden, satu dari militer dan yang lain warga sipil, presentase publik yang memilih masing-masing berbagi sama. Masing-masing dipilih 43 persen responden. Sisanya, 14 persen menyatakan tidak tahu/tidak menjawab.
Begitu pun dikotomi tokoh parpol dan nonparpol. Masing-masing persentase pilihannya juga tidak jauh berbeda. Publik yang memilih tokoh bukan parpol 32 persen, sedangkan yang memilih tokoh parpol 46 persen.
Lalu, yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab 22 persen. "Ini realitas politik pemilih bahwa parpol juga masih jadi pilihan masyarakat," kata Didik lagi.
Karena itu, lanjut dia, tantangan ke depan adalah bagaimana membereskan berbagai masalah di parpol sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. "Setidaknya, agar parpol jangan sampai menjadi ladang pembantaian," imbuh mantan cawagub DKI pendamping Hidayat Nur Wahid itu. (dyn/c2/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPD Merasa Kian Setara dengan DPR
Redaktur : Tim Redaksi