Cara Berpikir Rancu di Kurikulum Baru

Jumat, 18 Januari 2013 – 16:18 WIB
Mohammad Abduhzen. Foto: M Fathra Nazrul Islam/JPNN
PEMERINTAH yakin dengan mengubah kurikulum mampu mengubah generasi bangsa. Makanya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ngotot kurikulum 2013 tetap akan diterapkan.

Kurikulum anyar ini disebut-sebut menggunakan model tematik integratif, sebagai pengembangan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Bagaimana Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melihat kurikulum 2013? Apa pula tanggapannya tentang 52 jam pelajaran untuk menggembleng guru-guru pengajar tematik integratif?

Berikut petikan wawancara wartawan JPNN, M Fathra Nazrul Islam dengan Ketua Departemen Litbang PGRI, Mohammad Abduhzen, yang juga Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, di Jakarta, Kamis (17/1).

Bagaimana Anda melihat perubahan kurikulum ini?

Yang pasti kita lihat perubahan itu pada pengurangan mata pelajarandan penambahan jam pelajaran. Tetapi waktu mengurangi jam pelajaran itu muncul masalah, karena ternyata pemerintah mengeluarkan IPA atau sains dan IPS dari kurikulum SD. Nah, padahal katanya kurikulum ini diubah dalam rangka menghadapi perkembangan masa depan. Kita tahu masa depan, perkembangan zaman ini ditandai oleh dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, anak-anak didik kita perlu sedini mungkin dibekali kemampuan untuk bernalar secara saintific, dan teknologi.

Nah, bagaimana mungkin mereka dibentuk cara berfikirnya dengan saitific dan teknologi itu kalau sejak dini pelajaran IPA itu diintegrasikan dengan pelajaran lain. Sementara kita tahu bahwa sains atau IPA itu berada dalam rumpun yang berbeda dengan ilmu-ilmu di mana dia diintegrasikan. Misalnya dengan Bahasa Indonesia, Agama, PPKN. Itu merupakan rumpun-rumpun ilmu pengetahuan yang secara filsafat ilmu, itu bersifat deduktif. Sementara sains adalah ilmu yang terbentuk dalam model berfikir induktif. Kalau itu diitegrasikan, maka jadi tidak match, sehingga tujuan pembelajarannya juga berbeda.

Kalaupun kurikulum perlu dikembangkan, apa sebetulnya yang harus diubah?
Saya pribadi terus terang tidak melihat ada urgensi pada perubahan kurikulum itu, tanpa mengubah pondasi dan filofosi pendidikan kita ini. Kalaupun itu ada yang harus diubah, KTSP memang sarat beban, tetapi ketika kita mau mengeluarkan beberapa mata pelajaran atau memasukkan mata pelajaran itu kan harus ada argumentasi logis yang terkait dengan filosofi tadi. Mengapa sebuah mata pelajaran kita perlukan dan mengapa sebuah mata pelajaran tidak perlu dimasukkan, itu perlu penjelasan. Tapi yang terjadi adalah kerancuan berfikir di dalam menyusun kurikulum ini. Kita ingin mengubahnya untuk keperluan masa depan yang sarat ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi kita mengeluarkan IPA dan IPA, ini kan rancu cara berfikirnya.

Kalau soal tematik itu sendiri, apa tidak cocok pengembangannya ke sana?

Sebetulnya itu sebuah model pembelajaran yang cocok dengan landasan pembelajaran dari definisi pasal 1 ayat 1 UU Sisdiknas. Cocok itu. Karena menekankan aktif learning dan pembelajaran tematik dan integratif itu hanya bisa terlaksana kalau pembelajaran itu aktif learning. Nah, tapi ini kan sebuah model pembalajaran yang tidak mudah untuk diterapkan oleh guru-guru sehubungan dengan pengalaman dan kebiasaan mengajar guru di sekolah-sekolah kita yang satu arah. Makanya memerlukan sebuah upaya, bukan sekedar pelatihan, tapi ada desain dan strategi di dalam mengubah model pembelajaran itu, metodologinya.

Idealnya seperti apa pelatihan guru untuk model tematik ini?
Pelatihan guru yang cocok untuk pembelajaran tematik dan integratif, menurut saya adalah pelatihan guru yang dikemas sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya pelatihan yang bersifat dialogis dan partisipatif, bukan ceramah, bukan perintah, bukan berjarak antara guru dengan pelatihnya. Jadi pelatihan yang memang bisa mengubah seseorang dalam grup. Ada metode pelatihan yang disebut dengan pendekatan dynamic grup, jadi grup yang dinamis, sehingga orang bisa berubah ketika dia masuk ke dalam grup itu. Ini harus memerlukan kecakapan instruktur sendiri.

Contohnya?
Misalnya ada pelatihan-pelatihan dalam korporasi itu, AMT (Achiefment Motivation Training) itu sudah sangat popular. Contohnya seperti itu. Pelatihan bisa juga dilakukan berjenjang, artinya kita harus memulai dengan adanya cikal bakal. Siapa? Ini tentu orang-orang yang mengerti training, bisa mentraining dan punya pengalaman mentraining serta punya visi, pengetahuan, ideology, dan filosofi pendidikan. Orangnya tidak perlu banyak, cukup 5 orang untuk mendesain model pelatihan guru, kemudian rumuskan desain pelatihannya, mencoba strateginya. Mulai dari bagaimana merekrut guru sampai pelatihan ke daerah.

Butuh waktu berapa lama?
Misal kalau melatih 30-50 orang parallel. Tahap awal butuh waktu setengah tahun. Untuk tahap pertama bisa menghasilkan 100-150 orang. Tapi kalau sudah terbentuk, dia akan bisa mengalami akselerasi. Karena daerah bisa melakukan pelatihan sendiri di bawah pengawasan para trainer yang berasal dari guru.

Kalau 52 jam pelajaran yang disediakan pemerintah untuk mencetak ribuan master teacher tidak cukup? Apalagi waktu yang tersisa hanya 5-6 bulan?
Gak. Gak cukup. Kalau dengan jumlah yang diharapakan begitu (ribuan), kecuali kita ceramah, seribu orang kan bisa kita kumpulkan di gedung, kita ceramahi, begini, begini, begini. Itu gampang.

Kalau kaitan kurikulum baru dengan model tematik integratif dengan UN bagaimana?
Harusnya UN tidak ada. Karena pembelajaran termatik dan integratif, itu memang ada kornya ya. Nanti misalnya saya mengajarkan IPA tentang makhluk hidup tema-nya, ketika saya mendiskusikan tentang makhluk hidup ini, itu kan akan berkembang berbagai respon dalam partisipasi siswa itu. Nah kadang-kadang waktu yang sudah kita tetapkan 1 jam atau 90 menit pelajaran akan terlampaui dan mungkin target-target minimal yang ada di kurikulum sudah tercapai, tapi kan makan waktu yang tidak terbatas.

Maksdudnya pembelajaran tematik dan integratif memerlukan kelenturan, fleksibilitas yang tinggi, sehingga susah untuk mencapai target-target yang secara pasti kita rumuskan, dia akan lebih kaya dengan pengembangan nalar, pengembangan sikap. Tetapi aspek kognitif dalam artian penumpukan data-data pengetahuan dalam memorinya tidak tercapai.

Kalau kurikulum dengan model tematik integratif tetap dipaksakan, apakah guru-guru siap diubah dari cara mengajar seperti ritual menjadi lebih lentur?
Ya itu, mengubah itu memerlukan waktu dan pelatihan yang tepat. Tapi kalau pelatihannya tidak tepat, perubahan itu hampir tidak terjadi. Itu tidak akan mengubah apa-apa. Jadi kalau dalam istilah psikologi, itu ada efek Aha-nya, Aha itu, Ooo begitu, nah itu. Dia (guru) menemukan dirinya, menemukan kesadaran baru. Itu pelatihan yang harus dibuat dan dilakukan. Menurut saya itu tidak mudah dan butuh waktu lama, paling tidak sekitar dua tahun.***


BACA ARTIKEL LAINNYA... Tunjangan Guru Dipotong-potong Pemda

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler