jpnn.com, JAKARTA - Dosen Universitas Bina Sarana Informatika Algooth Putranto menilai keputusan aparat Polda Metro Jaya menolak laporan terkait Najwa Shihab dan kursi kosong Menkes Terawan Agus Putranto sudah tepat.
Ya. Polemik video Najwa Shihab atas wawancara kursi kosong Menkes Terawan Agus Putranto yang ditayangkan di YouTube Narasi TV pada 28 September 2020 berujung laporan yang dilayangkan Relawan Jokowi Bersatu ke PMJ.
BACA JUGA: Respons Najwa Shihab via Instagram soal Pendukung Jokowi Perkarakan Wawancara Kursi Kosong
Polisi menolak laporan tersebut, Selasa (6/10) kemarin dan mengarahkan agar pihak pelapor terlebih dahulu mengadu ke Dewan Pers.
"Tindakan dalam menindaklanjuti kasus ini sangat tepat karena Narasi TV (narasi.tv) sejak 28 November 2019 adalah Perusahaan Pers berbadan Hukum Pers yang Terverifikasi Administratif dan Faktual," kata Algooth.
BACA JUGA: Hendak Polisikan Najwa Shihab, Laporan RJB Ditolak Polisi
Pria yang pernah menjadi analis konten pemberitaan KPI Pusat ini menjelaskan, perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi.
"Dalam kasus ini, Narasi TV terlindungi oleh UU Pers No 40 Tahun 1999 yang bersifat lex specialis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan juga terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," kata Algooth.
BACA JUGA: Pendukung Jokowi Polisikan Najwa Shihab soal Wawancara Kursi Kosong
"Hal ini dijelaskan dalam pasal 15 UU Pers ayat 2 D, di mana Dewan Pers melaksanakan fungsi 'memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers'," imbuhnya.
Menurut Algooth, keputusan kepolisian juga merupakan bentuk penghormatan terhadap nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Dewan Pers dengan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 01/DP/MoU/II/2012 (Dewan Pers) dan 05/II/2012 (Polri) tentang 'Koordinasi Dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Kemerdekaan Pers' yang ditandatangani pada 9 Februari 2012 yang membedakan penanganan perkara pers dengan perkara lain.
"MoU tersebut diperjelas dalam Nota kesepahaman Nomor: 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor: B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan," katanya.
"Penggiringan isu bahwa penyiaran Narasi TV yang menggunakan channel YouTube dapat ditarik sebagai pelanggaran UU ITE tidak tepat, mengingat status Narasi TV yang tercatat di Dewan Pers adalah media siber," imbuh Algooth.
Dia melanjutkan, soal penggiringan isu bahwa konten penyiaran Narasi TV melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) sebagai acuan bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam melaksanakan UU Penyiaran, juga tidak tepat mengingat konten layanan video over the top (OTT) tidak diatur oleh UU Penyiaran.
"Pelanggaran P3SPS baru dapat diproses oleh KIP ketika konten Narasi TV yang dipermasalahkan tayang di stasiun televisi terestrial yang menjadi mitra Narasi TV, dalam hal ini Trans7 yang juga tercatat sebagai badan hukum pers Terverifikasi Administrasi sejak 4 September 2018," ujar Algooth.
Namun, di sisi lain Algooth mengatakan laporan masyarakat terhadap konten produk jurnalistik tidak boleh dihalangi maupun dinilai sebagai upaya mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia.
"Karena pasal 17 UU Pers menyebutkan ‘masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.’ Kegiatan tersebut dapat berupa ‘memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers'," pungkas Algooth. (*/adk/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Adek