Cari Celah Aturan untuk Bantu Siswa dari Keluarga tak Mampu

Minggu, 28 Mei 2017 – 00:22 WIB
Siswa-siswi SMA. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, MADIUN - Pemkot Madiun, Jatim, terus berupaya membantu siswa SMA dan SMK yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Pihak Balai Kota –sebutan pemkot- masih mencari celah aturan yang dapat dijadikan pijakan agar ke depannya tidak tersandung kasus hukum.

BACA JUGA: Pendidikan Keluarga Dimulai dari 1.000 Hari Pertama Kehidupan

‘’Pada prinsipnya, saat berkonsultasi ke Kemendikbud tidak mempermasalahkan apabila pemkot membantu biaya pendidikan SMA dan SMK,’’ kata Kepala BPKAD Kota Madiun Rusdianto, seperti diberitakan Radar Madiun (Jawa Pos Group).

Ada dua cara yang kemungkinan bisa digunakan untuk merealisasikannya. Yakni melalui bantuan sosial (bansos) dan bantuan keuangan (BK). Antara bantuan sosial dan bantuan keuangan sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

BACA JUGA: Mayoritas PAUD Dikelola Masyarakat

Untuk bantuan sosial, sifat penganggarannya sebetulnya paling mudah ditempuh. Terlebih peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah itu sudah tertera dengan jelas.

‘’Tapi, program pembiayaan melalui bantuan sosial itu tidak dapat dilakukan secara terus-menerus setiap tahun,’’ ujarnya.

BACA JUGA: Lowongan! Dibutuhkan 2.500 Guru Tetap dan Honorer

Berbeda halnya dengan BK. Sifat pembiayaan lewat bantuan ini bisa dilakukan secara berkala. Tapi regulasi baku yang mengatur tentang jenis bantuan ini belum kuat secara hukum. Baik itu dalam bentuk sebuah produk hukum maupun surat edaran (SE).

‘’Kalau seandainya ada regulasi yang mengatur tentang itu, meskipun hanya sebatas surat, kami bisa mengambil kebijakan,’’ ungkap pejabat asal Magetan tersebut.

Berdasarkan catatan Radar Madiun, kengototan pemkot merealisasikan pembiayaan SMA dan SMK semata-mata agar program wajib belajar (wajar) 12 tahun sejak 2013 silam tetap berjalan.

Sebab, pasca pengelolaan pendidikan menengah atas (PMA) diambil alih urusannya oleh pemprov, program tersebut terancam tersendat.

Pemkot maupun DPRD setempat merasa jika kebijakan yang diberlakukan pemprov itu justru membelenggu peserta didik dari keluarga kurang mampu.

Misalnya soal pembatasan kuota siswa miskin yang hanya 8 persen dari pagu setiap sekolah. Serta masih banyak ditemui wali murid yang enggan membayar karena merasa akan dibayari pemkot.

Sekolah akhirnya terpaksa meminjam uang dari koperasi untuk menutupi biaya operasional yang seharusnya di-cover sumbangan pendanaan pendidikan (SPP).

‘’Soal anggaran kami mampu. Selain itu, kebijakan pimpinan untuk meneruskan program wajar 12 tahun sudah bulat,’’ ujar Rusdianto.

Penetapan petunjuk teknis (juknis) PPDB SMA dan SMK oleh pemprov yang membatasi kuota siswa miskin hanya 8 persen juga disesalkan Sekda Maidi.

Menurut Maidi, kebijakan tersebut justru berpotensi menambah jumlah anak putus sekolah (APS) di Kota Madiun. Sebelum kewenangan SMA dan SMK beralih ke provinsi pada Januari 2017, pemkot menerapkan pendidikan gratis 12 tahun.

‘’Sehingga semua beban biaya pendidikan ditanggung penuh oleh APBD Kota Madiun,’’ bebernya.

Kendati demikian, pemkot dan DPRD akan tetap berupaya merealisasikan pembiayaan pendidikan bagi seluruh siswa SMA dan SMK di Kota Madiun.

Hanya sampai sekarang pemkot masih mencoba mencari celah agar bantuan keuangan tersebut dapat terealisasi.

‘’Harapannya, siswa yang duduk di bangku SMA dan SMK itu tetap mendapat jatah bantuan seperti dulu. Apalagi mereka itu statusnya merupakan anak Kota Madiun,’’ pungkasnya. (her/ota)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Siap-siap, Pemprov Rekrut 2.700 CPNS


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler