jpnn.com, JAKARTA - Ditemukannya kasus baru akibat penularan subvarian Omicron BA.2, akhir dari durasi pandemi Covid-19 ini mungkin saja sulit diprediksi.
Fakta ini hendaknya tidak mengendurkan tekad dan semangat semua komunitas untuk siap bertransisi ke endemi sebagai ikhtiar bersama merdeka dari virus SARS-CoV-2.
BACA JUGA: Puan Maharani Beri Peringatan, Omicron Siluman Harus Ditangani dengan Serius!
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah memastikan subvarian Omicron BA.2 telah menyebar di dalam negeri.
Bahkan, per jumlah, pasiennya cukup banyak.
BACA JUGA: Omicron tak Terdeteksi Berpotensi Membentuk Varian Baru yang Lebih Berbahaya
Kalau di Hongkong Omicron varian BA.2 memicu lonjakan jumlah kasus, tidak demikian di Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan Kemkes, subvarian Omicron BA.2 untuk sementara ini belum memicu lonjakan jumlah kasus baru.
BACA JUGA: Varian Baru HIV Telah Terdeteksi, Kemampuan Membunuhnya Lebih Tinggi
Namun, berpijak pada pemahaman bahwa virus mudah bermutasi dan menghadirkan ancaman baru, semua komunitas didorong untuk tetap mewaspadai potensi penularan subvarian Omicron BA.2 maupun varian lainnya.
Ingat bahwa tak lama lagi, masyarakat akan memasuki bulan suci Ramadan untuk melaksanakan ibadah puasa.
Maka, tetaplah patuh pada protokol kesehatan agar pada saatnya nanti semua komunitas dapat melaksanakan ibadah Puasa Ramadan dalam keadaan sehat walafiat.
Apalagi, selepas pekan kedua Maret 2022, perkembangannya cenderung membaik.
Laporan dari Satgas penanganan Covid-19 menyebutkan bahwa jumlah pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit terus berkurang dalam skala yang signifikan.
Indikator bed occupancy rate (BOR) konsisten di bawah 20 persen.
Keadaan yang terus membaik akan menjadi modal bersama untuk segera bertransisi ke endemi, sebagaimana yang sudah diterapkan di sejumlah negara.
Selain faktor kepatuhan publik pada Prokes, modal bersama lainnya adalah data tentang perkembangan antibodi Covid-19 di tengah masyarakat.
Pada Jumat (18/3), pemerintah merilis hasil survei serologi Covid-19.
Survei menyebutkan bahwa 90 persen penduduk Indonesia sudah memiliki antibodi Covid-19.
Survei ini hasil kerja sama Kemenkes, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI).
Sebelumnya, sejumlah institusi yang kompeten, seperti Satgas Covid-19 dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun sudah memprediksi bahwa fase transisi ke endemi di Indonesia bisa terwujud antara satu hingga tiga bulan ke depan.
Semua orang pasti berharap transisi itu segera terlaksana, karena siapa pun pasti ingin cepat-cepat merdeka dari ancaman virus Corona.
Tentu saja bertransisi ke endemi tetap harus dilandasi prinsip kehati-hatian.
Paling utama, semua komunitas hendaknya mau untuk tetap bersikap realistis bahwa durasi pandemi belum berakhir, karena masih ada potensi mutasi virus yang memunculkan varian baru.
Maka, konsistensi kepatuhan pada Prokes harus tetap terjaga.
Bersikap realistis, semua komunitas secara tidak langsung telah berikhtiar menekan angka penularan Covid-19 sekaligus mempercepat fase transisi ke endemi.
Kepatuhan pada Prokes tidak selalu berarti membatasi ruang gerak masyarakat.
Setiap orang tetap disarankan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produktif dengan mengutamakan kewaspadaan dan kehati-hatian.
Selama masa pandemi, mobilitas masyarakat harus beradaptasi dengan pembatasan sosial plus beragam aturan atau Prokes.
Semua komunitas diminta taat, demi meminimalisir dampak penyebaran virus SARS-CoV-2 dengan berbagai varian-nya.
Setelah lebih dua tahun 'dibelenggu' ketidakpastian, kini semua komunitas didorong untuk menatap secercah harapan untuk merdeka dari ancaman dan perasaan was-was terpapar Covid-19 yang durasinya tak kunjung berujung.
Harapan itu ditandai dengan langkah dan kebijakan pemerintah yang mulai melakukan pelonggaran terhadap mobilitas masyarakat.
Rangkaian pelonggaran itu menjadi awal fase transisi menuju endemi Covid-19.
Sejumlah persyaratan bagi pelaku perjalanan domestik yang menggunakan seluruh moda transportasi (darat, laut, dan udara) telah dieliminasi.
Misalnya, syarat atau keharusan menyodorkan bukti hasil negatif tes antigen atau PCR yang sudah ditiadakan.
Namun, rangkaian pelonggaran itu tetap mewajibkan kepatuhan pada Prokes).
Mulai Senin (14/3), misalnya, PT KAI sudah melepas tanda jaga jarak pada tempat duduk di gerbong-gerbong KRL.
Demikian juga dengan PT MRT Jakarta (Peseroda), yang sama-sama memberlakukan penumpang maksimal 100 persen, atau sekitar 86 orang per gerbong.
Kebijakan ini mengacu pada SE Kemenhub Nomor 25/2022 mengenai pengaturan kapasitas penumpang maksimal 100 persen untuk moda transportasi massal yang berada di wilayah dengan status PPKM Level 2.
Tak hanya pada transportasi, kebijakan yang sama juga diberlakukan pada semua kompetisi olahraga, yang sudah boleh dihadiri penonton dengan syarat tertentu, yakni sudah mendapatkan vaksinasi booster dan menggunakan aplikasi Pedulilindungi ketika masuk stadion.
Terkait kapasitas, disesuaikan dengan level PPKM di daerah lokasi pertandingan berlangsung.
Kapasitas 100 persen untuk Level 1, 75 persen untuk Level 2, 50 persen untuk Level 3 dan 25 persen di wilayah yang PPKM-nya di level 4.
Pemerintah juga meniadakan kewajiban karantina bagi setiap Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) yang masuk Bali pada tahap uji coba mulai 7 Maret 2022.
Memang, masih ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.
Misalnya, bukti booking hotel minimal empat hari, bukti domisili bagi WNI, serta sudah mendapatkan vaksinasi dosis ketiga hingga syarat melakukan tes PCR saat kedatangan.
Berbekal hasil negatif, PPLN bebas dari karantina.
Setelah itu, ada kewajiban melakukan PCR lagi pada hari ketiga.
Bebas karantina bagi seluruh PPLN mulai diberlakukan 1 April 2022. Bahkan akan lebih cepat dari rencana, jika tahapan ujicoba ini dinilai berhasil.
Idealnya, kehati-hatian pemerintah mengajak masyarakat menuju endemi Covid-19 diikuti dengan kepatuhan semua komunitas menegakkan Prokes.
Soalnya, di masa endemi, status virus SARS-CoV-2 tidak serta merta berubah.
Di masa endemi, Covid-19 sejatinya tetap sebagai wabah, walaupun penularannya tidak secepat ketika masih berstatus pandemi. (***)
* ) Penulis adalah Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi