Catatan LPSK untuk Calon Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo

Minggu, 17 Januari 2021 – 19:01 WIB
Calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki catatan sederet pekerjaan yang menanti Kapolri baru.

BACA JUGA: Komjen Listyo Sigit Pernah Menggagas Tablig Akbar, Ulama Terkenal Datang

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu memulai catatan tersebut, dengan menyinggung mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan diterapkan Kapolri menyikapi kasus penyiksaan yang dilakukan oknum anggota Polri.

Menurut Erwin, praktik penyiksaan masih menjadi catatan masyarakat sipil.

BACA JUGA: 3 Kelompok Penolak Komjen Listyo Sigit Prabowo, Terakhir Paling Berbahaya

Dia menegaskan tindakan brutalitas oknum polisi merujuk data KontraS, sepanjang periode Mei 2019-Juni 2020, yang mencatat terdapat 62 kasus penyiksaan.

Pelaku dominan oknum polisi dengan 48 kasus.

BACA JUGA: Respons Sejumlah Fraksi tentang Komjen Listyo Sigit, Bagaimana soal Agama?

Dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban, dengan perincian 199 luka dan 21 tewas.

Catatan LPSK tahun 2020, terdapat 13 permohonan perlindungan perkara penyiksaan, sementara di 2019 lebih tinggi dengan 24.

Artinya, kata Edwin, terjadinya penurunan sebesar 54 persen perkara penyiksaan pada 2020 dibanding 2019.

Pada 2020, terdapat 37 terlindung LPSK dari peristiwa penyiksaan.

Erwin menegaskan kasus terakhir yang menarik perhatian dikenal dengan peristiwa KM 50, yang menewaskan enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI).

Edwin pun meminta Kapolri baru nanti mencontoh KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa yang menghukum oknum TNI dalam peristiwa di Intan Jaya, Papua.

"Rekomendasi Komnas HAM meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana. Sebaiknya Kapolri mencontoh KSAD yang dengan tegas memproses hukum oknum TNI di peristiwa Intan Jaya,” ujar Edwin, Minggu (17/1).

Menurut Edwin, umumnya kasus penyiksaan diselesaikan dengan mekanisme internal etik/disiplin dibandingkan proses peradilan pidana.

Publik pun, kata dia, mempertanyakan, equality before the law dan efek jeranya.

"Memang, penyiksaan masih memiliki problem regulasi, karena tidak ada di KUHP sehingga disamakan dengan penganiayaan,” kata Edwin.

Kedua, Edwin melanjutkan bagaimana Kapolri menyikapi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) yang terus meningkat beberapa tahun terakhir.

Menurut Edwin, Polda Metro Jaya pada 2020 melansir telah menangani 443 kasus hoaks dan hate speech.

Sebanyak 1.448 akun media sosial telah dilakukan take down, sedangkan 14 kasus dilakukan penyidikan hingga tuntas.

“Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini ialah, sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya,” tanya Edwin.

Ketiga, lanjut Edwin, adalah bagaimana pendekatan restorative justice yang akan dikembangkan Polri?

Menurut Edwin, menjadi rahasia umum bahwa kondisi penjara over capacity atau kelebihan kapasitas.

Jumlah narapidana yang masuk, tak berbanding lurus dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan. Besaran jumlah napi yang masuk dengan keluar amat tidak berimbang.

“Situasi ini sebaiknya disikapi Polri menggunakan pendekatan restorative justices sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana,” kata Edwin.

Keempat, kata Edwin, bagaimana upaya Kapolri memerangi korupsi di korpsnya?

Edwin membeberkan kasus surat palsu Djoko Tjandra yang tidak terlepas dari praktik suap, telah menempatkan dua jenderal polisi sebagai terdakwa.

Ia memberi apresiasi kepada Polri yang menindak oknum jenderal pada tindak pidana ini.

Namun, kata Edwin, praktik suap dan pungli masih kerap dikeluhkan masyarakat ketika berhadapan dengan polisi.

“Menjadi tugas Kapolri agar pelayanan dan proses hukum di tubuhnya bersih dari praktik transaksional yang dapat menghilangkan kepercayaan publik,” ujarnya.

Kelima, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih menjadi keprihatinan nasional.

Pada masa pandemi Covid-19, catatan LPSK di 2020 terdapat 245 permohonan atas kasus ini, menurun 31,75 persen dibandingkan 2019.

Model yang berkembang dalam kejahatan dari grooming hingga pemerasan.

Namun, banyak pelaku disebabkan terpangaruh konten pornografi di sosial media.

“Polri dituntut aktif melakukan patroli siber untuk memerangi konten pornografi di dunia maya,” imbuh Edwin.

Keenam, Edwin mengatakan, bagaimana strategi kolaborasi dan sinergi Polri dalam penegakan hukum bersama LPSK, KPK, Kejaksaan Agung, dan lainnya?

Koordinasi dan sinergi adalah situasi yang diharapkan agar tercapai kolaborasi bagi kepentingan penegakan hukum.

Namun, praktiknya tidak mudah. Ego sektoral selalu jadi penghambatnya.

“Kapolri diharapkan mampu membangun koordinasi dan sinergi, tidak berhenti menjadi slogan,” pinta Edwin yang juga mengapresiasi Polri atas kolaborasinya selama ini dengan LPSK dalam perlindungan korban TPPO dan terorisme.

Harapannya, kolaborasi itu dapat berlanjut di perkara lain, seperti tindak pidana korupsi.

Terakhir, bagaimana strategi Polri meningkatkan keamanan di daerah zona terorisme di Sulawesi Tengah dan kelompok kekerasan bersenjata di Papua, yang berpotensi jatuhnya korban dari masyarakat?

Di sisi lain, Polri harus meningkatkan perhatian kepada anggota yang bertugas zona merah, dengan memberikan reward, perlengkapan teknologi, kendaraan dan waktu penugasan dengan mempertimbangkan situasi psikologis anggota yang berdinas di zona merah. (boy/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler