CBC Sebut Perbankan Dalam Masalah Besar, OJK Perlu Waspada

Kamis, 09 November 2023 – 11:28 WIB
Presiden Direktur Centre For Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri. Ilustrasi. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri menyebut saat ini, industri perbankan sedang tidak baik-baik saja. Risiko likuiditas dan kenaikan biaya operasional makin memberatkan.

Dia pun mengkritik press release yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 30 Oktober 2023 (SP 163/GKPB/OJK/X/2023), memperlihatkan lembaga itu kurang jeli dengan tugas yang diemban.

BACA JUGA: Bank DKI Komitmen Tingkatkan Literasi Pasar Modal kepada 10 Ribu Karyawan Perbankan

"Di era suku bunga tinggi, perbankan akan menghadapi risiko likuiditas dan peningkatan biaya operasional. Rasio Sharpe Square Ratio (SSR) adalah metode untuk mengukur kinerja suatu portofolio," kata Deni dalam keterangannya Jakarta, Kamis (9/11).

Asal tahu saja, rasio SSR berguna untuk mengukur seberapa besar proporsi dana pihak ketiga (DPK) yang harus disimpan oleh bank di Bank Indonesia (BI), sebagai cadangan.

BACA JUGA: Upaya BRI Menggenjot Kredit UMKM Dipuji Pengamat Perbankan

Deni mengatakan makin tinggi rasio SSR, maka makin rendah likuiditas bank yang bersangkutan.

Artinya, makin tinggi pula biaya operasional bank tersebut. Bank Indonesia (BI) menetapkan besaran rasio SSR yang berbeda untuk setiap jenis simpanan.

BACA JUGA: Buku Ketahanan Bank Angkat Core Value BerAKHLAK dalam Perbankan

“"Jika tingkat suku bunga naik, maka DPK akan berpindah dari simpanan berjangka pendek ke jangka panjang yang bunganya lebih tinggi," terang Deni.

Hal ini, lanjutnya, meningkatkan rasio SSR bank, karena simpanan berjangka panjang memiliki rasio SSR lebih tinggi ketimbang simpanan berjangka pendek.

Untuk itu, kata dia, bank harus mengelola komposisi DPK-nya agar tidak terlalu terbebani kewajiban SSR.

Kinerja sektor keuangan yang jauh dari moncer memperlihatkan tidak jelinya OJK akan permasalahan sektor keuangan di Indonesia.

Hal ini terjadi karena adanya tiga hal penting yang secara struktural justru tidak dijelaskan oleh OJK dengan sistematis. Pertama, meningkatnya risiko sistemik akibat ketidakstabilan ekonomi global, geopolitik, dan bencana alam.

"Kedua, meningkatnya persaingan antara penyedia jasa keuangan, baik konvensional maupun digital. Ketiga, meningkatnya potensi fraud, cybercrime, dan money laundering dalam sektor jasa keuangan," paparnya.

Penjabaran rencana OJK untuk mengatasi hal-hal di atas, menurut Deni, sangat tidak jelas alias sumir sekali. Ketiga hal penting tersebut, tidak dijelaskan detil, karena OJK tidak mengaitkannya dengan empat permasalahan.

Pertama, lanjutnya, masih terdapat tantangan dalam mengintegrasikan fungsi pengaturan dan pengawasan antara sektor-sektor jasa keuangan.

Kedua, masih terdapat potensi konflik kepentingan antara OJK dengan pihak-pihak yang diawasi.

"Ketiga, masih ada keterbatasan dalam hal infrastruktur, teknologi, dan anggaran. Keempat, ada celah hukum dan regulasi yang perlu disempurnakan," kata Deni.

Jika OJK tidak bisa mengaitkan empat hal itu dengan ketiga hal penting di atas, maka Press Release OJK tentang kinerja OJK selama ini hanyalah fatamorgana belaka.

"Sebab inilah sebenarnya kerapuhan dari OJK sendiri. Mengapa kerapuhan ini dapat terjadi? Hal ini terjadi karena adanya konflik kepentingan di dalam OJK itu sendiri," pungkas Deni.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler