Cerdiknya Indonesia Atasi Pragmatisme Malaysia

Jumat, 03 September 2010 – 02:22 WIB

PRESIDEN  RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidatonya untuk menyikapi persoalan Indonesia-Malaysia pada 1 September 2010Pidato ini berangkat dari kasus ’’barter’’ pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan dengan tujuh nelayan ilegal Malaysia pada 13 Agustus 2010.

Sebetulnya, pidato ini dapat diyakini untuk memenuhi harapan masyarakat Indonesia, bukan untuk menjawab orang atau pejabat Malaysia

BACA JUGA: Catatan Tidak Asal Ganyang Malaysia

Dalam posisi Indonesia menuju peradaban baru dunia internasional, maka isi pidato Presiden sangat dapat dimaklumiKita memang tidak perlu mengikuti gaya provokatif Malaysia yang menekan pemerintah Indonesia untuk bereaksi terhadap aksi-aksi unjuk rasa masyarakat Indonesia

Sebagai ekosistem kecil dibandingkan dengan Indonesia, perilaku Malaysia yang impulsif, ’’melompat-lompat’’, termasuk dalam kasus Ambalat, kasus penangkapan tiga aparat Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia, merupakan langkah mencari perhatian
Tapi sekaligus berpotensi menyudutkan Indonesia di mata internasional bila Indonesia salah mengambil langkah.  Untuk hitungan sekarang, sudah hampir dapat dipastikan bahwa Indonesia lebih diperhitungkan ketimbang Malaysia dalam komunitas internasional

Indonesia sebagai negara demokratis, tidak hanya negara besar dalam jumlah penduduk atau memiliki wilayah sangat luas, apalagi dalam kawasan ASEANIndonesia juga negara dengan GDP terbesar di Asia dan masuk kelompok G-20Jumlah penduduk Malaysia juga kalau dihitung hanya lebih sedikit dari separuh jumlah penduduk Jawa BaratJadi tidak apa-apanya

Muatan pidato Presiden menunjukkan tingkat diplomasi tinggi, yang perlu dimaklumi dan mendapatkan dukungan rakyat IndonesiaMengapa? Kalau ada kritik bisa-bisa sajaMungkin orang melihatnya hanya dari leadership style, dalam arti pengambilan keputusanAkan tetapi, kritik itu harusnya ditujukan kepada Menteri, bukan PresidenAda dua alasan

Pertama, karena yang ditampilkan Malaysia untuk ’’menantang’’ Indonesia hanya level Menteri, bukan kepala negaraKedua, dalam rumusan kerja birokrasi, tingkat Menteri memiliki ’’identitas diri’’ untuk memberikan penjelasan, keterangan dalam otoritasnya, sehingga tidak semua hal harus ditangani langsung oleh Presiden

Diplomasi peradaban dalam hubungan internasional sudah secara praktis mau tidak mau berpraktik di lapanganKita juga perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi pragmatisme MalaysiaJuga, dimensi kekuatan hukum dan ekonomi untuk Indonesia membentengi diri dalam pergaulan internasional secara menyeluruh (bukan cuma dengan Malaysia)

Perseteruan melawan Malaysia dengan cara frontal hanya merugikan Indonesia dan mencoreng rupa Indonesia  dalam  percaturan internasional yang jauh lebih berartiKarena itu, mengajak Malaysia untuk segera menyelesaikan masalah batas wilayah merupakan langkah cerdik IndonesiaKita tidak boleh lupa dengan kemabukan Malaysia setelah memperoleh Sipadan dan Ligitan pada sengketa hukum perbatasan dalam peradilan internasional di Den Haag

Di sinilah ciri pragmatisme Malaysia munculMalaysia dengan pengalamannya terhadap kasus Sipadan-Ligitan menarik pelajaran bahwa ternyata persoalan batas wilayah bukan satu-satunya jalan untuk memenangkan suatu dispute (ketidakjelasan status) batas wilayahJadi, dalam hal ini, Malaysia mengambil manfaat dengan adanya dispute batas

Sikap Malaysia sangat berbeda sebelum dan setelah kasus Sipadan-Ligitan dalam menangani masalah-masalah perbatasanSeperti ada pendekatan lain yang diyakininya, yaitu pendekatan okupasi, aktivitas, kehadiran dan keberadaan secara fisik, serta lebih spesifik lagi pendekatan ekonomi dan kesejahteraanKita juga tidak boleh lupa bahwa Indonesia adalah leader atau pemimpin dalam kerjasama kawasan ASEAN, sehingga Indonesia tidak perlu terpancing dengan artikulasi politik yang buruk dari Malaysia

Indonesia juga kemudian menjadi leader dalam pengembangan peningkatan Deklarasi ASEAN menjadi KOMUNITAS ASEAN yang telah mengubah orientasiTak hanya orientasi dalam kerjasama (penajaman tujuan), tapi juga dalam legal-aspect (memiliki daya ikat, dan berdasarkan rule-based), sistem kerja (mekanisme, sistematika, keteraturan, dll)
Kita masih melihat perkembangannya ke depan dengan tiga komunitas ASEAN yang sudah dibangun tersebutTidak mudah memang bagi Indonesia, yang  harus menunjukkan sosok pemimpin di kawasan ASEAN, sementara kita tahu sangat banyak persoalan, baik di luar maupun di dalam negeri yang kita hadapi

Persoalan lintas batas negara ASEAN, meliputi ancaman kejahatan transnasional lintas batas, kejahatan lintas batas, dan manajemen perbatasan seperti pemalsuan tanda pengenal dan dokumen perjalananMeskipun secara ekonomis konsep hubungan kerjasama kawasan adalah menghilangkan perbatasan, namun secara geografis kawasan Asia
Tenggara masih mengalami masalah perbatasanMasalah keamanan perbatasan tidak hanya bersifat militer tetapi juga politik, ekonomi, sosial, dan ekologis

Beberapa contoh masalah lintas batas tersebut meliputi penyelundupan barang, obat dan manusia;  transit tenaga kerja dan teroris;  illegal logging serta illegal fishing, penyebaran uang palsu, bajak laut dan perompakan(Coba saja diteliti dan inventarisasi kasus-kasus di lapanganSiapa yang paling banyak dan cenderung menjadi pelaku illegal?)

Untuk itu perlu kesiapan negara-negara anggota ASEAN serta kesiapan atas berbagai konsekwensi bagi negara-negara anggota termasuk IndonesiaPaling utama ialah kesiapan mentalKesiapan mental untuk Indonesia bisa berbeda dari kesiapan mental untuk MalaysiaSebab, mental Indonesia dalam kawasan ASEAN harus mental leader, pengayom, pelopor, dan ’’ibu pertiwi’’Jadi, energi kemarahan rakyat Indonesia yang terusik, mari kita salurkan kepada kecintaan dan membangun Indonesia, jangan mau terpancing dan terkecoh dengan artikulasi diplomasi politik MalaysiaIndonesia memang jauh lebih berarti bagi dunia internasional(*)


*Penulis adalah Ketua Institut Reformasi Birokrasi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler