Cerita di Balik Desain Baju Batik untuk Lady Gaga

Terinspirasi Wayang dan Tokoh 101 Dalmation

Selasa, 12 Juni 2012 – 00:01 WIB
Rancangan Gloria Agatha, murid Lasalle College International Jakarta. Foto: Dokumen Lasalle

Desainer baju Lady Gaga untuk konser di Indonesia mengaku sempat bingung menyambungkan kekontroversialan sang penyanyi dengan karakter tradisional batik. Mereka tak terlalu mempermasalahkan batalnya show penyanyi asal Amerika Serikat itu.

Janesti P. - Dhimas Ginanjar, Jakarta

BAJU-baju yang dikenakan model saat melenggang di catwalk The Hall, Senayan City, Jakarta, pada 13 April 2012 itu memang tidak biasa. Baju panjang dengan bahan kulit yang di atasnya dihiasi kolase siluet corak batik mega mendung dari bahan sama tampak kaku sekali ketika dipakai.
   
Begitu juga flared dress with tutu skirt yang dipadukan mantel bulu. Kalau dipakai di Indonesia yang punya suhu rata-rata 33 derajat Celsius, pasti gerahnya minta ampun. Kalau dikenakan untuk sehari-hari pun bakal mengundang perhatian orang di sekitar. Tak salah kalau disebut aneh.
   
Alexander Hamid dan Gloria Agatha adalah dua di antara total 19 desainer asal Lasalle College International Jakarta yang merancang baju-baju "tak lazim" tersebut. Tapi, ketidaklaziman tersebut menjadi wajar begitu tahu untuk siapa baju-baju rancangan para siswa Lasalle College International Jakarta itu ditujukan: Lady Gaga.
   
"Gaga selalu pakai sesuatu yang beda di antara yang lain. Mau sekreatif apa pun itu, sah kalau buatnya," ujar Alex "sapaan akrab Alexander Hamid.
   
Ya, bagi mereka yang mengikuti mode, suka atau tidak, bakal sepakat kalau penyanyi kelahiran New York 26 tahun silam tersebut saat ini disebut punya pengaruh kuat di dunia. Terutama gaya berpakaiannya yang disebut-sebut menembus batas fashion.
   
Itu membuat Gaga menjadi incaran para desainer untuk dibuatkan kostum. Termasuk 19 siswa Lasalle. Meski sejatinya karya 19 siswa Lasalle tersebut adalah tugas untuk semester keenam.
   
"Lady Gaga yang kami pilih karena meskipun provokatif, dia punya style yang sangat menarik. Saya tidak terlalu suka musiknya. Cuma, dia orang yang bisa menembus batas fashion. Setiap kali datang ke acara-acara publik, apa yang dikenakan selalu menjadi pusat perhatian. Itu yang saya kagum dari sosoknya," kata Fashion Design Program Coordinatro Lasalle College International Jakarta Audrey Sillem.
   
Dia pun meminta murid-muridnya mengaplikasikan konsep tersebut melalui rancangan-rancangan mereka sesuai dengan karakter Gaga yang tak lazim. Bahan yang digunakan adalah batik dengan motif Cirebon, Madura, dan Garut. Beberapa siswa juga menggunakan kain ikat.
   
Nah, ketika Big Daddy Entertainment selaku promotor akan mendatangkan Gaga untuk menggelar konser The Born This Way Ball Tour pada 3 Juni, kesempatan unjuk gigi itu datang. Sebab, mereka mengadakan kompetisi desain baju untuk Gaga dengan bahan batik. "Saya tahu informasi itu dari BlackBerry. Wah, kok sama banget nih dengan proyek kita," kenang perempuan asli Belanda itu.
   
Begitu mendapat kepercayaan dari promotor, Alex, Gloria, dan rekan-rekan mereka di Lasalle pun mengaku bangga. Namun, kebanggaan itu juga bercampur dengan rasa pusing.
   
"Gaga itu kan kontroversial. Sementara batik itu tradisional. Bingungnya itu gimana cara nyambungin dua karakter tersebut," ujarnya saat ditemui di Lassale College di Kompleks Hotel Sahid Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta.
   
Saat mulai mencari referensi, Alex juga kembali pusing. Kali ini, gara-gara banyak ide yang tiba-tiba menumpuk di otak. Maklum, penyanyi yang pertama melejit lewat album The Fame (2008) itu bisa disebut doyan menggunakan rancangan baju yang nyentrik.
   
Imajinasi Alex yang dipicu karakter Gaga yang selalu berada di "luar pagar" tersebut akhirnya mempertemukannya dengan sosok wayang yang ada di tembok rumah. Dia membayangkan betapa asyiknya kalau penyanyi yang telah menjual sekitar 23 juta kopi album itu menggunakan busana yang terinspirasi warisan budaya dunia versi UNESCO tersebut.
   
Tapi, anak bungsu dari tiga bersaudara itu mengaku tidak tahu banyak tentang dunia wayang. Karena itu, saat Jawa Pos menyebut beberapa tokoh wayang kulit, mulai Punakawan hingga Pandawa lima, Alex tidak ingat dengan pasti sosok wayang mana yang menginspirasinya. "Kalau bentuknya, dia yang paling gede," jelasnya.
   
Tidak ingin sosok wayang itu menguap dari pikiran, dia langsung menyalakan internet dan surfing ke dunia maya. Bermodal aneka bentuk wayang, pria yang awalnya menginginkan masuk jurusan desain sepatu itu mulai mencoba menggambar desain awal baju.
   
Draf tersebut lantas dikonsultasikan ke pengajar di Lasalle. Ternyata, mentornya tidak keberatan. Akhirnya Alex mencoba merealisasikan desainnya itu. Lantaran bahannya sudah ditentukan dari batik, putra pasangan Harianto Hamid dan Michelle April tersebut memilih memadukannya dengan kulit.
   
Hasilnya? Ternyata banyak mengundang pujian meski untuk mewujudkannya dia harus memutar otak beberapa kali. Sebab, bahan kulit ternyata tidak akur dengan batik corak mega mendung pilihannya. "Leather itu berat dan kaku. Pas digabung, susah dijahitnya. Jadi, ada beberapa yang harus dilem," terangnya.
   
Sifat kulit yang sintesis juga membuatnya menciut saat disetrika. Itu yang sangat menguras stamina Alex dan kerap membuatnya down untuk meneruskan proyek tersebut. Bahkan, hingga detik-detik akhir sebelum fashion show, Alex yang kelahiran Seattle, Amerika Serikat, masih saja mengubah bajunya.

Parahnya lagi, menjelang fashion show, dia harus menghadapi ujian. Buntutnya, Alex tidak bisa melakukan persiapan secara maksimal. Usai ujian dia buru-buru menuju venue fashion show di The Hall, Senayan City. Sampai di backstage, baju rancangannya sudah dikerubuti adik-adik kelasnya.

"Ternyata bajuku kepanjangan 25 senti. Adik-adik kelasku itu lagi ramai-ramai ngerjain bajunya. Susah kalau dijahit tangan karena bahannya kaku, makanya dikerjain rame-rame," kata pria yang berulang tahun setiap 29 November itu sembari nyengir.

Kalau Alex terinspirasi wayang, baju dengan mantel berwarna hitam dan putih karya Gloria bersumber pada tokoh di film 101 Dalmatian, Cruella de Vil. Tentu saja, tokoh penculik anjing-anjing Dalmatian itu harus rela diberi aksesori batik cirebon. Untuk warna, dia tetap menggunakan merah, hitam, dan putih.

Untuk riset, gadis kelahiran 25 Juni 1991 itu melakukannya sejak semester 5. Maklum, desain Gloria dan 18 belas siswa lain untuk Gaga tadi termasuk tugas di semester 6.

Namun, riset yang cukup lama itu juga bukan tanpa celah. "Bahan sebenarnya bisa didapat di Tanah Abang, tapi bahan bulu-bulu yang susah," katanya.

Pernah dia mencoba menggunakan bulu yang biasa digunakan untuk boneka beruang. Tapi, baju yang didesainnya ternyata tampak biasa saja, tidak gahar seperti yang diinginkan. Apalagi, untuk mewakili sosok Lady Gaga yang kontroversial. "Akhirnya, aku bayarin sisa punya teman. Dia punya bahan yang pas," tandasnya.

Gloria yang sudah punya clothing line bernama jii itu juga tidak terhindar dari masalah sesaat sebelum fashion show dimulai. Stocking hitam dan merah yang dia gunting latnas dijahit lagi untuk para model ternyata menyisakan masalah. Stocking tersebut tidak lagi bisa meregang dengan sempurna.

Saat dipakai, stocking itu tidak bisa mengikat dengan sempurna di kaki kecil sang model. Jadinya, melorot seperti kaus kaki. Idealnya, bahan untuk menutupi kaki model itu sampai ke paha atas. Meski demikian, dia mengaku cukup puas karena bisa menumpahkan ide dan pikirannya.

Ya, bagi Gloria, fashion design tidak melulu membicarakan sesuatu yang wah. Anak pasangan Djoko Wijono dan Sri Dewijani itu lebih suka mendesain sesuatu yang bisa dipakai sehari-hari. Katanya, desain itu tidak hanya berhenti di kertas gambar, tetapi harus bisa direalisasi dan dikenakan.

Itulah sebabnya, meski mengaku bukan penggemar Lady Gaga, Alex dan Gloria tetap berusaha menyajikan karya yang maksimal. Begitu juga dengan "cuma kami tahulah dia siapa. Kan populer banget," terang lulusan Jubilee School Jakarta itu.

Kecewakah ketika Gaga batal manggung di Indonesia dan kesempatan dipilihnya desain Gloria ikut melayang? Dia mengaku tak terlalu mempermasalahkannya. Sebab, tidak semua masyarakat setuju penyanyi asal Amerika Serikat itu show di Senayan. Kalau memang dirasa itu baik, menurut mereka, pendapat itu harus dihargai.
   
Audrey Sillem membenarkan ucapan Gloria. Menurut dia, tidak perlu terlalu disesalkan gagalnya Lady Gaga ke Indonesia. Sebab, tugas yang diberikan tidak khusus untuk menyambut konser penyanyi yang telah memenangi lima Grammy Award tersebut. Tujuan utamanya adalah memberikan tantangan kepada murid-muridnya untuk bisa menciptakan sesuatu dari batik.

"Kami tidak masalah dengan itu. Kecewa sih ada, tapi kami lebih kecewa karena banyak penggemar Gaga di sini yang gagal melihat langsung idolanya. Kalau soal desain, kami memang membuat itu untuk tugas. Untungnya, kami sudah memamerkan rancangan kami," jelasnya. (*/c2/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Esther Gayatri Saleh, Test Pilot Perempuan Satu-satunya di Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler