Esther Gayatri Saleh, Test Pilot Perempuan Satu-satunya di Indonesia

Bangga Jadi Penerbang yang Belajar secara Otodidak

Jumat, 08 Juni 2012 – 08:08 WIB
Esther G. Saleh (tiga dari kanan) bersama bersama bebeberapa pilot Korea, di depan pesawat CN-235. Foto: Dokumen pribadi for Jawa Pos

Meski "hanya" pilot uji coba, Esther Gayatri Saleh masuk segelintir sopir pesawat terbang perempuan di Indonesia. Profesi itu sama dengan yang digeluti Alexander Yablontsev, pilot pesawat Sukhoi Superjet 100 asal Rusia yang menabrak Gunung Salak beberapa waktu lalu.
 
  DIAN WAHYUDI, Jakarta
 
"WUA ... Flight up! Flight up! Gear up!" Riuh terdengar di dalam kokpit pesawat CN-235. Salah satu pesawat yang diproduksi PT Dirgantara Indonesia sekitar pertengahan 1980-an itu turun tak terkendali dari ketinggian 10.000 kaki atau sekitar 3.330 meter di atas Kota Bandung.
 
Burung besi tersebut terus bergerak deras ke bawah membentuk pola seperti spiral. Jarak dengan tanah pun semakin dekat dalam hitungan detik. Namun, beruntung, ketika berada di ketinggian 5.000 kaki, pesawat kembali bisa dikuasai.
 
"Aduh, kenapa aku bisa ada di sini?" kenang Kapten Esther Gayatri Saleh mengulang kalimat pertama yang keluar dari mulutnya sesaat ketika pesawat yang dipiloti berhasil recovery saat itu. Kenangan itu diungkapkan Esther kepada Jawa Pos yang menemui di kantor PT DI pada Selasa lalu (5/6).
 
Pesawat CN-235 pesanan militer itu sedang menjalani uji terbang. Materinya adalah pada ketinggian tertentu satu mesinnya sengaja dimatikan. Bersamaan dengan itu, moncong pesawat diangkat penuh ke atas hingga tidak punya kemampuan lagi untuk naik.
 
Nah, skenario awalnya, sesaat setelah mencapai ketinggian puncak dan pesawat mulai turun dengan sendirinya, mesin yang awalnya dimatikan kembali dihidupkan. Namun, yang terjadi saat itu mesin tidak segera hidup lagi.
 
Setelah melakukan post briefing untuk mengetahui dan mencari solusi atas persoalan yang terjadi, dua hari kemudian Esther kembali terbang untuk mengulang prosedur uji coba yang dikenal di dunia penerbangan dengan single engine stall tersebut. "Eh, sebulan kemudian ternyata prosedur tes itu dicabut karena dianggap terlalu berbahaya. Kesal juga sih," kata dia, lantas tertawa. 
 
Pada penerbangan yang juga membuat deg-degan rekan-rekannya di PT DI itu, test pilot perempuan kelahiran Palembang, 3 September 1962, tersebut tidak sendiri. Dia bersama pilot uji PT DI lainnya, Erwin Danuwinata. Namun, nasib Erwin nahas. Dalam uji dropping pesawat CN-235 versi militer, dia meninggal. Pesawat yang dipilotinya mengalami kecelakaan dan jatuh di Lapangan Udara Gorda, Serang, Jawa Barat, pada 22 Mei 1997.
 
Tewasnya sejumlah test pilot saat uji terbang mengakibatkan jumlah mereka di PT DI semakin sedikit. Dari 15 orang pilot uji pada 1985, yang tersisa sekarang tiga orang, termasuk Esther. Esther bukan saja satu-satunya test pilot perempuan di Indonesia, tapi juga menjadi satu-satunya di Asia hingga kini.
 
Berbeda dengan pilot operator biasa, test pilot memiliki komunitas tersendiri. Tugas yang mereka jalani lebih kompleks. Mereka tidak hanya terbang dalam uji perdana ketika pesawat baru selesai dibuat. Namun, pilot uji juga sudah ikut terlibat dalam proses awal produksi pesawat. Yaitu, saat pembuatan desain.
 
Dalam proses rancang bangun pun, para test pilot juga ikut terlibat. Misalnya, saat menentukan letak circuit breaker (sekring), navigasi, atau peralatan lainnya, masukan para pilot uji sangat menentukan. "Terlibat langsung sejak awal itulah yang memunculkan confidence level saat pertama pesawat kami terbangkan. Sebaik-baiknya pesawat dibuat di bawah, setelah di atas akan terjadi perubahan-perubahan aerodinamis. Maka, selalu akan ada perbaikan," imbuh Esther.
 
Karena itulah, seorang test pilot juga dituntut untuk memiliki pemahaman lebih terhadap pesawat. Bukan hanya kemampuan menerbangkan pesawat dengan baik, tapi juga dituntut untuk memiliki pemahaman mendalam tentang detail jeroan pesawat yang akan diuji terbang.
 
Secara risiko kecelakaan, seorang test pilot tentu menanggung paling besar jika dibandingkan dengan yang lain. "Jumlah orang seperti kami di dunia tidak terlalu banyak. Selain pelatihannya mahal, mencapainya tidak mudah," tandas anak ketiga di antara empat bersaudara yang semua perempuan dari pasangan John Sarodja Saleh dan (alm) Sylvia Avialotta itu.
 
Menurut Esther, perjalanan untuk menjadi seorang test pilot juga tidak gampang. Pada sekitar 1981, setelah lulus SMA, Esther yang memang bercita-cita ingin menjadi pilot mendaftar ke Sekolah Penerbang Curug. Namun, dia ditolak karena latar belakang pendidikannya dari jurusan IPS. Selain itu, tinggi badannya kurang memenuhi syarat. Esther hanya memiliki tinggi 156 cm. "Saya tidak menyerah meski orang tua memaksa saya melanjutkan kuliah hukum," bebernya.
 
Lantaran keukeuh-nya pendirian Esther yang ingin menjadi pilot, ayahnya membawa dia ke psikolog. Apalagi, saat itu Esther ngotot minta disekolahkan di pendidikan pilot Sawyer School of Aviation, Phoenix, Amerika Serikat.
 
"Saya dengar Bapak memarahi psikolog yang ternyata justru mendukung niat saya. Bapak bilang bahwa si psikolog telah kena pengaruh saya," kisahnya, lantas tersenyum.
 
Pada 1982, Esther akhirnya berangkat ke Negeri Paman Sam untuk menempuh pendidikan pilot. Meski begitu, jalan yang harus dilaluinya juga tidak mudah. Biaya pendidikan yang mahal di satu sisi karena setiap terbang harus membayar dan sering telatnya kiriman uang dari orang tua di sisi lain membuat Esther harus mencari penghasilan sendiri selama di AS. Dia pun rela menjadi babysitter, tukang cuci piring di rumah makan, hingga menjadi kuli di proyek pembangunan gedung.
 
"Aduk semen atau menata bata menjadi tembok juga pernah saya lakukan. Intinya, apa pun akan saya lakukan demi cita-cita. Pokoknya, I have to go home with wing," katanya.
 
Tekadnya yang besar akhirnya membuat Esther mampu merampungkan sekolah dalam waktu satu setengah tahun. Pada 1984, dia pulang ke tanah air. "Tapi, tantangan tidak berhenti sampai di situ," lanjutnya.
 
Tantangan pertama adalah dia harus mengonversi liaison yang didapatnya dari pendidikan pilot di Amerika Serikat untuk Indonesia. Dia sempat ditolak karena latar belakang pendidikan SMAnya jurusan IPS.
 
"Beruntung dapat jalan keluar. Saya mendapat rekomendasi dari menteri perhubungan saat itu setelah saya temui dan memberikan penjelasan," bebernya.
 
Rekomendasi itu ternyata belum mampu meyakinkan perusahaan-perusahaan penerbangan yang dilamarnya. Kebanyakan mereka sulit menerima Esther yang perempuan menjadi bagian dari kru penerbang mereka.
 
Di tengah kekecewaan yang terus diterimanya, datanglah ide brilian di benaknya. Esther nekat menulis surat kepada B.J. Habibie yang saat itu menjadi orang nomor satu di IPTN "kini berganti nama menjadi PT DI. Tak disangka, teknokrat yang mantan presiden itu menerima curhat Esther. "Beliau melihat jauh ke depan. Di mata beliau, profesi tidak bisa dibeda-bedakan berdasar gender," katanya.
 
Meski akhirnya berhasil mewujudkan keinginan menjadi pilot di PT DI, tantangan yang dihadapi Esther memasuki dunia laki-laki itu terus berlanjut. Dalam sejumlah kesempatan menempuh pendidikan, dia tidak pernah mendapatkannya. Termasuk saat rekan-rekan sesama pilot dikirim belajar ke luar negeri untuk mendapat sertifikat experimental test pilot. Tahap itu dianggap sebagai tahap tertinggi seorang test pilot.
 
"Diskriminasi (saat itu) tetap ada. Tapi, saya tetap bertahan dan bersemangat. Prinsip saya, ombak besar akan membuat pelaut menjadi lebih kuat," ujar perempuan yang tetap lincah dalam usianya yang sudah setengah baya itu.
 
Meski tidak dikirim belajar ke luar negeri, Esther tidak menyerah. Dia memilih belajar secara otodidak. Dari temannya yang pernah menempuh pendidikan tersebut, dia mendapat pinjaman buku-buku ajar tentang menjadi experimental test pilot. Setelah ilmunya dianggap cukup, dia memutuskan untuk mendaftar sendiri ujian persamaan sertifikasi itu.
 
"Saya hanya punya waktu beberapa minggu untuk melahap buku-buku tebal yang akan diujikan dalam ujian sertifikasi itu," katanya.
 
Kerja keras dan tekad yang kuat Esther berbuah manis. Dia dinyatakan lulus. "Beberapa teman yang dikirim belajar malah harus mengulang (ujian, Red). Bisa dikatakan saya ini test pilot otodidak," ujarnya, lantas  menunjuk contoh Chuck Yeager, test pilot kenamaan yang belajar secara otodidak. Warga Amerika Serikat itu tercatat sebagai pilot pertama yang menerbangkan pesawat yang melebihi kecepatan suara.
 
"Terus terang, saya terus bersyukur, sekarang sudah banyak pilot perempuan di Indonesia. Memang harus ada yang memulai, harus ada yang menjadi pionir," tandas dia. (*/c4/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ribut Waidi; Legenda Sepak Bola Asal Semarang Itu Telah Tiada


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler