jpnn.com, JAKARTA - Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim memberikan kewenangan lebih besar kepada kepala sekolah (kepsek) untuk mengelola satuan pendidikan yang dipimpinnya. Maju tidaknya sekolah tergantung kreativitas kepsek.
Yunitha May Atanumba, kepala SD Negeri Padengi Iwi, Sumba Timur menceritakan bagaimana mengelola sekolah hingga ramah anak, menyenangkan, dan berkualitas.
BACA JUGA: 7.890 Guru Penggerak Resmi Dilantik, Calon Kepsek & Pengawas SekolahÂ
Saat masih memimpin SD Masehi Mbatakapidu, Yunitha menghadirkan pembelajaran bermakna sesuai kebutuhan siswa melalui berbagi kebijakan yang diambil sebagai kepala sekolah, seperti melaksanakan Kelompok Kerja Guru (KKG) mandiri dengan konten numerasi, menghadirkan perpustakaan ramah anak di sekolah.
Kemudian, menyulap seluruh kelas menjadi kelas literat, serta mengalokasikan dana BOS secara maksimal untuk peningkatan kualitas pembelajaran dan mutu hasilnya.
BACA JUGA: Sudah 30 Guru Penggerak di Bandar Lampung Diangkat jadi Kepsek & Pengawas Sekolah
Saat ini, Bu Yunitha, sapaannya tidak lagi memimpin SD Masehi Mbatakapidu dan dipindahkan ke SD Negeri Padengi Iwi yang juga merupakan Sekolah Penggerak.
Meski demikian, SD Negeri Padengi Iwi memiliki berbagai tantangan karena berada di daerah terisolir meski masih masuk dalam wilayah administrasi Kota Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur.
BACA JUGA: 7.948 Guru Penggerak Siap-Siap Diangkat jadi Kepsek & Pengawas, Kemendikbudristek Beri PenjelasanÂ
"Untuk mencapai SD ini saya harus jalan kaki berjam-jam karena kendaraan tidak dapat mencapai sekolah," kata Bu Yunitha kepada JPNN.com, Kamis (22/6).
Banyak suka duka yang dialaminya saat memimpin SD Negeri Padengi Iwi selama 4 bulan terakhir ini setelah dimutasi pada akhir Januari 2023. Tidak ada akses jalan yang memadai untuk sampai ke sekolah.
Dia harus menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam baru tiba di sekolah. Itu pun harus berjalan kaki sekitar 9 Km. Di sekolah juga tidak ada instalasi listrik maupun jaringan internet.
"Sebagai kepala sekolah penggerak saya kesulitan sekali untuk pergi pulang saat ke sekolah dengan cepat karena harus mengikuti pendampingan terkait program sekolah penggerak secara daring ataupun luring di kota kabupaten," terangnya.
Sebagai seorang fasilitator daerah, dia harus mendampingi sekolah dan guru-guru dalam kegiatan KKG serta mengimplementasikan hasil KKG di sekolah.
Ini menjadi tantangan dan pergumulan instruktur nasional Program Guru Pembelajar itu, apalagi kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk pergi pulang dengan kondisi jalan rusak.
Diceritakannya sebelum diberi tugas tambahan menjadi pelaksana tugas kepala sekolah, dia adalah guru kelas yang mengajar siswa kelas 6 di SD Masehi Lumbumenggit, Kecamatan Kambera selama kurang lebih 2 tahun.
Bagi Bu Yunitha, memimpin sekolah negeri dan memimpin sekolah swasta dalam hal ini SD Masehi Mbatakapidu tidak jauh berbeda. Semua tergantung pribadi masing-masing, bagaimana motivasi dan niat dalam bekerja dan melakukan tugas.
"SD Masehi Mbatakapidu memang sekolah swasta, tetapi semua dana yang diterima sekolah berasal dari pemerintah berupa dana BOS. Siswa juga tidak membayar uang sekolah," tuturnya.
Dia membeberkan bagaimana penggunaan dana BOS di SD Masehi dan SD Negeri Padengi lwi. Penggunaan dana BOS di dua sekolah tersebut relatif sama. Sebagian (50%) dari dana BOS digunakan untuk membiayai tenaga honorer sekolah, baik guru maupun tenaga kependidikan.(tendik).
Ini terjadi karena terbatasnya jumlah guru dan tenaga kependidikan di sekolah. Dana yang digunakan untuk operasional sekolah hanya 50%. Mulai dari menyediakan bahan habis pakai untuk operasional sekolah dan bahan membuat media pembelajaran bagi guru.
Menyiapkan dana KKG mini sekolah untuk peningkatan kompetensi guru dan peningkatan kualitas pembelajaran, menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan mendukung siswa mengembangkan kompetensinya.
"Pada dasarnya, dengan dana BOS yang minim itu, kami berusaha menggunakan seefektif mungkin untuk operasional sekolah, pembiayaan tenaga honorer, dan peningkatan kompetensi guru, serta peningkatan kualitas pembelajaran," beber finalis Ki Hadjar Dewantara Award 2018.
Bu Yunitha mengungkapkan target besarnya dalam meningkatkan angka literasi dan numerasi siswa. Pertama, guru wajib melakukan assesmen awal pembelajaran dan mengelompokkan siswa sesuai kemampuan dan kebutuhan belajarnya.
Kedua, guru wajib memiliki profil belajar siswa terkait karakteristik siswa, gambaran kondisi keluarga, minat dan gaya belajar siswa melalui assesmen diagnostik non kognitif.
Ketiga, kepala sekolah akan mendampingi guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran differensiasi di kelasnya masing-masing dengan menerapkan strategi pembelajaran literasi dan numerasi yang dapat membantu mengembangkan kemampuan literasi numerasi siswa.
Keempat sekolah akan menyediakan semua kebutuhan terkait alat dan bahan yang dibutuhkan guru untuk membuat media pembelajaran. Kelima sekolah akan mengalokasikan anggaran untuk kegiatan KKG di tingkat sekolah maupun komunitas untuk meningkatkan kompetensi guru.
"Mimpi saya saat ini sekolah bisa menyediakan lingkungan belajar yang efektif bagi siswa untuk belajar seperti menghadirkan perpustakaan sekolah walaupun ruangannya masih bersama ruang guru yang disekat, membuat kelas literat dan pojok literasi di setiap kelas," pungkas Yunitha May Atanumba. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad