Ketika tiba di Melbourne Februari lalu, Emanuel Limbongan asal Tanjung Pinang dari Kepulauan Riau tidak sabar untuk memulai studi di luar negeri.

Namun sebulan kemudian, Pemerintah Victoria mengumumkan status 'state of emergency' yang membatasi pergerakan warganya di tengah pandemi.

BACA JUGA: Alasan Sejumlah Perempuan Kristen Amerika Tidak Mendukung Donald Trump

Keputusan yang mengejutkan Emanuel, mahasiswa S1 jurusan Bisnis dan Manajemen Hotel di The Hotel School Melbourne yang baru saja mulai beradaptasi dengan kehidupan barunya.

"Depressed [depresi] sih, jujur, apalagi orang bilang 'kasihan ya, sampai sini sudah lockdown', saya memikirkan financial [keuangan] juga, apalagi sekarang papa saya tidak kerja," kata Emanuel.

BACA JUGA: Lima Hari Berturut-turut di Melbourne Tanpa Kasus Corona, Apa Selanjutnya?

"Saya memiliki ekspektasi waktu ke Melbourne, tapi saya tidak akan dapat ekspektasi itu dan tidak mungkin dipaksakan ... kalau dipaksakan, pasti akan depresi, stress, dan sedih terus."

Karenanya, Emanuel mengaku mulai memfokuskan dirinya pada hal yang positif, termasuk saat harus menjalani kuliah secara online.

BACA JUGA: Burger King Minta Pelanggannya Pesan Makanan dari McDonald’s, Begini Alasannya

"Belajar online itu tidak seburuk itu sebenarnya. Saya suka karena bisa 'private lecture' bersama dosen saya," kata Emanuel yang mengaku sering mengajukan banyak pertanyaan di kelas. Photo: Ketika menginjakkan kakinya di Melbourne Februari lalu, Emanuel tidak mengira kuliahnya akan berubah menjadi online hingga berbulan-bulan. (Supplied)

 

"Misalnya, di satu kelas ada 50-60 orang, mereka [murid] tidak mau menyalakan mic, ya sudah akhirnya saya berbicara berdua saja dengan guru. Lebih enak justru, dan jelas." ''Lockdown' menghantam kesehatan mental saya' Photo: Audi Tangkudung mengatakan lockdown sempat menghantam kesehatan mentalnya. (Supplied)

 

Serupa dengan Emanuel, Audi Tangkudung juga terpaksa mengubur harapannya soal belajar di luar negeri yang ia bayangkan sebelumnya.

"Kehidupan kampus yang seutuhnya, seperti ngerjain tugas di lawn [halaman rumput], atau kenalan dan janjian sama teman-teman di kampus, sudah jelas tidak bisa saya alami selama tujuh bulan terakhir," katanya.

Meski sempat mengalami kuliah tatap muka selama tiga minggu, Audi, mahasiswa S2 Pemasaran dan Komunikasi di University of Melbourne, kemudian harus menjalankan kuliah online.

Audi mengaku, kondisi 'lockdown' yang harus ia lalui telah mempengaruhi juga kondisi mentalnya.

"Saya masih bisa menjalani dan oke saja dengan [metode] belajar online, tapi berada dalam situasi lockdown telah menghantam kesehatan mental saya," kata Audi.

"Ini bukan kayak ingin bunuh diri atau ingin menyakiti diri sendiri ya, tapi saya rasanya disfungsi, mau coba baca atau mengerjakan tugas, enggak bisa karena nggak berfungsi aja. Mau dipaksa juga tetap enggak bisa," tambahnya.

Tapi masa-masa itu berhasil dilalui Audi berkat layanan konseling untuk pelajar internasional yang diaksesnya.

Tujuh bulan kemudian, Audi bukan saja mengatasi kondisi kesehatan mentalnya, tapi juga berhasil menyelesaikan dua semester perkuliahan di Melbourne dengan baik.

"Melihat kembali apa yang sudah saya lewati, bisa mengatasi kondisi dan situasi itu semua adalah kemenangan besar untuk saya," ujar pria asal Jakarta ini. Mengacaukan rencana untuk tahun 2020 Photo: Nicole sudah berencana untuk mencari pengalaman magang dan bekerja paruh waktu di tahun 2020. Namun, semuanya batal karena 'lockdown' di Melbourne. (Supplied)

 

Nicole Kusuma asal Makassar merasa cukup beruntung karena paling tidak sudah menyesuaikan diri selama delapan bulan sebelum 'lockdown' diberlakukan di Melbourne.

Namun, pandemi tetap mengacaukan sederet rencana yang sudah mahasiswi S1 Teknik Sipil RMIT University tersebut pikirkan untuk tahun 2020.

"Pikirnya tahun 2020 itu ingin melakukan lebih banyak roadtrip dan awalnya juga ingin mencari pekerjaan part-time," kata Nicole yang mengaku belum mencoba banyak hal di semester pertama.

"Awalnya juga mau magang, karena mau masuk tahun kedua, dan untuk jurusan Engineering, magang lumayan dibutuhkan."

Bagi Nicole yang akan menyelesaikan studinya di tahun 2023 nanti, kelas online juga menghambat motivasinya untuk belajar.

"Saya jadi malas nonton lecture [kelas pengajaran], karena tidak ada jadwal tetap dan RMIT tidak terlalu [mementingkan] absen. Jadi kami menonton sesuai [jadwal] kami saja," katanya. Pelajar Indonesia sambut pembukaan kembali Melbourne

Kabar bahwa Melbourne telah melonggarkan kembali aturan sejak minggu lalu telah menghidupkan kembali semangat dalam diri ketiga pelajar asal Indonesia ini.

"Senang sih, paling tidak bisa jalan-jalan ke luar. Sebelumnya mau makan di tempat tapi tidak bisa 'dine-in' juga kan. Jadi pulang lagi. Window shopping juga tidak bisa," kata Nicole.

Emanuel di sisi lain tidak sabar untuk mulai mengejar ekspektasinya ketika menginjakkan kaki di Melbourne.

"Hal yang bakal saya lakukan ya bertemu kembali dengan manusia, ikut beberapa organisasi yang ada di sini, dan pastinya 'hunting ' pekerjaan untuk menambah pengalaman," ujarnya semangat. Photo: Sejak minggu lalu, Melbourne sudah melonggarkan beberapa aturan sehingga kebanyakan bisnis sudah bisa kembali beroperasi. (ABC News: Nicole Asher)

 

Berbeda dengan Nicole dan Emanuel, Audi "menghadiahi dirinya sendiri" dengan berbelanja di Collins Street.

Audi yang masih punya sekitar setengah tahun lagi untuk belajar di Australia berharap bisa mendapatkan pengalaman kuliah yang 'normal'.

"Tetapi satu hal yang sangat ingin saya rasakan lebih dari segalanya adalah mengalami wisuda yang proper [semestinya]," kata Audi.

"Ketika akhirnya nanti sudah berhasil mendapat gelar, [wisuda] ini adalah semacam perayaan dan pengakuan untuk saya, yang berhasil melalui tahun dan masa-masa yang sulit ini," ucapnya.

Ikuti berita seputar komunitas Indonesia dan pandemi Australia lainnya di ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pangeran William Terkena COVID-19 di Bulan April, Melbourne Tiga Hari Tanpa Kasus

Berita Terkait