jpnn.com - Ketika gempa Lombok terjadi, Minggu (29/7), ratusan pendaki tengah asyik menikmati indahnya alam Gunung Rinjani. Mereka pun terjebak di puncak gunung yang masih aktif itu. Berikut cerita para pendaki yang akhirnya sukses dievakuasi.
SAHRUL YUNIZAR, Lombok Timur
BACA JUGA: Relawan Jokowi Kompak Bantu Korban Gempa Lombok
MINGGU pagi (29/7) M. Barep Gandaria belum lama bangun dari tidur. Dia kemudian menyeduh air, membuat kopi ke dalam cangkir sambil menahan pening kepala. Bagi pemuda yang akrab dipanggil Em itu, minum kopi adalah cara terbaik menghangatkan tubuh.
Apalagi, saat itu dia tengah berada di sekitar bibir kaldera Gunung Rinjani, Danau Segara Anak. Hawa dingin menusuk tulangnya.
BACA JUGA: 8 Cara Selamatkan Diri dari Gempa Susulan
Namun, belum habis kopinya, Em dibuat kaget. Gempa cukup keras mengguncang tanah yang dia injak. Tubuhnya limbung. Tanah bergetar. Bahkan, tebing-tebing di sekitar Sagara Anak longsor.
’’Mengerikan. Gempanya sangat kuat. Saya hampir jatuh,’’ ujar Em menceritakan pengalaman yang tak terlupakan berada di Gunung Rinjani saat gempa hebat melanda Pulau Lombok, NTB, itu.
BACA JUGA: Pupuk Indonesia Salurkan Bantuan Gempa di Lombok
Selasa (31/7) Em ditemui Jawa Pos di base camp pendaki di Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur. Base camp itu terletak di dekat kantor Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), pintu masuk jalur pendakian dari Sembalun.
’’Saat itu pandangan saya langsung tertuju ke jalur pendakian ke puncak Rinjani. Sebab, teman-teman saya muncak (menuju ke puncak, Red). Saya tidak ikut naik karena kepala saya pusing,’’ tuturnya.
Em mengaku panik dan khawatir bukan main melihat dari kejauhan longsoran bebatuan di jalur pendakian yang dilintasi teman-temannya dari Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), Bandung. Sadar dalam kondisi terancam, Em lantas membereskan semua perlengkapan pendakian, kemudian menunggu teman-temannya turun.
Selama menunggu, dia terus berdoa. Sebab, gempa susulan terus terjadi. Berkali-kali. ’’Tubuh saya seperti dilempar ke sana kemari,” ucap mahasiswa semester lima itu.
Yang dia pikirkan saat itu bisa segera berkumpul dengan tiga temannya dari Bandung, kemudian turun. Kembali ke Sembalun. Maka, begitu teman-temannya berhasil turun dari jalur ke puncak, Em dan kawan-kawan langsung bergegas ke bawah.
Bagi Em yang sudah berkali-kali naik gunung, pengalaman mendaki disertai gempa yang cukup besar baru kali ini dia alami. Meski begitu, itu tidak membuatnya kapok untuk mendaki Rinjani lagi.
’’Soalnya, saya belum sampai puncak. Mungkin tahun depan saya ke sini lagi,’’ tuturnya.
Pengalaman yang tidak jauh berbeda dirasakan Kapusdiklat LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) Suharti. Dia mendaki ditemani 2 staf, 2 porter, dan 1 guide. Dia bermaksud berlibur di sela-sela tugas yang menguras pikiran.
Harti –begitu dia biasa dipanggil– mendaki gunung berketinggian 3.726 mdpl itu sejak Jumat (27/7). Dari Sembalun, dia menjelajahi jalur pendakian Rinjani hingga Danau Segara Anak, lalu turun lewat Senaru, jalur pendakian lain yang berada di Desa Bayan, Lombok Utara.
Rencananya, setelah menginap di Danau Segara Anak, Minggu (29/7) Harti sudah harus terbang ke Bali. ”Karena Senin pagi saya ada acara di Bali,” tuturnya.
Namun, apa daya, gempa tektonik yang mengguncang Lombok mengubah agenda acara Harti. Belum sempat turun, dia bersama rombongan malah terjebak di tengah perjalanan. Bahkan, Harti dan rombongan menjadi kelompok pendaki terakhir yang kemarin siang berhasil dievakuasi tim penyelamat gabungan. Itu pun tidak melalui jalur Sanaru seperti rencana semula, melainkan lewat jalur Sembalun.
Dramatisnya lagi, mereka harus dievakuasi dengan menggunakan helikopter karena jalur yang dilalui cukup berat bila lewat darat. Maka, dari rencana Harti mendaki selama tiga hari dua malam menjadi lima hari empat malam.
Bahkan, jalur yang dirasakannya tiga hari terakhir sangat berat. Tidak heran, begitu turun dari helikopter di lapangan base camp, Harti langsung sujud syukur.
Wajahnya masih terlihat pucat kelelahan. Tubuhnya lemas. Tapi, dia mengaku tidak apa-apa. ’’Saya kuat, saya kuat,” imbuhnya sambil menolak dipapah petugas.
Dari helikopter, Harti berjalan pelan menuju posko kesehatan. Tidak banyak yang keluar dari mulutnya. Tapi, begitu memandang Erlin Halimatussadiyah, stafnya yang ikut dalam pendakian, Harti langsung memeluk dengan erat. Keduanya juga menangis, terharu.
Erlin memang tampak shock. Dia tidak henti menangis. Setiap kali mengingat guncangan gempa yang dia rasakan, Erlin langsung menangis. Apalagi melihat para pendaki lain yang panik dan berteriak ketakutan. Erlin ikut histeris. ’’Dia (Erlin, Red) shock sekali,” ungkap Harti.
Sebelum gempa mengguncang, posisi rombongan Harti di sekitar Danau Segara Anak. ’’Kami habis foto-foto dan hendak turun ketika gempa terjadi,” kenang dia.
Belum jauh perjalanan turun lewat jalur Senaru, tiba-tiba bumi terguncang hebat. Harti cs tersentak, kaget bukan kepalang karena guncangannya sangat keras. Bahkan, mereka hampir berjatuhan.
Tidak hanya itu. Mereka juga dikejutkan oleh longsoran bebatuan yang menutup jalur pendakian Senaru yang akan mereka lewati. Sehingga tidak memungkinkan untuk dilalui. ”Batu berjatuhan, gelap sekali. Tubuh kami penuh debu,” jelasnya.
Beruntung, porter yang mendampingi mereka cekatan. Dia segera mengajak Harti berlindung di bebatuan besar yang ada di sekitar jalur. Lama sekali. Sampai rentetan gempa susulan yang terus terjadi benar-benar berhenti.
Harti dan rombongan kemudian pindah ke tempat yang lebih aman. Mereka memilih ke Batu Ceper sebagai persembunyian. Di sana mereka bertemu dengan para pendaki lain yang juga akan turun lewat Senaru. Tapi, tak lama kemudian, karena akses jalur Senaru putus, mereka diminta kembali ke Danau Segara Anak.
Saat itu pula muncul firasat dalam benak Harti. ”Mungkin kami akan bermalam lagi di Segara Anak,” kata dia.
Dia juga punya pikiran bakal tertahan lama di Rinjani. Maka, dia meminta stafnya untuk berhemat air. Pun demikian kepada porter dan guide. Bahkan, masak pun dia melarangnya. ”Karena kalau masak, air habis,” tuturnya.
Keputusan itu dia ambil dengan pertimbangan persediaan harus bisa dihemat sampai tiga hari ke depan. Karena itu, sejak gempa terjadi, Harti dan stafnya hanya minum seteguk air setiap kali haus. ”Karena kami nggak tahu berapa lama di sana,” kata dia.
Benar saja, akhirnya Harti harus menginap dua malam lagi di Segara Anak. Padahal, perbekalan mereka sudah hampir habis. Tinggal sedikit makanan dan air. Bahkan, yang membuat nyali mereka menciut, sejak Senin malam (30/7) tinggal rombongan Harti yang bermalam di Danau Segara Anak. Semua pendaki lainnya sudah turun.
Beruntung, kemarin pagi cuaca cerah. Gempa susulan sudah tidak lagi terjadi. Tim penyelamat bisa mendekat ke Segara Anak dengan menggunakan helikopter untuk mengevakuasi rombongan Harti.
Begitu memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, helikopter pun terbang menuju base camp penyelamatan. Dan, Harti dan kawan-kawan pun turun dari helikopter dengan selamat. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 1.090 Pendaki Gunung Rinjani Berhasil Dievakuasi
Redaktur : Tim Redaksi