Cerita Pentolan Alumni 212 soal Politisasi Agama di Era Jokowi

Selasa, 19 Februari 2019 – 16:25 WIB
Massa aksi reuni 212 di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Minggu. Foto: Elfany Kurniawan/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA) 212 Bernardus Abdul Jabbar mengatakan, politik dalam Islam merupakan keniscayaan yang merupakan sebagian dari ajaran agama Islam. Karena itu, antara agama dan politik tidak bisa dipisahkan.

"Rasulullah membangun kekuatan umat itu juga dengan politik. Jadi, salah besar kalau ada yang mengatakan, pisahkan antara agama dan politik. Tapi kalau menjadikan agama sebagai upaya politisasi, ini yang tidak dibenarkan," ujar Abdul Jabbar pada diskusi mengangkat tema 'Politisasi Agama Era Jokowi?' yang digelar Seknas Prabowo-Sandi di Jakarta, Selasa (19/2).

BACA JUGA: Respons Sandiaga soal Status Tersangka untuk Ketua Umum PA 212

BACA JUGA: Munajat 212 Bakal Digelar di Monas, Kapitra: Memangnya Mau Minta Hujan

Abdul Jabbar mencontohkan saat umat Islam beribadah harus menghadap ke kiblat, bukan menghadap ke kamera. "Ini ada yang politisasi kalau salat menghadap kamera. Bahkan ada imam cadangan. Ini tidak dibolehkan," ucapnya.

BACA JUGA: TKN Jokowi Tantang Kubu Prabowo Bedah Kasus Ketua PA 212 di Forum Resmi

Contoh lain, calon presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu disebut ditolak saat hendak melaksanakan salat Jumat di salah satu masjid di Semarang, karena dikhawatirkan bakal bermuatan politis.

Namun, kekhawatiran itu tak terbukti. Capres nomor urut 02 tetap melaksanakan salat Jumat di Masjid Agung Kauman, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (15/2) lalu.

BACA JUGA: Mabes Polri Beber Alasan Jerat Pentolan PA 212 Sebagai Tersangka

"Ketika Pak Prabowo mau salat Jumat ditolak, apakah ini bukan bagian politisasi agama? Jadi, mempolitisasi agama tidak dibenarkan dalam ajaran Islam," ucapnya.

BACA JUGA: Polda Jateng Beri Waktu Tiga Hari kepada Ketum PA 212

Abdul Jabbar kemudian bercerita pernah ditahan saat hendak ceramah di Cirebon, Jawa Barat beberapa waktu lalu. "Ketika ceramah belum saya lakukan, tiba-tiba digeruduk oleh dua ormas keagamaan di sana bersama sejumlah polisi. Ketika disidik saya tanya, saya salah apa? Saya hanya pembicara, diundang, dan berikan santunan," katanya.

Menurut Abdul Jabbar, penyidik ketika itu menyebut dirinya diduga melanggar undang-undang terkait ujaran kebencian.

"Saya tanya, undang-undang yang mana? Saya menantang, tunjukkan video saya ketika saya melanggar undang-undang tersebut. Masa saya belum ceramah sudah dituduh melanggar UU ITE, kan lucu. Ini cuma ada di rezim sekarang ini," katanya.

Lebih lanjut Abdul Jabbar juga menyebut kasus yang menjerat Ketua Umum PA 212 Slamet Ma'arif terkesan kriminalisasi ulama.

"Ini bagian dari kriminalasi ulama oleh rezim yang tidak suka dengan kami. Berapa banyak teman-teman kami lakukan pembelaan tapi mungkin ini ada pesanan, agar kantong-kantong umat Islam yang dikoordinir PA 212 akan hilang. Mereka gunakan cara-cara luar biasa," pungkas Abdul Jabbar.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ridwan Saidi: Kubu Jokowi Takut Kalah? 


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler