Cermati Persoalan Kebijakan Investasi, Senator Filep Dorong Adanya Politik Investasi Daerah

Rabu, 22 Mei 2024 – 08:55 WIB
Senator Filep Wamafma bersalaman dengan Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Pemberlakuan UU Cipta Kerja berikut Perppu telah membuka ruang peningkatan ekosistem investasi di Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari adanya kemudahan dalam perizinan berusaha berbasis risiko, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, penyederhanaan perizinan berusaha sektor, dan penyederhanaan persyaratan investasi lainnya.

BACA JUGA: Altcoin Buka Peluang Investasi yang Lebih Beragam Bagi Para Investor

Terkait dampak hukum UU dan Perppu ini, senator Filep Wamafma menyoroti sejumlah ketentuan Perppu Cipta Kerja yang bernuansa sentralistik lantaran mewajibkan penggunaan sistem perizinan berusaha secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.

Bahkan, terdapat sekitar 15 PP turunan dari Perppu Cipta Kerja yang berbicara tentang Perizinan dan Kegiatan Usaha Sektor.

BACA JUGA: Deklarasikan 4 Wilayah di Bali, Menteri AHY: Semoga Perkuat Semangat Investasi

“Di sektor lingkungan misalnya, hak akses masyarakat terhadap partisipasi dalam mengajukan keberatan dan penilaian AMDAL direduksi,” ungkap Filep kepada awak media, Senin (20/5/2024).

Lebih lanjut, Senator Filep, mengatakan dari sisi izin usaha, seharusnya disesuaikan dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), apabila RDTR belum tersedia di sebuah lokasi, pengusaha bisa saja mengajukan rencana tersebut kepada Pemerintah Pusat.

BACA JUGA: Bertemu CEO LG CNS di Seoul, Menko Airlangga Dorong Investasi Pengembangan Teknologi

Pemerintah Pusat akan memakai tata ruang wilayah nasional (RTRWN) dan tidak memakai RDTR sehingga berdampak pada perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup di daerah.

“Khusus untuk Proyek Strategis Nasional (PSN), Perppu Cipta Kerja mengatur secara khusus kemudahan-kemudahan perizinan tersebut. Kementerian tertentu bahkan memiliki kewenangan yang sangat luas, misalnya Kementerian Keuangan yang berwenang melakukan kegiatan pengelolaan aset dan menentukan calon mitra investasi, termasuk dalam menetapkan dan/atau menunjuk badan layanan umum, badan usaha milik negara, dan/atau badan hukum lainnya,” ujar Filep.

Dalam hal penggunaan sistem perizinan berusaha secara elektronik yang dikelola pemerintah pusat ini, menurut Senator Filep, Pemerintah Daerah tidak punya kuasa yang cukup kuat, apalagi dapat diberikan sanksi jika tidak taat terhadap ketentuan tersebut.

Sementara itu, daerah-daerah di Indonesia memiliki potensi investasi yang sangat besar dan memerlukan pengaturan kebijakan investasi yang cukup adil.

Filep lantas menyinggung Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang baru-baru ini menawarkan agar peluncuran roket Starship dapat dilakukan di Biak, Papua saat kedatangan Elon Musk ke Bali, 19 Mei 2024 kemarin.

Luhut menawarkan hal itu lantaran Biak berada di ekuator dimana biaya peluncuran dapat ditekan menjadi lebih murah.

Dalam konteks kemudahan perizinan investasi di daerah inilah, maka permintaan Luhut kepada Elon Musk menjadi masuk akal.

“Namun demikian, apakah hal ini adil bagi daerah, khususnya daerah dengan potensi investasi besar? Papua misalnya, dalam ritme kekayaan alam dengan potensi investasi yang sangat besar, Papua telah diberikan Otonomi Khusus (Otsus) melalui UU Nomor 2 Tahun 2021 yang mengubah UU Otsus sebelumnya. Kekayaan alam Papua jelas sangat melimpah dan memiliki potensi investasi yang sangat besar,” katanya.

Oleh sebab itu, penulis buku ‘Pengaturan Kebijakan Investasi dalam Rangka Perlindungan terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat di Provinsi Papua Barat itu mengungkapkan urgensi adanya Politik Investasi Daerah.

Menurut Filep, melalui pemberlakuan politik investasi ini, kebijakan yang diturunkan akan dapat memperhatikan potensi, kewenangan dan fiskal daerah hingga memperkuat otonomi daerah. Politik investasi daerah ini juga akan memitigasi nuansa sentralistik dalam penentuan investasi di daerah.

“Politik investasi daerah memberi ruang yang luas bagi daerah untuk mengambil kebijakan-kebijakan investasi yang menciptakan afirmasi bagi Sumber Daya Manusia (SDM) daerah, termasuk memegang kendali penuh atas SDA yang menjadi tulang punggung daerah,” ucap Filep.

Jika tidak ada pengaturan mengenai politik investasi daerah, maka akan terjadi keterkejutan pembangunan di daerah (development shock), sebagaimana yang sudah ditampilkan Pemerintah Pusat dengan PP Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang diikuti dengan berbagai Peraturan Menteri misalnya Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko Perekonomian) Nomor 9 Tahun 2022, dimana Pemerintah Pusat memiliki kewenangan yang sangat luas untuk menentukan wilayah-wilayah yang menjadi pusat dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Sebagai contoh, Filep kemudian membeberkan potensi investasi yang sangat besar di tanah Papua.

Di sektor pertambangan, Papua memberikan sumbangan yang sangat besar, misalnya di Paniai, terdapat penyebaran potensi bahan galian tambang seperti batu bara, yang endapannya ditemukan di Distrik Paniai Barat, Siriwo dan Distrik lainnya di Kabupaten Paniai.

Selanjutnya, emas ada di Distrik Sugapa, Agisipa, Homeyo, Aradide, Mbiandogo, Bogobaida, dan Paniai Barat.

Besi, ditemukan di Puncak Cartens dengan jumlah cadangan besi diperkirakan sebesar 4 persen dari tembaga dan perak.

Batu kapur, ditemukan di Distrik Paniai Timur dalam jutaan meter persegi, kemudian Pasir Kualin, terdapat di Distrik Paniai Barat.

“Belum lagi jika kita bicara tentang Freeport di Mimika, atau tentang Gas Alam di Bintuni, Papua Barat. Catatan dari dataindonesia.id menyebut bahwa Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 229.893,75 ha. Tambang emas tersebut tersebar di enam kabupaten, yakni Pegunungan Bintang, Keerom, Nabire, Dogiyai, Mimika dan Paniai,” kata Filep.

Tak hanya itu, kata Filep, dari aspek perkebunan dan kehutanan pun Papua sangat kaya.

Data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian merilis luasan perkebunan sawit di Papua pada 2020 mencapai 159,7 ribu hektare (ha) dan meningkat menjadi 162,2 ribu ha pada 2021.

Adapun luasannya bertambah 3 ribu ha dalam satu tahun. Sementara di Papua Barat luasan perkebunan sawit lebih kecil dibanding Papua yakni 51 ribu ha pada 2020.

Di 2021, luasannya mencapai dan 51,8 ribu ha. Semua ini belum termasuk sebaran kekayaan alam lainnya.

“Maka, saya pikir penting adanya ruang yang memperkuat kewenangan daerah, misalnya melalui politik investasi daerah ini,” pungkas Senator Filep.(fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler