Chairunnisa Amarta Kembangkan Hipnosis untuk Perawatan Gigi dan Mulut

Cabut Gigi Tak Sakit meski tanpa Bius

Kamis, 08 Maret 2012 – 07:07 WIB
Drg Chairunnisa Amarta ketika menangani salah satu pasiennya di tempat prakteknya, di Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan, Rabu (22/02/2012). Foto: M. Dinarsa Kurniawan/JAWA POS

Mengunjungi klinik gigi bisa sangat menakutkan bagi sebagian orang. Rasa sakit yang tertinggal setelah gigi dicabut atau suara bor gigi bisa sangat mengintimidasi. Metode hypnodontia yang dikembangkan drg Chairunnisa Amarta bisa menjadi solusi masalah tersebut.

M. DINARSA KURNIAWAN, Jakarta

KLINIK tempat drg Chairunnisa Amarta SpBM MNLP berpraktik di Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan, sungguh tak tampak seperti sebuah instalasi perawatan kesehatan. Harum aromaterapi tercium saat melangkah ke dalam lobi. Interiornya juga terlihat ceria dengan paduan warna pink dan putih di sekujur temboknya.
 
Bangku-bangku panjang tempat pasien menunggu giliran diperiksa yang jamak ditemui di sejumlah fasilitas kesehatan, seperti klinik, puskesmas, atau rumah sakit, tidak ditemui di sini. Gantinya adalah sofa berwarna merah muda yang empuk.
 
Menurut perempuan yang biasa disapa Irun itu, perubahan kesan tersebut adalah upaya dini untuk menghalau fobia si pasien. "Baru beberapa minggu direnovasi seperti ini. Banyak pasien yang suka dengan suasana baru ini. Malah ada yang bilang mirip room karaoke, tetapi tanpa cewek yang bisa dipangku," ujar perempuan kelahiran Takengon, Aceh Tengah, 20 April 1970, itu lantas terbahak. -
 
Perempuan yang juga mengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti (FKG Usakti) Jakarta?tersebut mengakui, bagi sebagian orang, datang ke dokter gigi adalah teror tersendiri terhadap batinnya. Sebelum giginya dicabut, dia merasa terintimidasi dengan suasana fasilitas kesehatan gigi yang biasanya berkesan dingin.
 
Nah, selain merombak konsep klinik gigi yang dianggap horor itu, Irun mengembangkan sebuah metode perawatan gigi tanpa rasa sakit, yang disebutnya sebagai hypnodontia atau teknik hipnosis dalam perawatan gigi dan mulut. Dia menjelaskan, gelombang otak yang dipancarkan pasien yang sedang dihipnosis berada antara gelombang alfa dan theta.
 
Pada kondisi itu, orang akan merasa seperti awal meditasi hingga meditasi mendalam. Saat tersadar dari hipnosis, otaknya memancarkan gelombang beta, yakni dalam kondisi sadar dan waspada. Ketika dihipnosis, pasien sadar, tetapi hanya dibuat tidak merasakan sakit sama sekali saat giginya ditangani. Bukan seperti di beberapa acara televisi, orang yang dihipnosis dibuat tertidur dan ngoceh tidak keruan.
 
Salah seorang yang memberikan kesaksian adalah Dani Kurniasari, staf di kliniknya. "Gigi saya dicabut dan gusinya dikuret karena ada tumor di bawahnya. Anehnya, saya tidak merasa sakit sama sekali selama proses. Setelahnya juga tidak sakit meski dilakukan tanpa bius," ungkapnya.
 
Irun kali pertama belajar hipnosis pada 2003. Saat itu dia masih belajar hipnosis secara umum. Motivasinya, membuat pasien yang datang kepadanya tidak merasa sakit, malah nyaman saat menjalani perawatan gigi. Saat itu dia belajar di Indonesian Board of Hypnosis. Kemudian, pada kurun waktu 2003-2005 dia lebih banyak belajar secara mandiri melalui buku maupun browsing di internet.
 
Awalnya, dia tidak percaya. Namun, setelah mempraktikkan ilmu kepada pembantunya, dia baru percaya sugesti itu bisa menjadi nyata bagi orang yang menerimanya. Kala itu dia memberikan sugesti, pembantunya seolah sedang dikejar-kejar sesosok makhluk menyeramkan dan dia berlari seperti Bionic Woman. "Saya sampai tertawa sendiri melihat pembantu saya waktu itu berlari di tempat dengan gaya slow motion khas Bionic Woman," kenangnya.
 
Setelah itu, dia kian bersemangat untuk memperdalam ilmunya dengan berkelana ke berbagai negara. Dia mendalami neuro-linguistic programming (NLP) di Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Dia berhasil mendapatkan master di bidang itu dari Society of NLP. Baru kemudian, dia lebih spesifik belajar medical and dental hypnotherapy. Bahkan, dia pernah belajar langsung kepada George Bien, seorang praktisi hipnoterapi internasional.
 
Kali pertama, Irun menangani masalah gigi mahasiswanya di Trisakti pada 2005. Saat itu dia melakukan operasi pada seorang mahasiswa yang gigi belakangnya terbenam dengan metode hypnodontia. Irun menuturkan, saat dibuka dan dicongkel, anak didiknya tersebut tidak merasakan sakit. Padahal, ketika itu tidak menggunakan anestesi. Ditambah lagi, saat itu Irun belum merasa percaya diri.
 
Saat menangani pasien dengan metode tersebut, dia selalu mengawali dengan membuka pembicaraan yang membuat pasien merasa nyaman. Menarik napas dan mengembuskannya perlahan sampai masuk dalam relaksasi yang sangat nyaman. Setelah itu, baru dia melakukan tindakan.
 
Rupanya, kabar Irun mengoperasi dengan metode hypnodontia tersebar dengan cepat. Dia pun mulai mendapatkan undangan untuk tampil pada serangkaian seminar yang diadakan organisasi profesi kedokteran, seperti PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
 
Saat memberikan materi hypnodontia itu, dia selalu show-off di depan kolega-koleganya sesama dokter. Alasannya, tanpa melakukan itu, mereka tidak akan percaya. Dia juga aktif memberikan pelatihan kepada dokter gigi-dokter gigi lain. Tujuannya, metode itu semakin memasyarakat sehingga mampu mengubah mindset masyarakat tentang dokter gigi. "Alumni pelatihan saya 635 orang. Tetapi, tidak sampai 4 persen yang berpraktik dengan metode yang sudah saya ajarkan kepada mereka," ucap spesialis bedah mulut itu.
 
Dia mengakui, memang tidak mudah membuat hypnodontia menjadi sebuah metode lazim penanganan masalah gigi dan mulut. Selain karena secara umum masyarakat belum sadar tentang pentingnya memeriksakan gigi secara reguler, banyak stigma negatif yang melekat pada hipnosis itu sendiri.
 
Irun menjelaskan, ada yang menganggap hipnosis sama dengan gendam atau mengandung ilmu hitam. Ada pula yang ogah datang karena takut rahasianya dibongkar ketika tidak sadar. Nah, untuk memberikan pengertian kepada masyarakat tentang hypnodontia maupun hipnosis secara umum, dia juga memberikan pelatihan kepada orang-orang umum di luar profesi dokter gigi.
 
Cara lain yang ditempuh istri Amarta Imron itu adalah menulis buku tentang hypnodontia. Buku yang sekaligus menandai debutnya sebagai seorang penulis tersebut diberi judul Hypnodontia Wawasan Baru Perawatan Gigi. Buku itu dirilis pada 9 Februari lalu.
 
Menulis buku sebenarnya adalah keinginan yang lama mengendap dan baru diwujudkannya pada akhir tahun lalu. Buku yang ditulis selama tiga bulan itu tuntas pada pengujung 2010. Tetapi, alih-alih memberikan tutorial tentang hypnodontia, dalam buku tersebut, ibu dua anak itu justru lebih banyak membagikan pengalamannya tentang menangani pasien dan memberikan banyak tip perawatan kesehatan gigi dan mulut.
 
Misalnya, saat dia merawat model papan atas Arzeti Bilbina yang merasa ketakutan saat mendengar suara bor. Menurut dokter gigi yang tengah menempuh pendidikan doktoral di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKI UI) tersebut, bukunya mendapat tanggapan bagus.

"Cetak pertama 6.000 eksemplar, sekarang sudah mau cetak ulang. Saat ini saya juga sedang mempersiapkan buku kedua dan ketiga yang masih seputar kedokteran gigi dan hipnosis," bebernya. (c7/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Curhat Pasien Kanker di Fuda Cancer Hospital, Guangzhou, Tiongkok


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler