jpnn.com - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menyoroti arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang akan memberikan amnesti atau pengampunan terhadap 44 ribu narapidana berbagai kasus.
Menurut Chandra beberapa hari yang lalu Ketua IKAMI (Ikatan Advokat Muslim Indonesia) menyampaikan soal gagasan untuk membuat daftar 'tahanan politik' untuk diberikan kepada pemerintah agar masuk ke dalam daftar amnesti.
BACA JUGA: Puluhan Ribu Napi Bakal Dapat Amnesti, Syahganda Ingatkan Presiden
Hal itu sebagai respons atas rencana pemerintahan Presiden Prabowo memberikan amnesti atau pengampunan terhadap narapidana yang jumlahnya sekitar 44 ribu orang.
Konon pemberian amnesti untuk mengatasi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) dan aspek kemanusiaan serta semangat rekonsiliasi.
BACA JUGA: Eks Staf Ahli DPD Laporkan Senator ke KPK
"Program amnesti tersebut sepatutnya juga menyentuh narapidana yang menjadi 'tahanan politik'," kata Chandra dalam keterangan tertulis, Jumat malam (20/12/2024).
Dia menjelaskan bahwa tahanan politik yang dimaksud adalah siapa pun yang mengkritisi kebijakan pemerintah, institusi atau lembaga negara yang kemudian ditangkap dan ditahan atas tuduhan menyebarkan berita bohong, kebencian, pencemaran nama baik, tuduhan anti pemerintah, tuduhan gagasan yang mengancam ideologi negara dll.
BACA JUGA: Dilaporkan Eks Staf Ahli DPD ke KPK, Senator Rafiq Al Amri: Apa-apaan ini?
"Tahanan politik adalah seseorang yang ditahan baik di rumah, rumah tahanan, Lapas, atau tempat pembuangan karena memiliki ide-ide, gagasan atau pandangan yang dianggap menentang pemerintah atau dianggap membahayakan kekuasaan negara," tuturnya.
Bentuknya menurut Chandra, dapat pula berupa tahanan hati nurani, yaitu penghilangan kemerdekaan berbicara.
Hal itu dinilai Chandra sejalan dengan paparan yang pernah disampaikan Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat Diskusi & Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: "Melindungi Ruang, Menjaga Harapan" yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Dalam forum itu, Atnike menyatakan 'ancaman dalam konteks ekspresi politik, diskusi ilmiah, karya jurnalistik, pendapat di muka umum, dan kesaksian di pengadilan'.
"Kondisi ini, dinilainya membawa kekhawatiran di tengah masyarakat," kata Chandra.
Dia pun mengutip survei terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh Komnas HAM bersama Litbang Kompas di 34 provinsi pada 2020, yang menggambarkan kekhawatiran masyarakat ketika berpartisipasi di ruang publik.
Survei itu menyatakan 36 persen responden merasa tidak bebas menyampaikan ekspresi di media sosial, 66 persen khawatir akun atau data pribadi mereka diretas atau disalahgunakan.
Lalu, 29 persen responden menilai bahwa mengkritik pemerintah adalah isu paling tidak bebas untuk dinyatakan dan diekspresikan, serta 80 persen responden khawatir bahwa dalam keadaan darurat pemerintah dapat atau akan menyalahgunakan kewenangan untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
"Kami berharap pada pemerintahan Presiden Prabowo agar kebebasan berpendapat dan berserikat berkumpul di ruang publik tidak dibatasi," kata Chandra.(fat/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam