Cina dituduh mencoba untuk menghambat kesepakatan ‘anti-korupsi’ yang rencananya akan dibahas dalam pertemuan para pemimpin negara G20, yang diselenggarakan di Brisbane dua pekan mendatang.
Organisasi yang bergerak di bidang anti-korupsi ‘Transparency International’ mengatakan, pemerintah Cina menolak usulan tahapan yang akan mengungkap struktur kepemilikan perusahaan, yang dapat menyembunyikan tokoh sentral di balik perusahaan itu.
BACA JUGA: Foto Wisudawati Menyusui Anaknya Menjadi Populer di Facebook
Rancangan prinsip-prinsip kepemilikan ini sangat penting untuk menindak keras upaya korupsi global pada perusahaan fiktif dan yurisdiksi rahasia serta berbagai praktik gelap, yang memungkinkan individu untuk melakukan pencucian uang.
BACA JUGA: Garuda Food Jajaki Kacang dan Kedelai Australia
Advokat senior ‘Transparency International’ di G20, Maggie Murphy, mengatakan, veto China akan menggagalkan pemberlakuan kesepakatan anti-korupsi.
"Jika China tidak menandatangani rancangan itu, G20 mengutamakan konsensus dan mereka tak akan melanjutkannya, dan itu akan menjadi pukulan telak bagi inisiatif yang didukung Australia sejak awal ini," ujar Maggie kepada ABC.
BACA JUGA: Sedang Dikembangkan Aplikasi Telepon Untuk Lengkapi Tur ke Kuburan
Ia menambahkan, "Saat ini, dokumen tersebut telah disahkan pada beberapa tingkat yang berbeda dalam struktur G20. Apa yang kurang adalah persetujuan terakhir dari para pemimpin dunia dan tanpa itu, ini adalah pukulan telak bagi itikad politik yang baik.”
Keengganan China untuk menandatangani langkah-langkah anti-korupsi itu timbul di saat negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini menarget pejabat pemerintah, pemimpin militer dan pemimpin bisnis yang diduga terlibat dalam korupsi.
Maggie mengatakan, meski China lebih memilih untuk mengelola urusannya sendiri, upaya untuk menghambat kesepakatan anti-korupsi ini patut diperhatikan.
"China sendiri sedang mencoba untuk mendorong inisiatif anti-korupsi di dalam negeri dan benar-benar berusaha keras untuk menghentikan aliran uang keluar dari negaranya sendiri," jelasnya.
"Prinsip-prinsip kepemilikan ini akan menyulitkan seseorang untuk menyembunyikan identitasnya dan mengalihkan dana mereka ke luar negeri, dan itu berarti politisi yang berpotensi korup dan pejabat publik yang korup di dalam Cina sendiri,” tambahnya.
Dua minggu sebelum para pemimpin negara G20 tiba di Brisbane, penyelenggara pertemuan inipun terus bekerja keras agar pembahasan rancangan kesepakatan anti-korupsi tetap berlangsung.
"Mencapai konsensus di antara seluruh anggota G20 pada isu transparansi kepemilikan perusahaan adalah tujuan penting Australia sebagai tuan rumah G20," ujar juru bicara G20.
Ia lantas menuturkan, "Kami bekerja secara konstruktif dengan semua anggota G20 untuk mencapai hal ini. Bukan wewenang Australia untuk mengomentari setiap pandangan dari anggota G20. Keputusan apapun yang dihasilkan para pemimpin G20 seputar aturan transparansi kepemilikan perusahaan akan diumumkan pada akhir pertemuan di Brisbane."
Namun, seiring dengan matangnya persiapan pertemuan ini, Transparency International memprotes keputusan untuk melarang sebuah reklame, yang akan menyambut para pemimpin dan delegasi G20 di luar Bandara Brisbane.
Transparency International mengatakan, slogan reklame yang berbunyi "uang kotor tidak diterima di sini - G20, saatnya untuk bertindak" itu, dianggap terlalu politis untuk pertemuan G20.
Maggie Murphy tidak mengetahui siapa yang membuat keputusan itu tetapi mengatakan bahwa, hingga saat ini, Transparency International memiliki hubungan baik dengan pihak penyelenggara G20.
"Rasanya aneh kita tidak bisa mengkomunikasikan pesan anti-korupsi ini kepada warga. Dengan gerakan anti-korupsi dalam G20, kami berharap bahwa semua pemimpin dan partai politik akan memegang teguh pesan ini," ungkapnya.
Penyelenggara G20 untuk Pemerintah Australia tak mau memberi komentar apapun seputar keputusan memveto reklame kontroversial tersebut.
"Keputusan untuk menerima atau menolak konten reklame di Bandara Brisbane adalah urusan perusahaan periklanan yang memiliki lisensi untuk reklame tersebut dan juga pihak Bandara Brisbane," kata juru bicara penyelenggara G20.
Ia menyambung, "Ini bukanlah keputusan yang di dalamnya Pemerintah Australia ikut andil."
Lewat media sosial Twitter, pihak Bandara Brisbane mengaku bertanggung jawab atas pelarangan reklame tersebut.
"Setiap iklan / promosi yang memiliki agenda politik, terlepas dari organisasi; partai politik atau individu pembuatnya, adalah hal yang melanggar kebijakan kami," sebut status di Twitter itu.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Seharusnya Terima Lebih Banyak Pengungsi