jpnn.com, JAKARTA - Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto menilai Republik Rakyat China (RRC) akan mempercepat proyek modernisasi militer.
Hal ini ditandai dengan pidato Presiden Xi Jinping pada 16 Oktober lalu yang menyampaikan tekadnya untuk mempercepat proses transformasi militer.
BACA JUGA: Militer China Berulah di Pulau Pag-asa, Filipina Tidak Tinggal Diam
Xi Jinping ingin saat perayaan 100 tahun berdirinya Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) yang jatuh pada Agustus 2027, angkatan bersenjata China telah menjadi militer kelas dunia.
“Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, perlu mewaspadai peningkatan kekuatan militer RRC dalam lima tahun ke depan," kata Johanes Herlijanto di Jakarta, Jumat (25/11).
BACA JUGA: Kapal Rumah Sakit Militer China Berlayar Menuju Indonesia, Apa Misinya?
Menurut dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) ini, ambisi Presiden Xi Jinping makin besar setelah terpilih kembali sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC) untuk periode 2022-2027.
"Tekad Xi sangat mungkin terlaksana mengingat perkembangan militer China akhir-akhir ini terlihat sangat pesat, khususnya dalam hal modernisasi alutsista mereka," ujarnya.
BACA JUGA: Militer China Kembali Berulah, Australia Merasa Diintimidasi
Dia mencontohkan, kapal induk ketiga China, Fujian, baru saja diresmikan pada 22 Juni 2022.
Studi lembaga riset di Washington, pada September lalu memperkirakan pada akhir dasawarsa 2020-an, kekuatan angkatan laut China akan bertambah sebanyak 40 persen.
"Ini belum termasuk kekuatan-kekuatan lainnya," ungkap Johanes.
Johanes berpendapat bahwa Indonesia, perlu waspada terhadap peningkatan kekuatan militer yang disertai dengan penekanan komitmen untuk mempertahankan kedaulatan China di atas.
Kewaspadaan ini perlu karena sejak dasawarsa 1990-an, China secara sepihak memperkenalkan 9 garis putus-putus yang salah satunya menyasar ke sebagian dari wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia, dan menganggapnya sebagai wilayahnya.
“Meski klaim China terhadap sebagian dari perairan yang kini bernama Laut Natuna Utara itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), kita tetap harus waspada mengingat China nampaknya tetap berupaya mempertahankan klaim nya,” tuturnya.
Klaim China di atas dibarengi dengan manuver kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan China, yang seringkali mengganggu kapal-kapal nelayan Indonesia.
Pada 2021, media di Indonesia melaporkan hadirnya beberapa kapal perang China, antara lain berjenis Frigate dan Destroyer, di kawasan ZEE Indonesia di Natuna.
Kehadiran kapal perang China, bersama kapal survey dan kapal penjaga pantai, juga terlihat pada akhir tahun lalu, ketika China melakukan protes terhadap pengeboran lepas pantai yang dilakukan Indonesia dan perusahaan-perusahaan dari negara mitra di wilayah ZEE Indonesia.
Manufer-manufer di atas tentu tak selaras dengan semangat anti-hegemoni dan anti penggunaan kekuatan semena-mena yang pernah ditekankan oleh Presiden Xi dalam beberapa kesempatan.
Dampak lain yang menurut Johanes harus diwaspadai adalah meningkatnya ketegangan antara China dan Barat di wilayah Asia Pasifik, seiring dengan meningkatnya kekuatan militer China di atas.
“Meski China berkali kali menyampaikan penolakan terhadap ‘mentalitas perang dingin,’ penolakan ini nampaknya dialamatkan kepada negara-negara Barat, dan oleh karenanya justru berpotensi meningkatkan ketegangan antara mereka," tuturnya. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh