China Sewot Lihat Dalai Lama Dijamu di Amerika: Dia Separatis Bekedok Agama!

Jumat, 23 Agustus 2024 – 22:38 WIB
Dalai Lama. Foto: REUTERS

jpnn.com, BEIJING - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China mengecam pertemuan antara Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) untuk Keamanan Sipil, Demokrasi, dan HAM Uzra Zeya, dengan Dalai Lama ke-14 di New York.

"China dengan tegas menentang negara mana pun yang mengizinkan Dalai Lama melakukan kunjungan dengan dalih apa pun dan menentang pejabat pemerintah negara mana pun yang bertemu dengan Dalai Lama dalam bentuk apa pun," kata Mao Ning dalam konferensi pers di Beijing, Kamis.

BACA JUGA: Pakar Soroti Langkah China Layangkan Protes Keras ke Indonesia Buntut Kajian KADI Tidak Kredibel

Pada 21 Agustus 2024, Uzra Zeya bertemu dengan Dalai Lama ke-14 Tensin Gyatso yang tinggal di Dharamsala, India, karena melarikan diri dari ibu kota Tibet, Lhasa pada 1959 seusai kekalahan pemberontakan yang dipicu oleh gerakan revolusi anti-China dan anti-Komunis.

"Seperti yang diketahui banyak orang, Dalai Lama ke-14 bukanlah tokoh agama murni, apalagi tokoh anti-kekerasan dan perdamaian, dia diasingkan secara politik karena terlibat dalam kegiatan separatis anti-China dengan kedok agama," tambah Mao Ning.

BACA JUGA: BMAD Ubin Keramik Picu Retaliasi, Indonesia Berpotensi Kehilangan Surplus Perdagangan Rp 129 T dari China

Mao Ning menyebut pemerintah China telah mengajukan protes serius terhadap AS.

"Penunjukan apa yang disebut 'Koordinator Khusus AS untuk Masalah Tibet' juga merupakan campur tangan dalam urusan internal China. China tidak pernah mengakuinya," tegas Mao Ning.

BACA JUGA: Kebijakan BMAD Picu Risiko Besar China Lakukan Retaliasi Perdagangan Indonesia

Ia mendesak agar AS sepenuhnya memahami keseriusan dan sensitivitas isu-isu terkait Xizang (Tibet), menyadari sifat anti-China dan separatisme kelompok Dalai Lama, menghormati komitmen yang telah dibuat AS kepada China terkait isu-isu yang terkait dengan Xizang dan benar-benar menghormati kepentingan utama China.

"Selain itu kami meminta agar AS tidak mengizinkan Dalai Lama terlibat dalam aktivitas separatis politik di AS, tidak melakukan kontak dengan Dalai Lama dalam bentuk apa pun dan berhenti mengirimkan pesan yang salah kepada dunia," tambah Mao Ning.

Dalam pertemuan dengan Dalai Lama ke-14 tersebut, Uzra Zeya didampingi Asisten Khusus Presiden dan Direktur Senior Dewan Keamanan Nasional untuk Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Kelly Razzouk.

Uzra Zeya atas nama Presiden AS Joe Biden, menyampaikan harapan terbaik untuk kesehatan Dalai Lama dan menegaskan kembali komitmen AS untuk memajukan HAM warga Tibet dan mendukung upaya untuk melestarikan warisan sejarah, bahasa, budaya, dan agama mereka yang unik serta mendukung untuk dimulainya kembali dialog antara China dan Dalai Lama.

Dalai Lama ke-14 baru berusia 23 tahun ketika ia melarikan diri dari ibu kota Tibet, Lhasa, karena kekalahan pemberontakan yang dipicu oleh gerakan revolusi anti-China dan anti-Komunis pada 10 Maret 1959. Ia pun menjadi satu-satunya Dalai Lama yang mengunjungi dunia Barat.

Pada 1989, Dalai Lama ke-14 juga menerima penghargaan Nobel Perdamaian.

Pemerintah China menyebut Tibet sebagai Daerah Otonomi Xijang. "Tibet" sendiri mengakar pada nama "Tubo" yaitu rezim yang berkuasa pada abad ke-9 dengan wilayah terfragmentasi dari beberapa suku, pada abad ke-13, Dinasti Yuan menguasai wilayah tersebut.

Namun, pemerintah China mengatakan Dalai Lama ke-14 mengklaim bahwa kawasan "Tibet" mencakup Daerah Otonomi Xijang, Qinghai, serta sebagian Sichuan, Gansu, Yunnan, dan Xinjiang karena suku Tibet mendiami daerah-daerah tersebut sehingga pemerintah China pun menegaskan tidak pernah ada yang disebut "Tibet Besar" seperti yang diklaim oleh Dalai Lama.

Sebelumnya pada Januari 2024 saat Tinjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) badan HAM PBB, pemerintah China mendapat kritik pedas dari negara-negara Barat termasuk soal kekhawatiran atas dugaan upaya menghapus identitas budaya dan agama di Tibet, meski negara-negara lain memuji Beijing, termasuk Rusia dan Iran. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler