Yang dilakukan Dwi Cahyono, pengusaha Kota Malang, ini tergolong langka. Dia membangun museum pribadi tentang sejarah kota di ujung selatan Jawa Timur itu. Museum tersebut mulai dirintis 14 tahun lalu dan menghabiskan dana hingga Rp 1,5 miliar.
KURNIAWAN MUHAMMAD, Malang
DI Malang, nama Dwi Cahyono tak bisa dilepaskan dari sejarah kota itu. Dia sangat telaten mempelajari dan mengumpulkan benda-benda yang terkait dengan sejarah Kota Malang. Melalui Yayasan Inggil yang didirikannya, Dwi getol mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menapaktilasi sejarah.
Pria 46 tahun itu juga yang mengonsep acara tahunan Malang Tempo Doeloe (MTD) yang kini sudah yang ketujuh. Event di sepanjang Jalan Ijen, pusat Kota Malang, pada setiap Mei, tersebut selalu menyedot perhatian warga. MTD dimaksudkan untuk menjadikan sepanjang Jalan Ijen sebagai atmosfer pembelajaran pentingnya mengetahui masa lalu untuk membangun masa depan.
Ketika berbisnis rumah makan, anak kedua dari pasangan H Abdul Madjid dan Hj Nur Sriati (pemilik restoran Rawon Nguling, Probolinggo, Red) itu pun tidak lupa memberikan sentuhan sejarah. Ketika dia membuat rumah makan (RM) Cahaya Ningrat pada 1996, lulusan Universitas Merdeka Malang tersebut merelakan salah satu ruangnya untuk menampung benda-benda purbakala (cagar budaya).
"Saya prihatin ketika menyaksikan arca-arca peninggalan Kerajaan Majapahit rusak karena tak ada yang merawat. Karena itu, setelah mendapat izin dari Direktorat Peninggalan Sejarah dan Purbakala, arca-arca itu saya simpan untuk sementara di tempat usaha saya sampai benar-benar ada tempat khusus untuk menampungnya," jelas bapak empat anak tersebut.
Kala itu sebanyak 76 arca di-openi Dwi. Salah satu arca memiliki berat hingga 2 ton. Dwi rela mengeluarkan dana sekitar Rp 1,5 juta setiap bulan guna merawat benda-benda peninggalan sejarah masa silam tersebut. Tiga tahun kemudian arca-arca itu diboyong ke Kantor Balai Arkeologi Malang.
Aroma peninggalan sejarah juga dia torehkan di RM Inggil, usaha kuliner miliknya di Jalan Gajah Mada, Malang. Dia menyulap RM Inggil menjadi resto yang berkonsep museum. "Terserah orang mau menyebut museum resto atau resto museum," katanya.
Di rumah makan seluas kira-kira 800 meter persegi itu, Dwi menyimpan benda-benda kuno yang bisa dinikmati pengunjung. Ada radio, kamera, mesin ketik, contoh iklan dan surat kabar di era kolonial Belanda dan Jepang, serta foto-foto lama para pejuang. Mulai Bung Karno, Moh. Hatta, Sjahrir, hingga Bung Tomo.
"Hampir 90 persen warga Malang yang datang di sini tidak paham sejarah Kota Malang. Mereka justru baru paham setelah melihat koleksi barang-barang dan foto-foto di museum ini," ungkap suami Mar"atun Nafiah itu dengan bangga.
Museum pribadinya tersebut diberi nama Museum Malang Tempo Doeloe. Dwi mulai merintis dan melengkapi koleksinya pada 1998. Dia terobsesi memiliki museum pribadi karena ingin mengubah image museum sebagai tempat yang tidak menarik dan kuno.
"Museum tidak menarik karena kita tidak mampu mengemasnya dengan baik," tutur pria yang pernah mendalami ilmu management marketing di Sydney International Carrier Institute, Australia, itu.
Kini museum itu telah rampung dan menjadi bagian dari RM Inggil. Menurut rencana, museum resto tersebut akan diresmikan Senin lusa (22/10). Peresmian museum tersebut sekaligus kado untuk ulang tahun perkawinan emas (50 tahun) bapak-ibu Dwi.
Dwi mengaku sempat ditertawakan kawan-kawan bisnisnya karena membangun museum di tempat usaha. Apalagi, Museum Malang Tempo Doeloe berdiri di atas lahan sekitar 900 meter persegi. "Mereka bilang, eman (sayang). Wong lahan begitu luas kok malah dibikin museum," tutur Dwi.
Berapa biaya yang sudah dikeluarkan? Awalnya Dwi enggan menjawab. Tapi, dia kemudian menyebut angka sekitar Rp 1,5 miliar. "Belum termasuk barang-barang koleksinya dan biaya untuk berburu koleksi-koleksi itu," ungkapnya.
Memasuki museum tersebut serasa menyusuri lorong waktu. Meski luasnya "hanya" 900 meter persegi, Dwi mampu menata museum sedemikian rupa sehingga pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang sejarah terbentuknya Kota Malang. Dimulai dari kehidupan 1.500.000 tahun lalu, cikal bakal lahirnya Kerajaan Kanjuruhan, Singasari, penjajahan Belanda, Jepang, masa perjuangan merebut kemerdekaan, hingga berbagai peristiwa pasca kemerdekaan. Semua tergambar di dalam museum tersebut lengkap dengan perangkat audio visual yang diputar di layar televisi 20 inci yang ada di hampir setiap ruang.
Sebagian video yang diputar berupa film dokumenter, sebagian lainnya bikinan Dwi sendiri. Misalnya, di ruang yang menggambarkan era bagaimana Kerajaan Singasari dibangun pada 1222 Masehi. Untuk menjelaskan sejarah itu, diputarlah film tentang Ken Arok (pendiri dan raja Singasari). Di antaranya, ada adegan Ken Arok memimpin pasukannya berperang dengan Kerajaan Kediri.
"Yang ini saya bikin sendiri, saya sutradarai sendiri. Tujuannya, memudahkan pemahaman tentang sejarah saja," tuturnya.
Di ruang itu terdapat gua pertapaan Ken Arok. Ken Arok digambarkan sedang duduk bersila dengan kedua tangannya dirapatkan seperti sedang semedi. Tubuhnya melayang. Ada juga silsilah keturunan raja-raja Singasari hingga ke Raden Wijaya, raja Majapahit.
Sejarah lahirnya Kabupaten dan Kota Malang juga digambarkan dengan jelas. Masing-masing dijlenterehkan di ruang yang berbeda. Satu ruang menggambarkan era 1800-1900, ruang lainnya menggambarkan era 1900"1930. Di ruang 1800-1900 terdapat dokumen asli surat-surat tentang pembentukan Kabupaten Malang. Dari situ pengunjung bisa tahu bahwa pemecahan Malang menjadi kabupaten dan kota direncanakan sejak 1883.
"Ini adalah coretan tangan rencana gaji burgemeester (wali kota) Malang," cerita Dwi sambil tangan kanannya menunjuk dokumen yang dimaksud. Di situ tertulis rencana gaji wali kota Malang adalah 1.250 gulden.
Rencana pembentukan Kota Malang itu tertulis di buku induk yang sudah hampir rusak. Untuk mendapatkan buku tersebut, Dwi berburu selama enam tahun. Perburuan dimulai dengan mencari anak keturunan Raden Patih Soerjo Adiningrat.
"Selama enam tahun saya lacak satu per satu anak keturunan Patih Soerjo. Mulai yang ada di Balikpapan, Samarinda, hingga yang ada di Magelang," ujarnya.
Tidak hanya berburu dokumen yang sulit. Dwi juga butuh waktu 10"15 tahun untuk mengumpulkan foto-foto jadul (zaman dulu) itu. "Untuk mendapatkan foto-foto bupati Malang dari yang pertama sampai yang sekarang, saya butuh waktu 10 tahun," kata dia.
Di ruang zaman Jepang lain lagi. Dwi perlu membuat replika penjara yang menakutkan. Penerangan yang temaram menguatkan suasana lawas zaman sebelum kemerdekaan itu.
Ruang paling akhir adalah sejarah yang menggambarkan rapat KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 25 Februari-5 Maret 1947. Rapat itu diadakan di gedung Concordia Malang (sekarang Sarinah). Di ruang tersebut ada patung Bung Hatta yang sedang memimpin rapat. Juga, ada mesin cetak yang kala itu digunakan untuk mencetak selebaran serta peralatan untuk memutar film. Ada pula telepon portabel yang dipakai selama rapat berlangsung.
"Di sela istirahat rapat, ternyata ada jeda untuk menonton film. Ini peralatannya," ucap Dwi sambil menunjukkan peralatan film kuno tersebut.
Mendapatkan benda-benda langka itu pasti tidak mudah. Selain harus merogoh kocek yang tidak sedikit, Dwi harus mencari bertahun-tahun. "Tapi, semua jerih payah itu rasanya lunas ketika museum ini akhirnya jadi," tandasnya. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KRI Dewaruci Tuntaskan Ekspedisi Keliling Dunia Kali Terakhir
Redaktur : Tim Redaksi