Cium Anak, Caleg Bisa Dipolisikan

Sabtu, 15 Maret 2014 – 13:43 WIB

jpnn.com - JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memutuskan turut mengawasi kegiatan kampanye terbuka yang berlangsung pada (16/3).

Jika ditemukan eksploitasi terhadap anak, maka pelakunya tak segan-segan akan dipolisikan. Sebab tindakan tersebut adalah perbuatan pidana.  

BACA JUGA: Pejabat Publik Ikut Kampanye Datangkan Mudharat Bagi Rakyat

Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, menjelang Pemilu 2014 pihaknya aktif mengawasi potensi ekploitasi anak dalam kegiatan politik. Namun pengawasan tersebut bersifat tidak langsung.

"Kita secara khusus membentuk desk pengawasan pemilu terkait dengan penyalahgunaan anak. Di Kantor KPAI ini kami membuka posko pengaduan terkait eksploitasi anak selama kampanye terbuka," ujar dia kepada INDOPOS (JPNN Grup), Jumat (14/3).

BACA JUGA: 30 Persen Guru Belum Bersertifikat

Menurut dia, sudah membuat nota kesepahaman dengan Bawaslu. Dalam satu poin kerjasama itu, pihaknya turut dalam pengawasan pada fase kampanye mulai tanggal 16 bulan ini.
Eksploitasi anak dalam kampanye mendapatkan sanksi pidana yang jelas yang diatur dalam Undang Undang Perlindungan Anak. Itu termasuk penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik dengan ancaman hukumannya antara tiga sampai sembilan bulan penjara.

Apa anak yang digendong dan dicium lalu tertangkap kamera wartawan termasuk pelanggaran? Sebab modus tersebut sering dipergunakan oleh politisi untuk menimbulkan simpati konstituen.

BACA JUGA: KPU: Banyak Calon Anggota DPD dan Caleg yang Didiskualifikasi

Menurut Niam, ketika itu bagian dari politisasi  tentu saja melanggar. "Tetapi jika konteksnya (celeg) mengunjungi anak yang sakit kemudian caleg menciumnya tentu berbeda," ungkapnya.

Pada prinsipnya, ketika seseorang menggunakan anak untuk membangkitkan empati bagian dari sarana kampanye dia itu jelas pelanggaran. Anak disalahgunakan untuk kepentingan politiknya.

"KPAI dalam hal ini bagian dari pengawasan di bawah koordinasi Bawaslu bisa melaporkan kasus tersebut kepada yang berwajib," tegasnya.

Pengawasan secara langsung terkait pemilu tentu saja Bawaslu. Tetatapi terhadap kasus spesifik terhadap hak anak itulah yang dilakukan oleh KPAI. "Kita sosialisasikan ke parpol-parpol dan intensif pada saat memasuki jadwal kampanye terbuka," tegasnya.

KPAI tidak ingin menjadi ”polisi” yang ingin ”menjebak” kesalahan caleg, lalu ditindak. Namun lebih kepada mengingatkan politisi untuk mencegah adanya potensi kesalahan.

"Posisi KPAI sebagai early warning. Semisal anak belum punya hak pilih tetapi dimanipulasi umurnya, lalu dikerahkan kampanye untuk mendukung caleg tertentu, itu jelas-jelas pidana," ungkap Niam.

Selain terkena pidana pemalsuan juga dapat dijerat tindak pidana penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik. Aturan tersebut memang tidak diatur dalam UU Pemilu. Tetapi, itu diatur dalam UU Perlindungan Anak yang berlaku untuk semua kalangan.

Setidaknya, kata Niam, ada 15 item larangan memanfaatkan anak-anak demi kepentingan politik untuk mearup suara terbanyak. Yang pertama memanipulasi data anak yang belum berusia 17 tahun dan belum menikah agar bisa tedaftar sebagai pemilih.

Menggunakan tempat bermain anak, tempat penitipan anak, atau tempat pendidikan untuk kegiatan kampanye terbuka. Memobilisasi massa anak oleh partai politik atau Caleg. Menggunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye untuk memilih partai atau Caleg tertentu.

Menampilkan anak sebagai bintang utama dari suatu iklan politik. Menampilkan anak di atas panggung kampanye Parpol dalam bentuk hiburan. Menggunakan anak untuk memasang atribut-atribut parpol.

Menggunakan anak untuk melakukan pembayaran kepada pemilih dewasa dalam praktik politik uang oleh Parpol atau Caleg. Mempersenjatai anak atau memberikan benda tertentu yang membahayakan dirinya atau orang lain.

Memaksa, membujuk atau merayu anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang selama kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara.

Membawa anak ke arena kampanye terbuka yang membahayakan anak. Melakukan tindakan kekerasan atau yang dapat diartikan sebagai tindak kekerasan dalam kampanye, pemungutan suara, atau perhitungan suara seperti mengecat lambang Parpol di bagian tubuh anak.

Melakukan pengucilan, penghinaan, intimidasi, atau tindakan-tindakan diskriminatif kepada anak yang orang tua atau keluarganya berbeda atau diduga berbeda pilihan politik. Memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci caleg atau parpol tertentu. Melibatkan anak dalam sengketa hasil perhitungan suara. (dni)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kabut Asap Kian Pekat di Jambi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler