jpnn.com, TOKYO - Coincheck Inc merugi. Perusahaan perdagangan mata uang virtual itu diretas dan koin yang diperdagangkan dicuri. Koin NEM (New Economy Movement) senilai JPY 58 miliar (Rp 7,1 triliun) milik para klien hilang.
Peretasan tersebut diketahui Jumat (26/1). Dampaknya, semua perdagangan mata uang virtual di Coincheck harus dihentikan, kecuali untuk Bitcoin. Apa yang menimpa Coincheck merupakan salah satu pencurian uang virtual terbesar.
BACA JUGA: Menkeu Tegaskan Mata Uang Virtual Tetap Ilegal, Ini Sebabnya
Kemarin, Minggu (28/1) perusahaan yang berbasis di Tokyo, Jepang, itu berjanji mengembalikan JPY 46,3 miliar (Rp 5,67 triliun) kerugian 260 ribu klien pemilik koin NEM yang terdampak peretasan.
Itu setara dengan sekitar 90 persen uang yang hilang. Rencananya, pembayaran tidak berbentuk uang virtual, melainkan mata uang yen. Waktu dan cara pembayarannya masih akan dibahas lebih lanjut.
BACA JUGA: Menlu: Pertemuan Indonesia-Jepang tidak Sekadar Seremonial
Kepala Pegawai Operasional Coincheck Yusuke Otsuka mengungkapkan bahwa hackers melakukan aksinya pukul 02.57 waktu setempat Jumat lalu. Tapi, perusahaan baru mengetahui sekitar 8,5 jam kemudian atau pukul 11.25.
Saat itu pelaku mengirimkan 523 koin NEM dari Coincheck ke alamat penyimpanan NEM yang lain. Jika dikalkulasi dengan nilai tukar yen, kerugiannya mencapai JPY 58 miliar.
BACA JUGA: Strategi Hyundai Bersaing dengan Produk Tiongkok dan Jepang
NEM memang tidak seterkenal Bitcoin. Selain keduanya, masih banyak mata uang virtual yang diperdagangkan. Misalnya Litecoin, Dash, Namecoin, Swiftcoin, Ripple, Monero, Ethereum, dan Ubiq.
Perusahaan sudah melakukan pelacakan untuk mengetahui peretasan dilakukan dari dalam atau luar negeri. Mereka juga sudah melaporkan kejadian tersebut ke polisi dan Badan Layanan Finansial (FSA) Jepang.
’’Kami tahu ke mana uang itu dikirim. Kami sedang melacaknya dan jika kami terus melacak ada kemungkinan untuk mengambilnya kembali,’’ terang Otsuka sebagaimana dilansir BBC.
Uang yang dicuri dari Coinchek itu sebelumnya disimpan di hot wallet yang terhubung ke internet. Bukan di cold wallet yang disimpan offline dan lebih aman.
Presiden Coincheck Koichiro Wada beralasan bahwa cara itu ditempuh karena kekurangan staf yang bisa melakukan penyimpanan di cold wallet serta adanya masalah teknis.
Sumber Reuters mengungkapkan, FSA telah mengirimkan peringatan kepada sekitar 30 perusahaan yang mengoperasikan perdagangan mata uang virtual di negara tersebut.
FSA meminta mereka berhati-hati dan meningkatkan keamanan karena ada peluang terjadi peretasan lainnya.
Peretasan perusahaan perdagangan mata uang virtual memang beberapa kali terjadi di Jepang. Pada 2014 lalu, Mt. Gox yang berbasis di Tokyo terpaksa mengajukan status bangkrut setelah kehilangan Bitcoin senilai USD 500 juta atau setara Rp 6,65 triliun.
Padahal, mereka adalah perusahaan yang sukses dan mengendalikan perdagangan 80 persen Bitcoin di seluruh dunia.
Youbit yang berbasis di Korea Selatan (Korsel) mengalami nasib serupa. Desember lalu mereka gulung tikar setelah diretas dua kali.
Insiden yang menimpa Mt. Gox direspons pemerintah Jepang dengan aturan baru. Mereka meluncurkan sistem lisensi untuk perusahaan perdagangan mata uang virtual.
Coincheck yang berdiri sejak 2012 masih mengajukan izin dan diperbolehkan beroperasi sembari menunggu lisensinya turun.
Selama ini, Jepang memang merupakan salah satu negara yang paling terbuka menerima mata uang virtual. Sekitar 10 ribu bisnis di negara tersebut menggunakan mata uang virtual. (sha/c19/pri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kue Moci Maut Rusak Malam Tahun Baru: 2 Tewas, 13 Kritis
Redaktur & Reporter : Adil