COLOSSEUM atau Flavian Amphitheatre (Amphitheatrum Flavium) adalah obyek wisata sekaligus situs sejarah di Roma, Italia yang banyak dikunjungi turis dari seluruh dunia. Boleh jadi Colosseum merupakan gedung pertunjukan termegah dan terbesar pertama di muka bumi yang pernah dibangun umat manusia.
Berkapasitas 45-50 ribu penonton, Colosseum yang kini tinggal reruntuhan tapi masih meninggalkan jejak yang gagah, dibangun kekaisaran Romawi kuno era dinasti Flavinus pada tahun 70 Masehi. Kira-kira 750 tahun sebelum wangsa Syailendra membangun candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.
Colosseum memang peninggalan sejarah yang mengagumkan. Mencerminkan betapa tingginya peradaban pada zamannya. Bahkan banyak orang percaya, stadion olahraga (sepakbola) berbentuk elips di seluruh dunia diilhami oleh gaya arsitektur bangunan ini.
Akan tetapi, beda dengan peninggalan sejarah lainnya yang biasa digolongkan dalam “7 Keajaiban Dunia”, Colosseum satu-satunya monumen sejarah yang memantulkan dengan nyata dua sisi (terang dan gelap) kebudayaan. Kebudayaan yang memuliakan harkat dan martabat manusia dengan detil arsitektur bercitarasa tinggi, dan cermin (negatif kebudayaan) hilangnya tata nilai dan tiadanya penghormatan terhadap kemanusiaan.
Kita tahu dari sejarah, di tempat ini para bangsawan Romawi sambil mabuk-mabukkan menyaksikan pertarungan sampai mati tawanan versus tawanan, atau tawanan diadu dengan binatang buas. Film Gladiator (Russel Crowe) yang disutradarai Ridley Scott diilhami dari kisah di balik Colosseum ini. Konon di tempat ini pernah juga digelar “olahraga” membantai binatang secara brutal. Memang paradoks.
Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di kawasan pebukitan Hambalang, Citeureup, Bogor, Jawa Barat, mungkin tidak sespektakuler Colosseum di zaman Romawi kuno. Tapi kalau dilihat proposalnya, bangunan di atas tanah seluas 31,2 hektare itu merupakan sarana penting meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Sebab di Hambalang ini, menurut sahibul Menegpora Andi Mallarangeng, bakal dicetak atlet-atlet canggih yang (konon) bisa memenangi turnamen olahraga bahkan hingga di ajang internasional tingkat Asia Tenggara. Sehingga para alumni Hambalang diharapkan bisa mengharumkan nama bangsa yang sudah dibusukan oleh para penyelenggara negara dengan berbagai skandal korupsi gila-gilaan.
Di sinilah letak perbedaan paling mendasar antara Colosseum dan Hambalang. Colosseum dibangun dengan sangat cermat, nyaris tanpa penyimpangan, baik pembiayaan, pemilihan lokasi maupun sertifikat tanahnya. Itulah sebabnya Colosseum bisa bertahan hingga sekarang.
Sedangkan Hambalang peruntukannya baik dan mulia. Karena di tempat ini akan ditingkatkan kemampuan dan kekuatan fisik para atlet kita untuk mengharumkan nama bangsa. Tapi mekanisme dan praktek pembangunannya sangat jauh menyimpang. Bahkan seperti menghina akal sehat umat manusia.
Pemilihan lokasi di kawasan tanah yang labil karena harganya sangat murah. Padahal pembiayaan dari semula hanya Rp 125 milyar dibengkakkan 20 kali lipat hingga mencapai Rp 2,5 triliun. Kalau yang dikorup standar 30 persen seperti dilakukan Nazaruddin dan teman-teman di partainya, jumlahnya Rp 750 milyar!
Seperti Colosseum di Roma, Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang hanya tinggal puing dan reruntuhan. Tapi bila Colosseum tinggal reruntuhan karena dimakan keganasan alam dan waktu, Hambalang yang dimakan uangnya, oleh para perancangnya.
Maka akan menjadi berharga apabila Hambalang ditetapkan sebagai situs sejarah yang dilindungi undang-undang. Dijadikan obyek wisata sekaligus pelajaran bahwa pada zaman Hambalang dibangun, para bangsawan (pembesar negara) telah kehilangan rasa malu. Negara dikelola tanpa etika dan tanpa tata nilai.
Sehingga olahraga dikelola dengan semangat korupsi. Pendidikan dijalankan dengan pikiran-pikiran korup...! [***]
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Senior dan Kenaikan Harga BBM
Redaktur : Tim Redaksi