Coming Home

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 14 Juni 2021 – 16:14 WIB
Skuad Inggris merayakan gol yang bersarang di gawang Kroasia. Foto: AFP - talkSport

jpnn.com - Inggris tidak pernah bisa menjadi bagian integral Eropa. Secara geografis Inggris dan Eropa daratan dipisahkan oleh Selat Dover.

Untuk mencapai dua sisi selat dilakukan melalui air maupun terowongan sepanjang 50 kilometer yang menghubungkan Inggris dengan Prancis. 

BACA JUGA: Tuah Raheem Sterling, Setiap Kali Dia Mencetak Gol Inggris Tak Pernah Kalah

Keterpisahan geografis ini kemudian memengaruhi hubungan psikologis Inggris dengan Eropa.

Di masa lalu, Inggris adalah negara superpower dunia. Kekuasannya membentang luas dari Asia sampai ke Afrika. Kekuatan angkatan lautnya menguasai samudera tidak ada tandingnya.

BACA JUGA: Euro

Karena luas dan kuatnya Inggris sampai ada ungkapan "The Sun Never Set in Great Britain", matahari tidak pernah tenggelam di Britania Raya. 

Ini berarti menunjukkan bahwa secara harfiah matahari selalu bersinar di wilayah kekuasaan Inggris. Karena bentangnya yang luas maka ketika di satu negara kekuasan Inggris di wilayah bara matahari terbenam maka di wilayah kekuasan Inggris di timur matahari mulai terbit.

BACA JUGA: Pesawat Pembawa Pesan Khusus Melintas di Tempat Latihan Inggris

Begitu seterusnya sehingga matahari tidak pernah tenggelam di wilayah kekuasaan Inggris.

Ungkapan itu juga punya maksud politik. Matahari adalah lambang kekuasaan. Matahari yang tidak pernah tenggelam di Britania Raya berarti bahwa Britania akan tetap menjadi superpower yang selalu bersinar di dunia.

Namun, kenyataannya tentu tidak seperti itu. Kekuasaan Inggris sebagai superpower tidak bisa bertahan terus-menerus.

Memasuki abad ke-20 seluruh dunia berubah. Perang Dunia Pertama 1930-an pecah di seluruh Eropa. Inggris ditantang oleh kekuatan baru Jerman dan Prancis. Kekuasaan Inggris sudah makin goyah karena mulai muncul kekuatan baru seperti Amerika Serikat. 

Pada Perang Dunia Kedua pada 1940-an kekuasaan Inggris sudah makin lemah, dan akhirnya diambil alih oleh Amerika Serikat.

Inggris yang feodalistis dan aristokratis sudah menjadi kekuatan kelas dua di bawah pengaruh Amerika Serikat.

Upaya Inggris untuk memperoleh kembali kejayaannya menghadapi jalan mendaki nan penuh tantangan. 

Di dunia sepak bola Inggris mengeklaim diri sebagai ibu kandung olahraga paling terkenal sejagat itu. Dalam berbagai kejuaraan internasional para suporter Inggris dengan bangga menyanyikan chanting "Football Coming Home", sepak bola pulang kembali ke rumahnya.

Namun, prestasi internasional Inggris tidak pernah benar-benar mampu membawa sepak bola kembali ke rumahnya. 

Inggris menjadi juara dunia sepak bola pada 1966. Setelah itu sepak bola tidak pernah lagi pulang ke rumah.

Jangankan masuk rumah, sampai ke depan pagar pun sudah untung. Di Piala Dunia 2018 Inggris cukup puas sampai ke semifinal diadang oleh Kroasia.

Pada Piala Eropa, Inggris tidak pernah mencapai prestasi yang lebih baik. 

Pertandigan Minggu (13/6) malam di Stadion Wembley melawan Kroasia dihantui oleh kutukan itu.

Inggris tidak cukup pede menghadapi lawannya itu. Apalagi, Inggris menghadapi trauma karena tidak pernah menang di pertandingan pembuka dalam turnamen besar. 

Kemenangan 1-0 atas Kroasia sementara ini sudah cukup untuk mengakhiri kutukan.

Namun, tentu saja, ini masih merupakan langkah awal untuk bisa membawa sepak bola pulang kembali ke Inggris. Tantangan sangat berat dari luar, dan tantangan dari dalam sendiri juga tak kalah besar. 

Inggris pernah punya generasi emas ketika dihuni oleh pemain-pemain kelas dunia seperti Steven Gerard dan Frank Lampard di gelandang. Wayne Rooney sebagai striker, lalu palang pintu Rio Ferdinand dan John Terry di belakang. 

Seharusnya Inggris bisa berprestasi lebih baik, bukan hanya di level Eropa, tetapi juga dunia.

Namun, kenyataannya Inggris selalu salah program. Pelatih lokal dianggap tidak ada yang cukup mampu membawa Tiga Singa untuk mengaum lebih keras. 

Lalu diimporlah pelatih asing, mulai dari Fabio Capello dari Italia dan Sven-Goran Eriksson dari Swedia.

Alih-alih membuat Tiga Singa beringas buas malah membuat loyo dan tidak bertenaga.

Inggris menanggung malu di level internasional di bawah pelatih-pelatih impor itu. 

Di tengah situasi putus asa, Inggris kembali ke produk lokal. Gareth Southgate menjadi pilihan untuk menjadi komandan bala tentara Inggris. Prestasi internasionalnya belum cukup memuaskan, tetapi ada secercah harapan seperti sinar terang di ujung terowongan yang gelap. 

Southgate banyak diragukan karena pengalaman kepelatihannya yang masih minim.

Namun, dia punya hidung yang cukup tajam untuk mengendus potensi kekuatan pemain-pemainnya dan sekaligus mendeteksi kelemahan-kelemahan mereka. 

Stok pemain-pemain muda bejibun di timnas Inggris. Jude Bellingham masih belum genap 18 tahun. Jadon Sancho, Marcus Rashford, Mason Mount, Bukayo Saka, Kalvin Phillips, Phill Foden, semuanya masih 20-an tahun.

Mereka menjadi "The Young Guns" yang siap meledak menghancurkan benteng lawan setiap saat.

Pemain-pemain senior seperti Harry Kane, Harry Maguire, Kieren Trippier, Luke Shaw, Jordan Henderson, Raheem Sterling, mempunyai mental yang cukup kuat untuk menghadapi tantangan turnamen bergengsi ini.

Southgate punya stok yang cukup berlimpah untuk menyusun pasukan terbaik.

Pertandingan Minggu malam membuktikan bahwa Southgate cukup cermat memilih pemain sehingga hasilnya memuaskan.

Perjalanan masih jauh. Inggris berada di grup sulit karena ada Republik Ceko dan Skotlandia yang tidak akan mudah ditundukkan.

Secara teknis Inggris diunggulkan untuk lolos dari penyisihan grup.

Namun, faktor-faktor nonteknis bisa menjadi masalah yang tidak terduga.

Inggris tidak pernah benar-benar menyatu dengan Eropa. Di masa lalu Inggris terlibat perang melawan Prancis semasa Napoleon pada awal abad ke-19.

Kemudian Inggris menghadapi perang lagi melawan Jerman Hitler pada 1940an.

Ketika perang sudah selesai, Inggris juga tidak punya teman sejati di Eropa karena Inggris merasa beda.

Secara politik Inggris lebih nyaman untuk bersahabat dengan Amerika Serikat yang dipisahkan oleh Samudera Atlantik.

Inggris juga merasa lebih asyik berhubungan dengan Australia, bekas koloninya yang berada di Asia-Pasifik.

Inggris merasa nyaman berhubungan dengan Australia dan Amerika yang sama-sama berbahasa Inggris dan sama-sama mempunyai sistem politik dan ekonomi yang liberal.

Inggris selalu tidak nyaman berhubungan dengan teman-temannya di Eropa karena rata-rata mempunyai sistem politik yang lebih cenderung ke arah sosialis-demokrat, dan tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai nasional.

Inggris juga menjadi negara pertama yang keluar dari Uni Eropa pada 2016 melalui referendum yang dikenal sebagai Brexit atau Britain Exit alias Inggris keluar.

Gerakan Brexit membuat cita-cita persatuan Eropa berantakan lagi, dan Inggris dianggap sebagai biang keroknya.

Ajang Euro 2020 akan menjadi bukti bagi Inggris apakah bisa membawa piala pulang dan membuktikan bahwa "football coming home". Atau jangan-jangan Inggris akan tersingkir sebelum melangkah jauh dan mengalami Brexit dari Euro 2020. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler