Connie: Presiden Cuti Saja atau Mas Gibran Dibatalkan jadi Cawapres

Jumat, 05 Januari 2024 – 07:52 WIB
Pengamat militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie. Foto: YouTube/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Praktik politik demokratis hampir sulit diwujudkan selama penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024.

Hal tersebut dikatakan pengamat militer Al Araf dalam diskusi publik bertajuk "Knalpot Brong Vs Tentara" di Jakarta, Kamis (4/1).

BACA JUGA: Makan Siang Gratis, Upaya Cawapres Gibran Mencegah Stunting

Dia menilai, pada masa kampanye Pemilu 2024 yang sudah berjalan banyak peristiwa yang berlawanan dengan regulasi yang berlaku.

"Menurut saya, politik pemilu demokratis sudah hampir sulit diraih dalam Pemilu 2024 karena ada instrumen kekuasaan yang akan menggunakan instrumen lain dalam pertarungan," kata Al Araf dalam diskusi tersebut.

BACA JUGA: TKN Sebut Surat Bawaslu Jakarta Pusat Bukan Putusan Soal Dugaan Pelanggaran Gibran

Dia menyoroti terdapat banyak kejadian yang sebenarnya melanggar hukum, tetapi tidak dituntaskan dengan baik oleh Pemerintah.

Pertama, kehadiran ajudan Prabowo Subianto, Mayor Teddy Indra Wijaya, yang merupakan anggota aktif TNI, dalam debat pertama capres Pemilu 2024 di KPU RI, Jakarta, Selasa, 12 Desember 2023.

BACA JUGA: Tegas Suarakan Perubahan, Anies Pesaing Terberat Prabowo

Kehadiran ajudan Prabowo itu, menurut Al Araf, tidak rasional dan melanggar peraturan.

Jika dilihat dari undang-undang mana pun, kata Al Araf, kehadiran Teddy tetap terbukti melanggar aturan TNI dan Polri yang tidak boleh terlibat dalam politik praktis.

“Kalau dia menemani Prabowo di agenda lain sebagai ajudan, tidak masalah; tetapi ini lagi debat kandidat (Pilpres 2024).”

“Di situ, semua orang menonton, pengamanan pemilu dari KPU dalam debat juga sudah banyak sekali, mulai dari polisi, dilapisi lagi pengamanan di dalam; memang kurang apa sampai ajudannya juga di sana?" katanya.

Kedua, soal Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, maju menjadi pendamping Prabowo.

Dia menyoroti majunya Gibran, yang juga wali kota Surakarta, benar-benar "menelanjangi" Mahkamah Konstitusi (MK) secara terang-terangan karena membuat sebuah putusan jelas cacat hukum.

Ketiga, peristiwa penganiayaan oknum TNI Angkatan Darat kepada relawan Ganjar-Mahfud saat kampanye di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, ada dugaan kekerasan politik di dalamnya dibandingkan sekadar mempermasalahkan soal knalpot bising atau brong saja.

"Sekarang ini, yang harus didorong adalah Komnas HAM-nya, jangan diam saja, tidak tahu. Jangan ketularan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) yang menurut saya sulit untuk bisa diharapkan mengawasi pemilu," kata ketua Badan Pengurus Centra Initiative itu.

Pengamat soal pertahanan, militer, dan intelijen Connie Rahakundini Bakrie menambahkan kemunculan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres juga "mempermalukan" institusi MK.

Hal itu karena aturan yang disahkan melalui Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menyatakan batas usia minimal capres dan cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Menurut Connie, putusan MK itu problematik dan tidak netral, karena jelas ada kepentingan pihak tertentu di situ.

Terkait masalah Mayor Teddy di debat capres-cawapres, Connie menyayangkan panglima TNI dan Bawaslu sama-sama enggan mengakui bahwa duduknya ajudan Prabowo itu di deretan pendukung capres nomor urut dua tersebut sudah jelas melanggar hukum karena dari cara berpakaiannya sama dengan relawan.

"Saya yakin betul bahwa yuristokrasi itu berbahaya. Karena itulah, memang presiden, sekali lagi saya sarankan, presiden cuti saja atau Mas Gibran dibatalkan jadi cawapres, kan masih ada waktu sekitar 42 hari lagi," ujar Connie. (antara/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler