COP 26 Glasgow Membahas Potensi Unik Pertanian Demi Atasi Perubahan Iklim

Senin, 08 November 2021 – 12:37 WIB
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi. Foto: KLHK

jpnn.com, JAKARTA - Pekan pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP26) yang diselenggarakan di Glasgow, Inggris mulai 31 Oktober lalu, telah selesai membahas isu penting terkait dengan kerentanan pertanian terhadap perubahan iklim dan penanganan ketahanan pangan.

“Koronivia Joint Work on Agriculture (KJWA) adalah keputusan penting di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang mengakui potensi unik pertanian dalam mengatasi perubahan iklim,” ungkap Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi dalam keterangan tertulis dari Glasgow, Senin (8/11/2021).

BACA JUGA: Di Forum COP 26 Glasgow, Menteri Basuki Beber Kendala Pengelolaan Sumber Daya Air

Laksmi ikut hadir dalam pertemuan hingga Sabtu tengah malam waktu Inggris itu. Dari  5 rangkaian seri pertemuan penting yang dilakukan paralel dalam COP26, dua diantaranya adalah agenda Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) mendapat mandat untuk melakukan pembahasan hingga 6 November lalu dan sudah selesai.

Pertemuan ini mengadopsi beberapa keputusan-keputusan yang memang sampai tahap SBSTA dan SBI, ada pula isu-isu yang akan dilaporkan pada presidensi dan akan dilanjutkan  sesi CMP 16, CMA3, maupun di COP26.

Baik SBI dan SBSTA sudah mengadopsi keputusan terkait hasil work frame dari Koronivia Joint Work on Agriculture (KJWA).

Jadi, pada prinsipnya KJWA merupakan salah satu keputusan penting di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang mengakui potensi unik pertanian dalam mengatasi perubahan iklim.

Lebih lanjut Laksmi mengatakan terkait kerentanan pertanian dan ketahanan pangan ini diputuskan di COP 23 tahun 2017 di Bonn, yang meminta Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) untuk bersama-sama menangani masalah yang berkaitan dengan pertanian. Termasuk melalui lokakarya dan pertemuan ahli, bekerja dengan badan-badan yang dibentuk berdasarkan Konvensi dan mempertimbangkan kerentanan pertanian terhadap perubahan iklim dan pendekatan untuk menangani ketahanan pangan.

Implikasi Bagi Indonesia

Bagaimana implikasi dari semua itu bagi Indonesia? Dirjen Laksmi Dhewanti mengatakan kesepakatan SBSTA dan SBI pada COP26 ini, yang meliputi pentingnya perbaikan pengelolaan tanah dan hara, pengelolaan peternakan dan kesehatan ternak, dimensi sosial ekonomi dan ketahanan pangan, dan penguatan kebijakan penanganan perubahan iklim, sangat relevan untuk pertanian Indonesia.

“Sebagian dari aksi serta kebijakan tersebut sudah ada di sektor pertanian Indonesia, namun ambisi di bidang penanganan perubahan iklim sektor pertanian perlu ditingkatkan karena sangat penting untuk meningkatkan ketangguhan sistem pertanian dan ketahanan pangan Indonesia,” ungkap Laksmi.

Oleh karena itu, lanjut Laksmi, dukungan internasional dipelukan untuk meningkatkan ambisi tersebut untuk meningkatkan keberhasilan pada skala yang lebih besar.

Sistem Produksi Pangan Berkelanjutan

Laksmi Dhewanthi menjelaskan pada meeting SBI dan SBSTA sesi 52-55, melalui keputusannya, SBSTA dan SBI mengenali (recognize) bahwa:

Pertama, tentang soil and nutrient management practices, yang arahnya adalah terciptanya  climate-resilient, sustainable food production systems, peningkatan produksi pangan, serta  penurunan emisi GRK sebagai cobenefits.

Praktik pengelolaan tanah dan unsur hara serta penggunaan unsur hara secara optimal, termasuk pupuk organik dan pengelolaan pupuk kandang yang ditingkatkan merupakan inti dari sistem produksi pangan berkelanjutan yang tahan terhadap iklim dan dapat berkontribusi pada ketahanan pangan global.

Kedua, tentang perbaikan pengelolaan ternak secara berkelanjutan guna mengurangi dampak perubahan iklim dan sebisa mungkin menurunkan emisi GRK.

Sistem pengelolaan ternak sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan sistem peternakan yang dikelola secara berkelanjutan memiliki kapasitas adaptif dan ketahanan yang tinggi terhadap perubahan iklim dan pada saat yang bersamaan memainkan peran luas dalam menjaga keamanan pangan dan gizi, mata pencaharian, keberlanjutan, siklus nutrisi dan pengelolaan karbon. 

“SBI dan SBSTA mencatat bahwa peningkatan produksi berkelanjutan dan kesehatan hewan, dapat  mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor peternakan,” kata dia.

Selanjutnya, ketiga tentang aspek sosial ekonomi dan ketahanan pangan. Pendekatan sistem pertanian dan pangan terpadu penting untuk mencapai ketahanan pangan dan perbaikan ekonomi.

Dimensi sosial ekonomi dan ketahanan pangan sangat penting dalam konteks perubahan iklim di bidang pertanian dan sistem pangan. SBI dan SBSTA mengenali prioritas mendasar untuk menjaga ketahanan pangan dan mengatasi kelaparan dengan merancang sistem pertanian yang berkelanjutan dan berketahanan iklim serta menerapkan pendekatan sistemik yang sejalan dengan tujuan iklim global jangka panjang.

Keempat, tentang dukungan untuk mendukung upaya menjaga ketahanan pangan. SBI dan SBSTA mengenali pentingnya meningkatkan dukungan untuk meningkatkan tindakan dalam menjaga ketahanan pangan dan gizi dan mengakhiri kelaparan, bertujuan untuk sistem pertanian yang inklusif, berkelanjutan dan tahan iklim, dengan mempertimbangkan kerentanan pertanian terhadap dampak perubahan iklim, serta adanya kebutuhan untuk menyediakan kondisi pemungkin (enabling condition) untuk memobilisasi sumber daya untuk melaksanakan tindakan di tingkat lokal, nasional dan internasional.(jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler