PONTIANAK – Gubernur Kalbar Cornelis meminta lembaga adat tidak mengambil peluang dalam menerapkan denda yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum adat setempat, sehingga terkesan memeras. “Jangan terkesan menjadi alat untuk memeras, karena kalau seperti itu, menjadikan lembaga adat tidak berwibawa,” kata Cornelis seperti diberitakan Pontianak Post, Kamis (21/3)
Menurut Cornelis, tindakan seperti itu membuat lembaga adat menjadi tidak mengakar, dan menjadi tidak berarti di hadapan kelompok masyarakat yang lain. “Seolah-olah memeras. Kalau seperti itu lembaga adat akan jelek,” kata Gubernur Kalbar itu.
Dilanjutkan Cornelis, hukum adat merupakan peninggalan zaman dulu. Kemudian pemerintah merekayasa menjadi moderenisasi. Sedangkan hukum adat yang dimiliki oleh masyarakat adat hilang.
“Sekarang negara mulai menyadari dan mencari bagaimana hukum adat yang punya hukum poistif bisa dilestarikan dan pertahankan untuk mengatasi persoaalan di masyarakat. Jangan disalahgunakan. Akibatnya membuat kita tidak dihargai orang lain tidak dipercaya,” pungkasnya.
Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan penerapan hukum adat tidak bisa dilakukan seperti hukum negara. Menurut Guru Besar Tata Negara Universitas Indonesia ini, kaidah-kaidah hukum adat itu ditransformasi menjadi hukum nasional. Hanya saja, permaslahannya saat ini KUHP yang digunakan Indonesia masih menggunakan hukum Belanda yang sebenarnya tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
Untuk itu, kata Yusril, saat ini sedang disiapkan draf nasional yang sudah disusun sejak ia menjabat menjadi Menteri Kehakiman yang di dalamnya itu sebenarnya mentransformasikan kaidah-kaidah hukum adat, hukum Islam dan hukum eks kolonial Belanda yang sudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
“Jadi masih ada konflik antara kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat yang umumnya sangat dipengaruhi oleh hukum adat, hukum Islam, dengan hukum positif yang berlaku yang kadang-kadang sebagian berasal dari hukum Hindia Belanda zaman dahulu. Saya kira ini harus segera diakhiri. Karena di Indonesia ini mempunyai hukum positif yang berangkat dari kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri dan hukum yang hidup di tengah masyarakat itu ya hukum adat dan hukum Islam,” kata Yusril.
Yusril hadir di Pontianak sebagai pembicara dalam seminar nasional bertajuk Kearifan Lokal dan Hukum Adat dalam Meningkatkan Tertib Hukum Masyarakat di Grand Mahkota Hotel. Selain Yusril, hadir juga Kepala Divisi Hukum Mabes Polri Irjen Anton Setyadi, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki, Pakar Hukum Adat Untan Tambun Anyang, Pakar Hukum Tata Negara Untan Firdaus, dan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan. Seminar nasional digelar atas kerja sama Polda Kalbar, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak, IWAPI, AMAN, LPMP, Untan, dan Program Pascasarjana STAIN Pontianak.
Dijelaskan Yusril, ada rancangan hukum yang sedang digodok di DPR, lebih banyak sifatnya pada administrasi negara, menyangkut proteksi terhadap suatu kelompok masyarakat, tapi bukan hukum adat itu sendiri. “Hukum adat itukan kaidah-kaidah nomatif yang di dalam adat yang seyogyanya dapat ditarik rumusan umumnya, rumusan generalnya yang kemudian dituangkan dalam kaidah hukum nasional. itu yang saya pikirkan, karena akan agak berbeda dengan dibayangkan orang karena seolah-olah memproteksi hokum adat. Itu proteksi Negara sebenarnya,” jelasnya.
Jangan Pidana Melulu
Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai beragam budaya, etnis, dan agama. Begitu pula terhadap hukumnya. Rakyat Indonesia menganut hukum adat, agama, dan hukum eks kolonial Belanda. Demi menyatukan hal itu, maka dibuatlah hukum negara. Demikian dikatakan Ahli Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra di Pontianak, Rabu (20/3).
Yusril menerangkan, Indonesia yang berlandaskan negara hukum harus dijunjung tinggi setiap rakyat. Ada aparatur yang bertugas di sana. Tentunya, masyarakat tak boleh main hakim sendiri. Kendati demikian, dia meminta, hukum tersebut juga jangan menjadi kepentingan di atas segalanya.
“Jangan hal kecil pun dipidanakan. Kalau bisa diselesaikan secara musyawarah. Jangan salah sedikit, lari ke polisi, buat laporan kemudian minta hukum pidana,” ujarnya.
Pedoman hukum, sambung dia, sangat penting diterapkan di negara ini. Kendati demikian, hal itu harus diterapkan pada tempat yang benar, sebab hukum negara mengacu pada hukum adat dan agama. Hukum adat bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
“Kalau bisa diselesaikan secara kekeluargaan, untuk apa dipidanakan. Kalau buku pidana selalu diletakkan di depan, hancur sudah kita,” paparnya.
Kepala Divisi Hukum Polri Irjen Anton Setyadi senada dengan Yusril. Berdasarkan pengalaman, ungkap dia, hal kecil itu kerap kali terjadi di lingkungan masyarakat. Contoh kecil terhadap kasus pencemaran nama baik, karena tidak terima, korban lantas melaporkan hal ini ke polisi.
“Sebenarnya itu tidak menjadi masalah. Coba diselesaikan dengan cara baik, bermusyawarah, maka tidak menjadi hal yang panjang terkait penegakkan hukum,” paparnya.
Bangsa Indonesia mempunyai penyerapan doktrin untuk mampu mewujudkan segala aspek. Moderenitas hukum juga diperlukan untuk mendorong hal itu, namun bukan berarti harus melupakan hukum-hukum yang hidup di masyarakat, hukum adat misalnya.
Menurutnya, jika masyarakat mampu bertenggangrasa, saling menghargai, seperti yang dijunjung tinggi hukum adat, maka gangguan dan pengaduan kamtibnas dapat diminimalisir. Hukum adat juga hukum indonesia, begitu sebaliknya.
“Kalau masalah itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan, tak perlu lagilah dipidana. Sebab dalam bertindak, polisi juga mempunyai prosedur. Kami siap untuk menjadi penengah, jika masalah itu dapat diselesaikan dengan baik tanpa hukum pidana,” tegasnya. (arf/rmn)
Menurut Cornelis, tindakan seperti itu membuat lembaga adat menjadi tidak mengakar, dan menjadi tidak berarti di hadapan kelompok masyarakat yang lain. “Seolah-olah memeras. Kalau seperti itu lembaga adat akan jelek,” kata Gubernur Kalbar itu.
Dilanjutkan Cornelis, hukum adat merupakan peninggalan zaman dulu. Kemudian pemerintah merekayasa menjadi moderenisasi. Sedangkan hukum adat yang dimiliki oleh masyarakat adat hilang.
“Sekarang negara mulai menyadari dan mencari bagaimana hukum adat yang punya hukum poistif bisa dilestarikan dan pertahankan untuk mengatasi persoaalan di masyarakat. Jangan disalahgunakan. Akibatnya membuat kita tidak dihargai orang lain tidak dipercaya,” pungkasnya.
Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan penerapan hukum adat tidak bisa dilakukan seperti hukum negara. Menurut Guru Besar Tata Negara Universitas Indonesia ini, kaidah-kaidah hukum adat itu ditransformasi menjadi hukum nasional. Hanya saja, permaslahannya saat ini KUHP yang digunakan Indonesia masih menggunakan hukum Belanda yang sebenarnya tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
Untuk itu, kata Yusril, saat ini sedang disiapkan draf nasional yang sudah disusun sejak ia menjabat menjadi Menteri Kehakiman yang di dalamnya itu sebenarnya mentransformasikan kaidah-kaidah hukum adat, hukum Islam dan hukum eks kolonial Belanda yang sudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
“Jadi masih ada konflik antara kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat yang umumnya sangat dipengaruhi oleh hukum adat, hukum Islam, dengan hukum positif yang berlaku yang kadang-kadang sebagian berasal dari hukum Hindia Belanda zaman dahulu. Saya kira ini harus segera diakhiri. Karena di Indonesia ini mempunyai hukum positif yang berangkat dari kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri dan hukum yang hidup di tengah masyarakat itu ya hukum adat dan hukum Islam,” kata Yusril.
Yusril hadir di Pontianak sebagai pembicara dalam seminar nasional bertajuk Kearifan Lokal dan Hukum Adat dalam Meningkatkan Tertib Hukum Masyarakat di Grand Mahkota Hotel. Selain Yusril, hadir juga Kepala Divisi Hukum Mabes Polri Irjen Anton Setyadi, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki, Pakar Hukum Adat Untan Tambun Anyang, Pakar Hukum Tata Negara Untan Firdaus, dan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan. Seminar nasional digelar atas kerja sama Polda Kalbar, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak, IWAPI, AMAN, LPMP, Untan, dan Program Pascasarjana STAIN Pontianak.
Dijelaskan Yusril, ada rancangan hukum yang sedang digodok di DPR, lebih banyak sifatnya pada administrasi negara, menyangkut proteksi terhadap suatu kelompok masyarakat, tapi bukan hukum adat itu sendiri. “Hukum adat itukan kaidah-kaidah nomatif yang di dalam adat yang seyogyanya dapat ditarik rumusan umumnya, rumusan generalnya yang kemudian dituangkan dalam kaidah hukum nasional. itu yang saya pikirkan, karena akan agak berbeda dengan dibayangkan orang karena seolah-olah memproteksi hokum adat. Itu proteksi Negara sebenarnya,” jelasnya.
Jangan Pidana Melulu
Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai beragam budaya, etnis, dan agama. Begitu pula terhadap hukumnya. Rakyat Indonesia menganut hukum adat, agama, dan hukum eks kolonial Belanda. Demi menyatukan hal itu, maka dibuatlah hukum negara. Demikian dikatakan Ahli Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra di Pontianak, Rabu (20/3).
Yusril menerangkan, Indonesia yang berlandaskan negara hukum harus dijunjung tinggi setiap rakyat. Ada aparatur yang bertugas di sana. Tentunya, masyarakat tak boleh main hakim sendiri. Kendati demikian, dia meminta, hukum tersebut juga jangan menjadi kepentingan di atas segalanya.
“Jangan hal kecil pun dipidanakan. Kalau bisa diselesaikan secara musyawarah. Jangan salah sedikit, lari ke polisi, buat laporan kemudian minta hukum pidana,” ujarnya.
Pedoman hukum, sambung dia, sangat penting diterapkan di negara ini. Kendati demikian, hal itu harus diterapkan pada tempat yang benar, sebab hukum negara mengacu pada hukum adat dan agama. Hukum adat bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
“Kalau bisa diselesaikan secara kekeluargaan, untuk apa dipidanakan. Kalau buku pidana selalu diletakkan di depan, hancur sudah kita,” paparnya.
Kepala Divisi Hukum Polri Irjen Anton Setyadi senada dengan Yusril. Berdasarkan pengalaman, ungkap dia, hal kecil itu kerap kali terjadi di lingkungan masyarakat. Contoh kecil terhadap kasus pencemaran nama baik, karena tidak terima, korban lantas melaporkan hal ini ke polisi.
“Sebenarnya itu tidak menjadi masalah. Coba diselesaikan dengan cara baik, bermusyawarah, maka tidak menjadi hal yang panjang terkait penegakkan hukum,” paparnya.
Bangsa Indonesia mempunyai penyerapan doktrin untuk mampu mewujudkan segala aspek. Moderenitas hukum juga diperlukan untuk mendorong hal itu, namun bukan berarti harus melupakan hukum-hukum yang hidup di masyarakat, hukum adat misalnya.
Menurutnya, jika masyarakat mampu bertenggangrasa, saling menghargai, seperti yang dijunjung tinggi hukum adat, maka gangguan dan pengaduan kamtibnas dapat diminimalisir. Hukum adat juga hukum indonesia, begitu sebaliknya.
“Kalau masalah itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan, tak perlu lagilah dipidana. Sebab dalam bertindak, polisi juga mempunyai prosedur. Kami siap untuk menjadi penengah, jika masalah itu dapat diselesaikan dengan baik tanpa hukum pidana,” tegasnya. (arf/rmn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Puting Beliung Sapu Puluhan Rumah
Redaktur : Tim Redaksi